Perokok lebih rentan alami kecemasan dan depresi
Perokok percaya bahwa rokok bisa membuat mereka tenang. Padahal yang terjadi justru sebaliknya.
Banyak perokok yang mengaku mereka bisa merasa lebih tenang dengan mengisap rokok. Namun penelitian justru mengungkap sebaliknya. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa perokok justru berisiko mengalami kecemasan dan depresi hingga 70 persen lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.
Hasil penelitian yang dilakukan pada 6.500 orang berusia di atas 40 tahun ini menunjukkan bahwa tingkat kecemasan dan depresi lebih tinggi pada perokok jangka panjang. Peneliti menemukan bahwa 16,3 persen perokok mengalami depresi, dibandingkan dengan non perokok yang hanya 10 persen.
Meski begitu, peneliti juga menemukan bahwa perokok yang sudah berhenti bisa mengalami penurunan risiko depresi dan kecemasan. Pada mantan perokok, tingkat depresi dan kecemasan hanya sekitar 11,3 persen. Lebih tinggi sedikit dari non-perokok namun masih lebih rendah dibandingkan dengan perokok, seperti dilansir oleh Daily Mail (24/02).
Penelitian ini diketahui sebagai penelitian pertama yang membandingkan tingkat kecemasan dan depresi dari perokok, non perokok, dan mantan perokok yang sudah berhenti lebih dari setahun. Penelitian dilakukan oleh British Heart Foundation dan peneliti dari UCL (University College London).
"Penelitian kami menemukan bahwa mantan perokok memiliki persamaan tingkat kecemasan dan depresi dengan orang yang tak merokok. Berhenti merokok bisa jadi salah satu cara untuk memperbaiki kesehatan fisik dan mental yang bermasalah akibat rokok," ungkap Robert West, ketua peneliti.
Dr Mike Knapton juga mengungkap terdapat kepercayaan bagi banyak perokok bahwa merokok bisa menurunkan kecemasan dan stres. Ini membuat banyak perokok ragu berhenti merokok. Padahal alih-alih membantu meredakan stres, merokok justru meningkatkan rasa cemas dan ketegangan.
"Ketika merokok, rasa tenang dan stres yang menurun hanya efek sementara saja. Ini nantinya akan digantikan dengan rasa kecanduan dan meningkatnya stres di kemudian hari," ungkap Knapton.
Selain itu, penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa berhenti merokok bisa efektif untuk mencegah depresi dan kecemasan dibandingkan mengonsumsi obat antidepresan. Jadi, para perokok memiliki satu alasan lagi untuk segera berhenti merokok secepatnya.
Baca juga:
Merokok shisha bisa bikin kanker?
Merokok bikin pria kehilangan kromosom Y
Kampanye bahaya merokok, aktivis arak bola dunia di HI
Menteri Susi akui merokok kebiasaan buruk
Menteri Susi marah fotonya tiduran sambil merokok di kapal tersebar
Awas, merokok bikin bagian penting otak mengerut!
-
Bagaimana ciri khas depresi klinis? Depresi klinis ditandai dengan rasa putus asa yang terus-menerus.
-
Siapa yang menjelaskan hubungan antara depresi dan kecemasan? "Depresi sering kali disertai dengan kecemasan dan sebaliknya," terang Gill.
-
Bagaimana depresi situasional terjadi? Depresi situasional adalah contoh depresi yang tidak menentu. Biasanya, kondisi ini ditandai dengan munculnya gejala murung, perubahan pola tidur dan makan, ketika ada kejadian yang memberi tekanan mental yang cukup tinggi. Gejala depresi situasional muncul akibat respons otak terhadap stres.
-
Kenapa rumah berantakan bikin stres? Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2016 dari Universitas New Mexico, Amerika Serikat menyebabkan kondisi rumah yang berantakan bisa membuat seseorang jadi tidak bisa menikmati sebuah ruangan. Hal ini yang membuat tingkat stres semakin tinggi.
-
Apa yang dimaksud dengan depresi klinis? Depresi klinis (gangguan depresi mayor) adalah jenis depresi yang menyebabkan kemurungan, rasa tertekan, dan hilangnya minat pada aktivitas yang biasa dinikmati.
-
Kenapa mencari gejala masalah kesehatan mental bisa berbahaya? Mencari gejala masalah kesehatan mental sesuai dengan kondisi Anda bisa berujung bahaya. Pada saat ini, banyak orang yang mulai terbuka terhadap masalah mental yang mereka alami. Sayangnya, keterbukaan ini kerap tidak disertai dengan pengetahuan dan diagnosis yang tepat. Singkatnya, banyak orang saat ini melakukan self diagnose terhadap kondisi mental mereka sendiri.