Kalah di Pengadilan, TikTok Haram Digunakan
Nasib TikTok saat ini tergantung pada keputusan Mahkamah Agung AS, meskipun tidak ada kepastian bahwa pengadilan akan menerima kasus ini untuk diperiksa.
Pengadilan federal di Amerika Serikat telah menolak permohonan TikTok untuk menghentikan sementara undang-undang yang berpotensi melarang aplikasi tersebut mulai Januari 2025.
Keputusan ini, yang diambil sebagai respons terhadap permintaan darurat yang diajukan oleh TikTok di awal minggu, merupakan kemunduran hukum terbaru bagi perusahaan dalam upayanya untuk menghindari larangan total terhadap aplikasinya di AS.
- Usai Tetapkan TikToker Galih Tersangka Dugaan Penistaan Agama, Polisi Bekukan Akun TikTok Galihloss3
- Pemerintah Diminta Tegas Jika TikTok Shop Tak Patuhi Aturan di Indonesia
- Menkop Teten Sebut TikTok Tak Hormati Hukum Indonesia, Langgar Permedag Nomor 31
- Aturan Pemerintah soal TikTok Shop Dinilai Belum Tegas Jamin Keamanan Pengguna
Dalam upaya untuk menunda penerapan undang-undang tersebut, TikTok menyatakan bahwa mereka berencana untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Menurut laporan dari Engadget pada Senin (16/12), pengacara TikTok juga mengungkapkan bahwa Presiden terpilih Donald Trump mungkin akan mengambil pendekatan yang berbeda, mengingat beberapa pernyataannya sebelumnya mengenai aplikasi ini.
Namun, dalam keputusan singkatnya, panel yang terdiri dari tiga hakim menolak permohonan tersebut dengan menyatakan bahwa penghentian sementara aplikasi TikTok 'tidak beralasan'.
Keberadaan TikTok kini tergantung pada keputusan Mahkamah Agung, meskipun tidak ada kepastian bahwa pengadilan akan bersedia mendengarkan kasus ini.
"Seperti yang telah kami nyatakan sebelumnya, kami berencana untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Agung, yang memiliki catatan sejarah tertinggi dalam melindungi hak warga Amerika untuk berbicara dengan bebas," ungkap TikTok dalam pernyataannya.
"Suara lebih dari 170 juta warga Amerika di AS dan seluruh dunia akan dibungkam pada 19 Januari 2025 kecuali larangan TikTok dihentikan," tegas perusahaan tersebut.
Pernyataan ByteDance
Induk perusahaan TikTok, ByteDance, mengklaim bahwa peraturan tersebut secara tidak adil ditujukan kepada TikTok dan bahwa pelarangan ini akan melanggar hak Amandemen Pertama bagi para penggunanya.
Perusahaan yang berbasis di Tiongkok ini juga menyatakan bahwa penjualan TikTok kepada perusahaan di Amerika Serikat tidak mungkin dilakukan karena akan menghadapi larangan dari pemerintah Tiongkok.
Hal ini disebabkan oleh pembaruan aturan pengendalian ekspor yang dilakukan Tiongkok pada tahun 2020, yang memberikan lebih banyak kekuasaan atas transaksi yang dapat terjadi.
Dalam sebuah pernyataan, Electronic Frontier Foundation (EFF) mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan tersebut.
"Membatasi aliran informasi bebas, bahkan dari musuh asing, pada dasarnya tidaklah demokratis," ungkap juru bicara EFF.
"Hingga saat ini, AS telah memperjuangkan aliran informasi bebas dan mengkritik negara lain ketika mereka membatasi akses internet atau melarang platform komunikasi daring seperti aplikasi media sosial," tambahnya.
Perubahan pandangan Donald Trump mengenai masa depan TikTok
ByteDance sebelumnya menyatakan bahwa keputusan hakim merupakan bentuk penyensoran. Mereka berharap Mahkamah Agung dapat melindungi hak warga Amerika untuk menyampaikan pendapat secara bebas.
Di sisi lain, para ahli hukum, seperti yang dilaporkan oleh New York Times, tidak menemukan jalur hukum yang memungkinkan Trump untuk menyelamatkan TikTok setelah dia kembali menjabat pada 20 Januari mendatang.
Selama masa kepresidenan pertamanya, Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang membatasi transaksi Amerika dengan aplikasi TikTok, dengan alasan adanya masalah keamanan nasional.
Pemerintahan Trump pada saat itu bahkan menuduh TikTok berpotensi menjadi sarana bagi pemerintah Tiongkok untuk mengumpulkan data pribadi warga Amerika. Microsoft juga sempat menunjukkan minat untuk membeli TikTok jika diberikan kesempatan.
Larangan yang dikeluarkan tersebut menghadapi berbagai tantangan hukum, dan pada tahun 2021, Presiden Biden mencabut perintah tersebut. Namun, pada awal 2024, Trump mengubah pendiriannya setelah dilaporkan bertemu dengan seorang donatur besar dari Partai Republik yang memiliki saham signifikan di TikTok.
Perubahan sikap Donald Trump semakin terlihat setelah Biden menandatangani undang-undang yang dapat menyebabkan larangan terhadap aplikasi TikTok pada awal 2025.
Di tengah berlangsungnya Pemilu, Trump dipandang sebagai penyelamat TikTok. Ia dianggap memanfaatkan isu TikTok untuk menarik perhatian pengguna muda agar memilihnya, menjadikannya sebagai strategi untuk membelah suara pemilih.