Hukum Mengemis Online Menurut Fiqih, Apakah Diperbolehkan?
Belakangan muncul fenomena mengemis di media sosial hingga menghebohkan jagat dunia maya.
Belakangan muncul fenomena mengemis di media sosial hingga menghebohkan jagat dunia maya.
Hukum Mengemis Online Menurut Fiqih, Apakah Diperbolehkan?
Saat ini banyak konten kreator yang sering mengunggah video mengemis online di akun media sosialnya seperti Tiktok, Instagram, Short Youtube.
Para konten kreator itu membagikan konten give away atau pemberian hadiah secara gratis dengan memberikan challenge (tantangan), atau asal sudah subscribe dan follow akun dari kreator tersebut.
Karena mendapat banyak keuntungan dari cara tersebut banyak orang yang mulai ikut-ikutan.
Kebanyakan dari orang-orang yang tidak bekerja justru memilih untuk mengemis agar bisa mendapat pundi rupiah gratis atau ponsel terbaru.
Fenomena ini yang kini dsebut “Pengemis Online”. Tentu mulai banyak pertanyaan yang muncul terkait polemik ini sehingga mulai mempertanyakan dari sisi hukum fiqih.
Melansir dari islam.nu.or.id, Jumat (17/5) berikut informasi selengkapnya.
-
Bagaimana cara mengurus surat nikah online? Surat nikah online bisa diurus melalui website resmi yang disediakan pemerintah, yaitu Simkah Kemenag. Berikut cara mengurus surat nikah online, bisa dipraktikkan: 1. Kunjungi situs resmi Simkah Kemenag di https://simkah.kemenag.go.id/. Pilih opsi "Daftar" untuk membuat akun baru. 2. Masukkan informasi pribadi yang diperlukan, seperti nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat email. Buat juga password yang aman untuk akun Simkah Anda. 3. Setelah menyelesaikan proses pendaftaran, verifikasi email Anda dengan mengklik tautan yang dikirimkan oleh Simkah Kemenag. 4. Kembali ke situs Simkah dan masuk dengan menggunakan akun yang baru Anda buat. 5. Pada halaman beranda, pilih opsi "Pelayanan Perkawinan" di menu navigasi atas. 6. Kemudian, pilih lagi opsi "Pencarian PD Pernikahan" di bawah menu "PD Pernikahan". 7. Masukkan Kecamatan dan NIK (Nomor Induk Kependudukan) pengantin pria atau wanita, lalu klik tombol "Cari" untuk mencari data perkawinan. 8. Jika data perkawinan sudah ditemukan, lanjutkan dengan mengisi formulir yang tersedia. Isi informasi yang diminta dengan benar, seperti identitas pengantin, tanggal pernikahan, serta data saksi. 9. Setelah mengisi semua informasi yang diperlukan, tekan tombol "Simpan" untuk menyimpan data pernikahan. 10. Terakhir, cetak surat keterangan nikah yang telah selesai diisi. Surat ini akan digunakan sebagai bukti pernikahan yang sah.
-
Apa itu surat nikah online? Surat nikah online bisa diurus melalui website resmi yang disediakan pemerintah, yaitu Simkah Kemenag.
-
Mengapa mengurus surat nikah online lebih mudah? Bagi pasangan yang hendak menikah, perlu mempersiapkan berbagai macam hal untuk keperluan acara. Bukan hanya keperluan dekorasi, makanan untuk tamu undangan, hingga baju pengantin dan riasan wajah, pasangan yang hendak menikah juga perlu mempersiapkan berkas-berkas penting. Salah satunya adalah surat nikah. Untuk mendapatkan surat nikah, Anda perlu mendaftarkan pernikahan terlebih dahulu ke Kantor Urusan Agama (KUA). Meski begitu, kini terdapat cara mengurus surat nikah online yang lebih mudah dan praktis.
-
Apa pengertian website? Pengertian website adalah lokasi pusat halaman web yang saling terhubung dan diakses dengan mengunjungi halaman rumah dari website menggunakan browser.
-
Apa pengertian Qiyas dalam hukum Islam? Qiyas dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain.
-
Bagaimana tingkatan hukum makruh dalam Islam? Secara umum, hukum makruh adalah sesuatu yangtidak disukai atau dihindari dalam agama Islam, meskipun tidak diharamkan secara tegas.
Hukum Mengemis Online Menurut Fiqih
Mengemis atau meminta-minta merupakan kebiasaan yang kurang baik untuk dilakukan karena dapat menjatuhkan murû’ah (martabat dan harga diri) seseorang.
Termasuk aktivitas yang dikenal pengemis online di media sosial yang mana mereka tujuannya terdapat unsur murni meminta atau melalui sindiran dengan menggunakan kata kiasan, meskipun tidak secara sharîh (eksplisit).
Pada dasarnya mendapat sesuatu tanpa ada unsur meminta sah hukumnya. Hal tersebut masuk dalam kategori sedekah dan hadiah (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami, Hâsyiyah al-Bujairamî ‘ala al-Khatîb, [Beirut, Dâr al-Kutub Al-Ilmiyah], juz III, halaman 260).
Ada salah satu Hadits Nabi Muhammad saw, yang menyebutkan:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Artinya: “Tangan di atas (memberi) lebih baik dari pada tangan yang di bawah (yang meminta).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana Hukum Meminta-Minta Secara Online?
Menurut hukum fiqih, meminta-minta (mengemis) dengan sengaja adalah tidak diperbolehkan (haram).
Dalam kitab al-Najm al-Wahhâj fi Syarh al-Minhâj, Syaikh Muhammad bin Musa al-Damiri mengutip perkataan dari Ibn al-Shalah yang mengatakan;
وقال ابن الصلاح: السؤال حرام مع التذلل والإلحاح وإيذاء المسؤول
Artinya: “Berkata Ibn al-Shalah: meminta-minta hukumnya haram apabila disertai dengan unsur menghinakan diri, dilakukan secara berulang-ulang dan menyakiti perasaan orang yang dimintai.” (Muhammad bin Musa al-Damiri, al-Najm al-Wahhâj fi Syarh al-Minhâj, [Beirut: Dâr al-Minhâj], juz 6 halaman 478]
Namun meminta-minta diperbolehkan bila tengah ada dalam satu kondisi yang benar-benar tengah membutuhkan.
Lain halnya jika dirinya merupakan orang yang sudah dianggap berkecukupan dari segi harta dan pekerjaan, maka perbuatan demikian kurang baik untuk dilakukan.
Kondisi dan keadaan yang diperbolehkan mengemis antara lain seperti terdesak, kelaparan atau tidak punya kemampuan bekerja khusus.
Bila ada dalam kondisi ini maka dalam hal ini meminta-minta hukumnya boleh.
Namun jika mengemis dilakukan tanpa ada hajat (kebutuhan) maka hukumnya makruh bila tidak disertai unsur menghinakan diri (Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Raudhah al-Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1405 H], juz II, hal. 343].
Penjelasan hukum ini senada dengan keterangan yang berada dalam kitab Mauidzah al-Mu’minîn min Ihyâ’ Ulûm al-Dîn disebutkan bahwa:
نَعَمْ يُبَاحُ السُّؤَالُ بِضَرُورَةٍ أَوْ حَاجَةٍ مُهِمَّةٍ قَرِيبَةٍ مِنَ الضَّرُورَة فَالضَّرُورَةُ كَسُؤَالِ الْجَائِعِ عِنْدَ خَوْفِهِ عَلَى نَفْسِهِ مَوْتًا أَوْ مَرَضًا وَسُؤَالُ الْعَارِي وَبَدَنُهُ مَكْشُوفٌ لَيْسَ مَعَهُ مَا يُوَارِيهِ، وَهُوَ مُبَاحٌ مَا دَامَ السَّائِلُ عَاجِزًا عَنِ الْكَسْبِ فَإِنَّ الْقَادِرَ عَلَى الْكَسْبِ وَهُوَ بَطَّالٌ لَيْسَ لَهُ السُّؤَالُ إِلَّا إِذَا اسْتَغْرَقَ طَلَبُ الْعِلْمِ أَوْقَاتَهُ وَأَمَّا الْمُسْتَغْنِي فَهُوَ الَّذِي يَطْلُبُ الشَّيْءَ وَعِنْدَهُ مِثْلُهُ وَأَمْثَالُهُ، فَسُؤَالُهُ حَرَامٌ قَطْعًا
Artinya: “Ya benar, meminta-minta (mengemis) hukumnya haram, namun diperbolehkan hanya jika dalam keadaan dharurat (terdesak) atau hajat (kebutuhan) penting yang hampir mencapai taraf dharurat. Adapun kondisi dharûrat (terdesak) contohnya seperti mengemisnya orang yang kelaparan dikarenakan khawatir sakit atau mati kelaparan.
Kedua, mengemisnya orang yang telanjang dada, tidak memiliki sehelai pun pakaian yang menutupi sekujur tubuhnya. Mengemis dalam kondisi seperti tadi hukumnya adalah boleh dengan syarat bahwa dirinya memang benar tidak mampu untuk bekerja, karena jika dirinya mampu bekerja maka ia tidak boleh meminta-minta, kecuali apabila dirinya menghabiskan waktunya untuk mencari ilmu maka hukumnya boleh.
Sedangkan orang yang kaya yaitu orang yang memilki apa yang dirinya perlukan maupun kebutuhan lainnya (berkecukupan), sehingga dapat dipastikan bahwa hukum meminta-minta (mengemis) bagi dirinya adalah tidak diperbolehkan (haram).” (Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Mauidzah al-Mu’minîn min Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, [Beirut: Dar al-Nafais], halaman 297).
Menurut Imam al-Ghazali, alasan hukum asal dari meminta-minta itu haram disebabkan dalam tindakan meminta-minta itu sendiri tidak lepas dari tiga unsur perkara yang diharamkan yaitu:
الأول إظهار الشكوى من الله تعالى إذ السؤال إظهار للفقر وذكر لقصور نعمة الله تعالى عنه وهو عين الشكوى وكما أن العبد المملوك لو سأل لكان سؤاله تشنيعاً على سيده فكذلك سؤال العباد تشنيع على الله تعالى وهذا ينبغي أن يحرم ولا يحل إلا لضرورة كما تحل الميتة
Artinya: "Pertama, tampak mengeluh terhadap pemberian Allah Ta'ala, karena meminta-minta itu merupakan bentuk menampakkan kemiskinan, dan menyebut-nyebut sedikitnya nikmat Allah yang diberikan padanya, dan ini merupakan bentuk mengeluh yang sesungguhnya. Gambarannya sebagaimana seorang budak yang meminta-minta (mengemis) tentunya hal ini mencemarkan nama baik tuannya, begitu juga jika seorang hamba meminta-minta itu merupakan bentuk pencemaran nama baik Allah (seolah-olah menganggap Allah tidak mengurusi hambanya). Hal ini sebaiknya tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi terdesak."
الثاني أن فيه إذلال السائل نفسه لغير الله تعالى وليس للمؤمن أن يذل نفسه لغير الله بل عليه أن يذل نفسه لمولاه فإن فيه عزه فأما سائر الخلق فإنهم عباد أمثاله فلا ينبغي أن يذل لهم إلا لضرورة وفي السؤال ذل للسائل بالإضافة إلى المسئول
Artinya: "Kedua, dalam tindakan meminta-minta (mengemis) tersebut terdapat unsur menghinakan harga diri dari pengemis itu sendiri terhadap selain Allah swt. Sedangkan seorang mukmin sejati tidak selayaknya menghinakan dirinya kepada selain Allah swt. Justru sebaliknya bahwa dirinya hendaknya menghinakan dirinya di hadapan Allah karena dalam hal tersebut terdapat kemuliaan dirinya.
Maka tidak selayaknya menghinakan dirinya di hadapan mereka kecuali karena dalam kondisi terdesak. Dan dalam mengemis terdapat unsur menghinakan diri pengemis terhadap orang yang dimintainya."
الثالث أنه لا ينفك عن إيذاء المسئول غالباً لأنه ربما لا تسمح نفسه بالبذل عن طيب قلب منه فإن بذل حياء من السائل أو رياء فهو حرام على الآخذ وإن منع ربما استحيا وتأذى في نفسه بالمنع إذ يرى نفسه في صورة البخلاء ففي البذل نقصان ماله وفي المنع نقصان جاهه وكلاهما مؤذيان والسائل هو السبب في الإيذاء والإيذاء حرام إلا بضرورة
Artinya: "Ketiga, lumrahnya seorang pengemis tidak akan terbebas dari sikap yang menyakiti orang yang dimintai, karena terkadang seseorang yang memberi merasa berat untuk memberi dengan kerelaan hatinya, sehingga apabila dirinya memberi sebenarnya karena malu dengan pengemis, atau karena riya' (gengsi), maka dalam hal ini haram hukumnya bagi pengemis tersebut menerima pemberian itu.
Di sisi lain apabila dirinya tidak memberi terkadang merasa malu, dan tidak enak hati, karena terkesan seperti orang yang bakhîl (pelit) Dua kondisi di atas merupakan bentuk menyakiti. Dan pengemis yang menjadi penyebab utamanya. Sedangkan menyakiti orang lain itu haram kecuali dalam kondisi terdesak". (Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, [Beirut: Dâr al-Minhâj], juz IV, halaman 210)
Bolehkah Mengemis Online Menurut Fiqih?
Hukum fiqih menyikapi fenomena pengemis online melalui dalil-dalil dan pendapat para ulama, disebutkan bahwa hukum meminta-minta (mengemis) itu tidak diperbolehkan (haram) jika disertai dengan unsur menghinakan diri, dilakukan secara berulang kali, dan menyakiti perasaan orang yang dimintai.
Alasan diharamkannya adalah memiliki unsur mengeluh terhadap pemberian Allah SWT, terdapat unsur menghinakan martabat diri sendiri kepada selain Allah SWT, dan terdapat sikap menyakiti kepada orang yang dimintai.
Namun dalam beberapa kondisi, diperbolehkan mengemis hanya jika dalam keadaan dharûrat (terdesak) atau hajat (kebutuhan) penting yang hampir mencapai taraf darurat.
Contohnya seperti meminta-minta karena kelaparan hingga taraf khawatir sakit atau mati, meminta-mintanya orang yang tidak punya pakaian untuk menutupi badannya.
Jika melihat realitas sosial warganet di media sosial, banyak pengguna media sosial yang sejatinya masih mampu untuk bekerja dan tidak dalam kondisi sakit atau kelaparan.
Akan tetapi tidak diperbolehkan jika mengemis dikarenakan keinginan untuk minta-minta secara sengaja hingga merendahkan martabat diri bahkan sampai mengganggu dan menyakiti perasaan dari pemberi.
Tentu saja menurut fiqih, tindakan yang dilakukan oleh pengemis online di media sosial tidak dapat dibenarkan kecuali jika memang dalam keadaan yang sangat terdesak.