Begini Indahnya Lapangan Bubat Versi AI, Tempat Raja Sunda Tewas Dibunuh Majapahit
Lapangan Bubat merupakan tempat pertarungan antara Raja Sunda dan rombongannya dengan pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada. Akibat pertarungan tak seimbang itu Raja Sunda dan rombongan tewas.
Bagi sebagian orang mungkin sudah tidak asing dengan teknologi Artificial Intellegence (AI). Melansir dari Techtarget dan Britanica, Artificial Intellegence atau AI memiliki arti kecerdasan buatan.
Tujuan AI sendiri pada dasarnya adalah untuk mempersonalisasikan kebutuhan setiap orang yang berbeda-beda. Seperti halnya keinginan untuk mengetahui penampakan Lapangan Bubat versi AI yang begitu indah.
-
Apa yang ditunjukkan oleh AI tentang nasib negara? Unggahan yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) ini menunjukkan bahwa nasib sebuah negara tidak akan berakhir dengan baik kecuali jika kesejahteraan rakyat diutamakan.
-
Apa yang dilakukan seniman AI itu pada tokoh-tokoh sejarah? Gambar-gambar tersebut menunjukkan Mahatma Gandhi dalam avatar berotot, Albert Einstein dengan tubuh kekar, dan Rabindranath Tagore memamerkan fisik berototnya.
-
Bagaimana AI menggambarkan berbagai nasib negara dengan sistem pemerintahan dan ekonomi? Setiap negara mempunyai cara masing-masing dalam mengatur pemerintahannya. Ada yang demokrasi, ada juga yang oligarki. Gambaran sistem pemerintahan ini kemudian diimajinasikan melalui generatif Artificial intelligence (AI).
-
Apa yang dibayangkan oleh AI? Hasilnya sungguh memesona. Coldplay memainkan musik mereka di tengah latar belakang Gunung Bromo yang diselimuti kabut, menambah pesona dan kemegahan dari acara tersebut. Ribuan penonton terlihat memadati area tersebut.
-
Apa yang sedang disiapkan oleh Kementerian Kominfo terkait teknologi AI? Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah menyiapkan pengaturan mengenai Tata Kelola Teknologi Kecerdasan Artifisial atau Artificial Intelligence (AI).
-
Bagaimana Indonesia dan ASEAN mengimplementasikan pemanfaatan AI? “Dengan tren pemanfaatan AI dan penciptaan tata kelolanya, interaksi negara-negara anggota ASEAN juga tidak luput dari diskusi tentang AI,” ujarnya.
Lapangan Bubat sendiri merupakan tempat pertarungan antara Raja Sunda dan rombongannya dengan pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada. Akibat pertarungan tak seimbang itu Raja Sunda dan rombongan tewas.
Lantas bagaimana penampakan Lapangan Bubat versi AI yang begitu indah? Melansir dari akun Instagram ainusantara, Jumat (3/3), simak ulasan informasinya berikut ini.
Lapangan Bubat Versi AI
Sebuah video memperlihatkan Lapangan Bubat, tempat Raja Sunda dan rombongan tewas dibunuh pasukan Majapahit dengan menggunakan teknologi Artificial Intellegence (AI) sukses mencuri perhatian. Terlihat bagaimana keindahan Lapangan Bubat ini.
Instagram ainusantara ©2023 Merdeka.com
"Di utara kota terbentang lapangan bernama Bubat. Bubat adalah lapangan luas, lebar dan rata yang membentang ke Timur setengah mil sampai jalan raya. Dan setengah mil ke Utara bertemu tebing sungai," tulis keterangan dalam video berdasarkan teks Negarakertagama pupuh 86.
"Dikelilingi bangunan rumah Menteri yang besar dan pantas berdiri bangunan yang sangat tinggi dan indah. Tiangnya penuh berukir dengan isi dongengan parwa. Di sisi sebelah baratnya ada bangunan serupa istana," jelasnya.
"I asked AI to imagine "Bubat Square" (Saya bertanya ke AI untuk menggambarkan "Lapangan Bubat") #artificialintelligence #majapahit," tulisnya dalam keterangan video.
Kisah Pertempuran di Alun-Alun Bubat
Instagram ainusantara ©2023 Merdeka.com
Melansir dari Kitab Pararaton, Perang Bubat diawali dari rencana pernikahan politik antara Raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) dari Majapahit dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Raja Sunda, Prabu Linggabuana. Pada tahun 1357 Raja Sunda dan keluarga kerajaan tiba di Majapahit.
Rombongan kerajaan kemudian berkemah di alun-alun Bubat di bagian utara Trowulan, ibu kota Majapahit dan menunggu upacara pernikahan. Namun Mahapatih Majapahit, Gajah Mada melihat acara tersebut sebagai kesempatan untuk menuntut penyerahan Sunda ke kerajaan Majapahit dan bersikeras alih-alih menjadi Ratu permaisuri dari Majapahit, sang putri harus ditampilkan sebagai tanda penyerahan dan diperlakukan sebagai selir raja Majapahit belaka.
Raja Sunda pun marah dan terhina oleh permintaan Gajah Mada. Ia lantas memutuskan untuk pulang dan membatalkan pernikahan kerajaan. Akan tetapi, Majapahit justru menuntut tangan putri Sunda dan mengepung perkemahan Sunda. Akibatnya, terjadi pertempuran kecil di alun-alun Bubat antara tentara Majapahit dan keluarga kerajaan Sunda untuk mempertahankan kehormatan mereka.
Kematian Tragis Sang Raja dan Putri Sunda
Instagram ainusantara ©2023 Merdeka.com
Namun pertempuran tersebut tidak seimbang karena pihak Kerajaan Sunda sebagian besar terdiri dari keluarga kerajaan, pejabat negara, bangsawan beserta pelayan dan pengawal kerajaan. Total jumlah rombongannya pun diperkirakan kurang dari 100 orang. Sedangkan, penjaga bersenjata di bawah komando Gajah Mada yang ditempatkan di ibu kota Majapahit diperkirakan berjumlah beberapa ribu pasukan bersenjata dan terlatih.
Rombongan Kerajaan Sunda pun dikepung di tengah alun-alun Bubat. Beberapa sumber menyebut, orang Sunda berhasil mempertahankan alun-alun dan beberapa kali menyerang balik pengepungan Majapahit. Tetapi seiring berjalannya hari, orang Sunda kelelahan dan kewalahan. Meski dihadapkan dengan kematian, orang Sunda tetap menunjukkan keberanian dan kesatria yang luar biasa.
Pasukan Majapahit yang melawan serangan itu meraih kemenangan. Orang Sunda yang menyerang ke barat daya tewas. Bagai lautan darah dan segunung bangkai, tak ada lagi orang Sunda. Raja Sunda tewas dalam duel dengan seorang jenderal Majapahit serta bangsawan Sunda lainnya.
Dyah Pitaloka Citraresmi kemudian bersama dengan semua wanita Sunda yang tersisa, mengambil nyawanya sendiri alias bunuh diri untuk membela kehormatan dan martabat negaranya.
Hal itu dilakukan ketimbang mereka harus menghadapi kemungkinan penghinaan melalui pemerkosaan, penaklukan atau perbudakan.
Versi Lain
Instagram ainusantara ©2023 Merdeka.com
Menurut Ahli Sejarah Agus Aris Munandar yang mendasarkan kepada Kisah Panji Angreni yang ditulis pada 1801, menyebut bahwa Gadjah Mada semula setuju dengan pernikahan tersebut sebagai upaya mempersatukan Majapahit dan Sunda.
Akan tetapi, ayahanda Hayam Wuruk yakni Kertawardhana merasa berkebaratan dengan pernikahan tersebut.
Terlebih Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan Indudewi yang berasal dari Daha Kediri. Sehingga hal itu membuat Kertawardhana memerintahkan Gajah Mada untuk membatalkan pernikahan tersebut.