Pengaturan Penjualan Disebut Bisa Jadi Cara Tekan Resistensi Mikroba Akibat Konsumsi Antibiotik
Permasalahan resistensi mikroba akibat konsumsi antibiotik diperkirakan bisa diatasi dengan pengaturan penjualan.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat, terutama tanpa resep dokter, telah menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kasus resistensi antimikroba (AMR). Resistensi antimikroba merupakan kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit menjadi kebal atau resisten terhadap pengobatan antimikroba yang seharusnya efektif. Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi kesehatan global, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap efektivitas pengobatan penyakit infeksius.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, dalam peluncuran Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (Stranas AMR) 2025-2029 di Jakarta pada 19 Agustus 2024, menegaskan pentingnya upaya sistematis untuk mengendalikan AMR.
-
Bagaimana cara mencegah resistensi antimikroba? Gunakan antibiotik hanya ketika diresepkan oleh dokter dan ikuti petunjuk penggunaan dengan benar terkait dosis serta durasi pengobatan. Jangan menggunakan antibiotik yang dibeli tanpa resep atau sisa obat dari perawatan sebelumnya.
-
Kapan angka resistensi antimikroba di Indonesia meningkat? Pada tahun 2023, angka resistensi ini meningkat menjadi 70,75% dari target ESBL tahun 2024 yang sebesar 52%. Fakta ini menunjukkan peningkatan resistensi antimikroba yang cukup signifikan.
-
Apa dampak serius dari resistensi antimikroba pada pasien? Dampak resistensi mikroba tidak bisa dianggap remeh. Merawat pasien yang terinfeksi bakteri yang sudah kebal antibiotik memerlukan upaya ekstra, serta meningkatkan kompleksitas perawatan.
-
Bagaimana antibiotik bekerja untuk mengobati infeksi? Saat sistem imun tidak dapat menangkal bakteri yang masuk dan berkembang biak di dalam tubuh, inilah waktu yang tepat untuk minum antibiotik. Obat tersebut akan bekerja untuk menghancurkan bakteri.
-
Mengapa dr. Hari Paraton fokus pada masalah resistensi antimikroba? Sejak tahun 2000, Hari makin vokal membicarakan isu resistensi antimikroba (AMR), khususnya di Indonesia. Kepeduliannya yang tinggi karena resistensi antimikroba berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat hingga menyebabkan kematian."Pada tahun 2050 diperkirakan kematian akibat pandemi AMR di dunia mencapai 10.000.000 orang per tahun," ujar Hari dalam Pelatihan Meliput Isu Resistensi Antimikroba di Kota Surabaya, Sabtu (11/11/2023).
-
Siapa yang menemukan antibiotik? Antibiotik pertama kali ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 yang membawa perubahan besar pada dunia kesehatan saat itu.
“Hari ini kita meluncurkan Strategi Nasional (Stranas) Pengendalian Resistensi Antimikroba 2025-2029. Stranas ini memiliki tiga landasan utama, yang pertama adalah tata kelola yang efektif, informasi strategis melalui survei dan riset, serta sistem evaluasi eksternal,” ujar Dante.
Ia juga menyoroti bahwa konsumsi antibiotik yang tidak sesuai dengan resep dokter merupakan salah satu faktor pemicu utama resistensi antimikroba.
Mendukung inisiatif ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Profesor Tjandra Yoga Aditama, menekankan perlunya regulasi yang lebih ketat terkait penjualan antibiotik.
“Aturan soal penjualan obat antibiotik adalah sebuah keharusan. Jika aturan ini ditambah dengan promosi yang baik, maka akan semakin lengkap,” ujarnya. Menurut Tjandra, pengetahuan mengenai AMR belum merata di masyarakat, sehingga perlu ada upaya lebih untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai bahaya resistensi antimikroba.
Salah satu langkah yang diusulkan Tjandra adalah menggandeng figur publik untuk menjadi duta kampanye AMR. “Sebagaimana kita ketahui sekarang kan eranya Raffi Ahmad, Ayu Ting-Ting, jadi kalau bisa tunjuk satu duta AMR, siapa kek (figur publik) dan ini diseriuskan. Saya kira ini akan berperan besar,” kata Tjandra. Menurutnya, promosi yang melibatkan tokoh terkenal akan lebih efektif dalam menyampaikan pesan penting ini kepada masyarakat luas.
- Waspadai Konsumsi Antibiotik Sembarangan, Ketahui Dampak Mengerikan dari Meminumnya secara Sembarangan
- Ini Penjelasan Mengapa Batuk dan Pilek Jangan Diobati dengan Antibiotik
- Kenali Dampak Resistensi Antimikroba pada Pasien dan Cara Bijak Konsumsi Antibiotik untuk Mencegahnya
- Muncul 2 Bakteri Kebal Obat, Kemenkes Minta Masyarakat Hati-Hati Konsumsi Antibiotik
Kepedulian terhadap AMR perlu ditingkatkan, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di antara apoteker yang bertanggung jawab dalam penjualan obat. Tjandra menyoroti masih adanya praktik penjualan antibiotik tanpa resep di apotek, yang berpotensi memperparah masalah AMR.
“Saya sempat mencoba membeli obat oplosan di apotek. Tanpa banyak bertanya, petugas apotek dengan mudahnya menjual obat kepada saya sebagai pembeli. Padahal, beberapa obat seharusnya hanya bisa dijual jika ada resep dokter,” ujarnya.
Senada dengan Tjandra, Dante juga mengungkapkan bahwa resistensi antimikroba banyak terjadi lantaran antibiotik dapat diperoleh dengan mudah, bahkan tanpa resep dokter.
“Sekarang ternyata 70 persen antibiotik itu bisa didapatkan tanpa resep. Jadi orang beli di apotek terus dikasih sama apotekernya, disimpan di rumah tanpa penggunaan yang tepat,” jelas Dante. Ia menambahkan, masyarakat sering kali keliru menggunakan antibiotik, misalnya untuk mengobati penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik, seperti demam akibat infeksi virus.
Penyakit yang disebabkan oleh virus, kata Dante, tidak dapat diobati dengan antibiotik. Jika kebiasaan penggunaan antibiotik yang tidak tepat ini dibiarkan, maka resistensi antimikroba akan terus meningkat, dengan potensi dampak yang mengerikan. “Kalau kita diamkan, maka nanti 2050 angka kematiannya di seluruh dunia jadi 10 juta orang. Makanya kita harus bergerak supaya penggunaan antibiotik ini lebih rasional,” kata Dante.
Dengan pengaturan penjualan antibiotik yang lebih ketat dan promosi penggunaan yang bijak, diharapkan dapat menekan tingkat resistensi antimikroba dan mengurangi beban pembiayaan kesehatan.
“Bayangkan 30 persen bisa dihemat. Kita sudah punya dua project rumah sakit yang melakukan penggunaan antibiotik secara rasional dan kita evaluasi, ternyata benar angka budget-nya turun 30 persen,” tambah Dante. Upaya ini menjadi langkah penting dalam menjaga kesehatan masyarakat dan memastikan efektivitas pengobatan di masa depan.