Deretan kontroversi sains dan masyarakat yang 'mendarah daging'
Deretan kontroversi sains dan masyarakat yang mendarah daging. Banyak sekali orang yang masih memegang teguh mitos atau jalan hidup yang sebenarnya tidak masuk akal. Hal ini telah jadi kontroversi, padahal sains telah membuktikan hal tersebut sebagai hal yang salah.
Banyak sekali orang yang masih memegang teguh mitos atau jalan hidup yang sebenarnya tidak masuk akal. Hal ini telah jadi kontroversi, padahal sains telah membuktikan hal tersebut sebagai hal yang salah.
Sebenarnya itu adalah tugas dari ilmu pengetahuan. Ilmuwan ada dan mendedikasikan diri untuk menjelaskan berbagai hal yang tak bisa dijelaskan, agar manusia tak 'menyerahkan' hal tersebut kepada hal gaib, mitos, ataupun budaya yang dijunjung tinggi.
-
Siapa ilmuwan terbaik di Universitas Gadjah Mada berdasarkan AD Scientific Index 2024? Universitas Gadjah Mada Jumlah ilmuwan dalam indeks : 497Ilmuwan terbaik dalam institusi : Abdul Rohman
-
Di mana daftar ilmuwan paling berpengaruh di dunia ini diumumkan? Peringkat tersebut didasarkan pada analisis dampak sitasi di berbagai disiplin ilmu yang diambil dari database Scopus. Setiap tahun, lembaga ini memilih 100.000 ilmuwan dari seluruh dunia yang aktif di berbagai institusi akademik.
-
Bagaimana AD Scientific Index menentukan peringkat universitas terbaik di Indonesia? AD Scientific Index menggunakan sistem pemeringkatan yang unik dengan menganalisis sebaran ilmuwan dalam suatu institusi menurut persentil 3, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90.
-
Mengapa penelitian ini penting? Selain membantu memahami lebih lanjut tentang sistem cuaca unik di planet es, temuan ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa medan magnet Neptunus dan Uranus berbeda dengan medan simetris yang dimiliki Bumi.
-
Kapan kata pengantar dianggap penting dalam karya ilmiah? Meski bukan bagian dari isi, namun dalam suatu karya ilmiah, kata pengantar bukan sebuah formalitas.
Berikut adalah deretan berbagai kontroversi antara masyarakat dan sains, yang sudah sangat mendarah daging. Hal ini tentu bisa dengan mudah dibantah, atau dijelaskan oleh sains. Berikut ulasannya.
Sistem pendidikan konvensional dan baru
Di sekolah maupun bangku perkuliahan, sudah sangat umum untuk menggeser fungsi buku tulis dengan kepraktisan laptop. Hal ini tentu mempermudah pelajar atau mahasiswa agar lebih praktis dalam hal media tulis. Namun kepraktisan rupanya bukan hal yang melulu baik, terutama untuk belajar. Dalam hal ini, mana yang lebih baik antara menulis di buku yang konvensional atau menggantinya dengan laptop, smartphone atau tablet? Ternyata jawabannya adalah konvensional, dan ini jadi hal yang cukup kontroversial.
Benar, sudah banyak sekali bukti ilmiah bahwa menulis dengan tangan memiliki lebih banyak manfaat ketimbang menulis melalui medium komputer. Hal ini terbukti meningkatkan kemampuan otak untuk mengingat informasi baru.
Namun sebuah studi memperlihatkan bahwa mempergunakan laptop di kelas punya lebih banyak kekurangan lain, ketimbang hanya memperburuk ingatan manusia akan informasi baru.
Dilansir dari The Washington Post, sebuah studi yang melibatkan 726 partisipan yang merupakan mahasiswa akademi militer di West Point University, Amerika Serikat, membagi dua kelas mata kuliah ekonomi antara yang boleh menggunakan teknologi dengan yang tidak. Semua partisipan tersebut ditunjuk secara acak untuk masuk kelas yang boleh memakai tablet atau laptop, serta yang hanya boleh menggunakan buku selama perkuliahan.
Setelah penelitian yang dilakukan selama satu semester penuh, nilai ujian akhir para mahasiswa yang berada di kelas yang memperbolehkan teknologi, 18 persen lebih jelek ketimbang mahasiswa di kelas non teknologi. Peneliti pun juga mencatat bahwa di dalam kelas tersebut paling tidak hanya terdapat separuh mahasiswa yang memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk belajar.
Para peneliti yang merupakan pengajar bidang ekonomi di West Point, juga menyimpulkan satu hal yang cukup ditekankan di hasil penelitiannya. Yakni mahasiswa yang dilarang menggunakan teknologi, memiliki Indeks Prestasi Kumulatif lebih tinggi rata-rata 0,17 poin ketimbang di kelas yang menggunakan teknologi.
Menurut para peneliti, hal ini terjadi karena banyak faktor, antara lain jika menggunakan laptop atau tablet, mereka bisa mendapat akses internet dengan mudah sehingga mudah terdistraksi dari pelajaran. Kualitas ilmu yang disampaikan oleh dosen maupun pengajar pun jadi tak seberapa tinggi, karena kurangnya interaksi yang ada dalam proses belajar mengajar. Sang dosen pun juga tentu tak seberapa lancar dalam menyampaikan pelajaran karena kurangnya kontak mata.
Kecanduan media sosial = anti sosial?
Banyak orang mengatakan, terutama orang tua tentunya, bila kebanyakan bermain sosial media seperti Instagram tidak baik bagi seseorang. Sering hal ini diasosiasikan dengan kecenderungan seseorang jadi anti sosial. Selain itu, tentunya waktu-waktu berharga bisa terlewat akibat terlalu sibuk main jejaring sosial. Namun penelitian terbaru yang diunggah di Jurnal "Personality and Social Psychology" menyatakan bila hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
Penelitian yang mengikutsertakan 2000 orang dalam 9 jenis eksperimen membuktikan bila mereka yang suka memfoto apapun lebih bahagia ketimbang yang tidak mengabadikannya.
"Ini adalah penelitian mendetail pertama yang menginvestigasi bagaimana mengabadikan foto mempengaruhi tingkat kebahagiaan dari kegiatan mereka," ujar Kristin Diehl, ilmuwan dari University of Southern California ketua penelitian tersebut.
Mereka yang doyan berfoto saat sebuah acara juga diklaim lebih menikmati acara tersebut. Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bila perlengkapan yang dipakai untuk memotret 'mengganggu', seperti kamera terlalu besar atau sulit digunakan, maka kebahagiaan itu akan sirna.
Nah, penelitian ini lah yang kemudian menjadi dasar baru untuk melihat sisi lain kecanduan sosial media, khususnya Instagram yang memang berbasis foto. Apabila menghabiskan waktu dengan mengambil foto di setiap kesempatan bisa membuat orang bahagia, tentunya para pengguna Instagram yang dianggap 'kecanduan' tentu lebih bahagia dari orang lain, yang mana hal tersebut tentu juga merupakan hal yang berharga.
Kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap hantu
Tak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia masih percaya adanya hantu. Hal ini seakan-akan ada di bawah sadar kita, dan akhirnya jadi sesuatu yang mendarah daging secara turun temurun. Meski demikian, sains sama sekali tak mengakui adanya hantu. Sains pun mampu memberi beberapa penjelasan logis terkait adanya hantu.
Pertama adalah ladang elektromagnetik, yang ternyata memiliki dampak langsung ke otak dan mempengaruhi persepsi manusia terhadap hantu. Menurut penelitian, adanya pola aktivitas aneh di otak yang disebabkan adanya ladang elektromagnetik tersebut, membuat seseorang merasa ada hantu di dekatnya. Hal ini dikarenakan jika seseorang diterpa ladang magnetik yang lemah selama 15 hingga 30 menit, seseorang akan memiliki persepsi bahwa ada kehadiran yang tak terlihat di ruangan tempat dia berada.
Gelombang elektromagnetik bisa berasal dari osilasi listrik, serta sinar matahari yang dalam suatu kondisi menghasilkan infra merah, di mana infra merah sendiri adalah sebuah radiasi elektromagnetik.
Kedua adalah suara infrasonik, yang merupakan suara dengan frekuensi yang sangat rendah hingga manusia tak akan bisa mendengarnya. Beberapa binatang seperti gajah, bisa mendengar jenis suara semacam ini. Suara semacam ini ternyata mampu dibuktikan secara ilmiah dapat membuat seseorang tak nyaman secara fisiologis.
Sebuah studi ilmiah pernah meneliti tentang dampak suara turbin angin serta suara lalu lintas di sebuah pemukiman. Suara dengan frekuensi yang sangat rendah ini ternyata dapat menyebabkan disorientasi, perasaan panik, perubahan denyut jantung dan tekanan darah, serta perasaan ditakuti oleh hantu.
Seperti penelitian di rumah berhantu yang ternyata penyebab utama ruangan tersebut 'terasa' berhantu adalah adanya sebuah kipas angin yang mengeluarkan 'suara tak terdengar' yang menyebabkan adanya efek 'angker.' Gelombang suaranya yang hanya 19Hz tak akan terdengar telinga kita, namun efeknya bisa membuat otak kita kacau.
Menonton pornografi adalah hal tabu?
Sebagaimanapun dilarangnya, ternyata masyarakat masih menyukai pornografi. Bahkan, dilansir dari The Huffington Post, situs pornografi memiliki lebih banyak pengunjung ketimbang Netflix, Amazon dan Twitter digabung. Jangan tanya bagaimana penerimaan masyarakat terhadap pornografi: hingga dulu sampai sekarang, pornografi masih tetap jadi hal yang tabu.
Pornografi yang dianggap tabu ini, ternyata membuat banyak sekali orang yang tidak mau membicarakannya secara gamblang di muka umum, dikarenakan nilai moral yang akan tercoreng.
Namun berkebalikan dengan kondisi yang ada di masyarakat, sebuah studi yang dihelat oleh Journal of Sex Research, seperti yang dimuat oleh Medical Daily, ternyata mereka yang menonton pornografi lebih dari sekali dalam seminggu, cenderung akan menjadi lebih religius.
Pada awalnya, asumsi orang terhadap sifat religius tentu berbanding terbalik dengan konsumsi pornografi. Hal ini dikarenakan tak ada agama yang memperbolehkan hal tersebut. Studi ini justru menyatakan bahwa makin banyak menonton, makin religius seseorang.
Metode yang dilakukan Journal of Sex Research adalah dengan melakukan riset pada grup representatif yang berjumlah 1.314 orang dewasa, selama enam tahun. Semua partisipan ini akan menjawab pertanyaan dari peneliti tentang konsumsi pornografi mereka dan perilaku religius yang mereka lakukan. Studi ini terbilang sangat kredibel dan akurat, karena mempertimbangkan juga berbagai faktor seperti usia serta gender. Dalam waktu singkat, sebenarnya konsumsi pornografi berbanding terbalik dengan tingkat religius. Namun ketika penelitian berjalan lebih lama dan pola partisipan makin terbentuk, terbukti bahwa ketika rasio menonton pornografi adalah lebih dari sekali seminggu, seseorang tersebut akan lebih religius.
Studi yang dikepalai oleh Samuel Perry, salah satu pengajar dari University of Oklahoma ini, menunjukkan bahwa konsumsi yang tinggi dari pornografi dapat menyebabkan rasa bersalah, karena hal ini adalah hal yang melanggar agama dan dia melakukannya cukup sering. Dengan tingginya konsumsi pornografi, seseorang akan cenderung memilih aktivitas agama agar mengurangi rasa bersalah dalam dirinya.
Secara psikologis, tentu hal ini masuk akal. Jika kita melakukan kesalahan, kita tentu akan berusaha untuk meminta maaf kepada yang kita perbuat salah. Semenjak menonton pornografi adalah menyalahi aturan agama, tentu menjadi lebih religius adalah bentuk maaf yang bisa kita lakukan, kepada Tuhan.
'Modifikasi canggih' di tubuh manusia
tak bisa dipungkiri manusia punya banyak kekurangan. Seraya teknologi makin canggih, hal tersebut sebenarnya bisa ditekan dengan berbagai dukungan teknologi. Masalahnya, cara-caranya masih dianggap tabu. Mulai dari memasang bagian tubuh bionik, atau bahkan implan otak untuk meningkatkan kinerjanya.
Kini, ilmuwan sedang mencoba melakukan implan otak kepada tikus, agar tikus percobaan tersebut memiliki 'indera ke enam,' yang membuatnya mampu untuk melihat dalam kegelapan. Penelitian ini membuktikan bahwa memungkinkan bagi otak yang sudah dewasa, untuk beradaptasi pada perubahan dan bentuk baru, serta memberi kemungkinan bagi otak manusia untuk mengembangkan kekuatan super.
Peneliti bahkan menilai bahwa sangat bear kemungkinan untuk 'memasang' sensor di otak agar manusia bisa lebih peka dengan berbagai bentuk sinar, seperti ultraviolet, gelombang mikro ataupun x-ray.
Hal ini ditujukan untuk membantu manusia yang kehilangan penglihatannya, untuk dapat melihat lagi, meski hanya dapat mendeteksi dari panasnya saja. Selain itu, dunia militer juga dapat menggunakan hal ini untuk melacak musuh dari kegelapan dengan inframerah, bahkan bisa melihat musuh dari balik tembok dengan gelombang mikro. Namun, hal ini dianggap tabu karena mengutak-atik pemberian Tuhan.
Alien: ada atau tidak?
Ilmuwan sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendeteksi adanya kehidupan lain di alam semesta ini. Salah satu caranya adalah dengan mendeteksi sinyal ekstraterestrial.
Di Bumi, riset ruang angkasa berfokus pada pencarian planet maupun bulan yang kita sendiri tak bisa melihatnya secara langsung. Menggunakan terang redupnya bintang ketika sebuah objek menghalangi sinar yang menyinarinya, ilmuwan dapat mengumpulkan informasi tentang kemungkinan datangnya alien. Bahkan dengan perkiraan jarak dan temperatur planet, ilmuwan bahkan dapat mengidentifikasi puluhan lokasi yang berpotensi dihuni alien.
Namun alih-alih dipercaya, perdebatan soal bentuk Bumi bulat atau datar saja masih panjang buntutnya. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk tertinggi, dan ini jadi kontroversi dengan para ilmuwan.
Sebaliknya, ilmuwan justru memasang 'telinga' untuk mendengarkan apabila alien ternyata telah menemukan kita dan memberi sinyal dari kejauhan. Dalam hal ini, menurut ilmuwan kemungkinan ini cukup kecil karena ada ratusan ribu 'zona transit,' yakni target potensial berupa planet yang layak huni dan bulan.
'Panggilan' tersebut bisa saja datang sewaktu-waktu dan seharusnya Bumi sudah siap jika itu terjadi. Bahkan bisa saja 'panggilan' sinyal tersebut belum datang karena tentu sinyal tersebut menjelajah jutaan tahun cahaya untuk sampai ke tata surya kita.
Sains vs Agama
Perdebatan antara sains dan agama, yang secara sederhana adalah perdebatan antara pemikiran berdasarkan fakta dan keimanan, sudah sangat mendarah daging. Biasanya keduanya bertentangan dan tidak saling menjelaskan.
Namun hal ini ternyata bisa dijelaskan juga oleh Sains. Karena menurut sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal PLOS One, konflik ini berakar dari struktur otak kita.
Para ilmuwan menemukan hal ini melalui penelitian secara mendalam tentang mengapa seseorang menggunakan penalaran analitis, yang punya asosiasi ke sains, serta alasan moralitas, yang erat hubungannya dengan keimanan atau agama.
Studi ini dilakukan untuk memperkuat penemuan dari tim peneliti yang sama, yang menunjukkan bahwa otak memiliki 'jaringan analitis' yang digunakan untuk berpikir kritis, serta sebuah 'jaringan sosial' yang menjadikan otak kita bisa lebih berempati dan lebih tertarik ke alasan moral ketimbang penalaran.
Menurut peneliti, kedua jaringan ini berlawanan. Jika seseorang lebih banyak mengalami pengalaman yang erat dengan keimanan atau supranatural, secara otomatis otak akan menekan kinerja 'jaringan analitis,' sehingga otak kita tak akan berpikir kritis. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang percaya agama, tak terlalu tertarik terhadap sains dan hal-hal yang para ilmuwan coba untuk nalar.
Dikarenakan dua 'komponen' otak yang saling menekan ini, setiap orang akan memilih satu pemikiran daripada yang lain. Jadi akan ada dua tipe orang, yakni yang percaya sains dengan segala sesuatu yang dapat dinalar, atau yang percaya keimanan. Hal inilah yang memicu konflik antara sains dan agama.