ADB Ingatkan Kenaikan Harga Beras Bisa Ganggu Perekonomian di Asia-Pasifik
ADB mengingatkan kenaikan harga beras bisa mengganggu perekonomian Asia-Pasifik yang diramal mampu tumbuh 4,9 persen di 2024.
ADB mengingatkan kenaikan harga beras bisa mengganggu perekonomian Asia-Pasifik yang diramal mampu tumbuh 4,9 persen di 2024.
- PKB Usulkan Sederet Opsi Ini untuk Genjot APBN Selain Naikkan PPN jadi 12 Persen
- Mendag Beberkan Bukti Ekonomi Indonesia Baik-Baik Saja: Harga Kebutuhan Pokok Terkendali
- Ekonomi Global Masih Belum Stabil, ADB Proyeksi Pertumbuhan di Asia Pasifik Bisa Tumbuh 5 Persen di 2024
- Dirut Bulog: Pelemahan Kurs Rupiah Buat Biaya Impor Beras dan Jagung Membengkak
ADB Ingatkan Kenaikan Harga Beras Bisa Ganggu Perekonomian di Asia-Pasifik
ADB Ingatkan Kenaikan Harga Beras Bisa Ganggu Perekonomian di Asia-Pasifik
Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) memprediksi perekonomian berkembang di Asia dan Pasifik tumbuh rata-rata 4,9 persen tahun 2024.
Hal ini sejalan dengan pertumbuhan kawasan ini yang masih tetap bagus di tengah kuatnya permintaan domestik, membaiknya ekspor semikonduktor, dan pulihnya pariwisata.
Ekonom Kepala ADB Albert Park mengatakan seiring berkembangnya ekonomi, inflasi pun diperkirakan akan melandai pada 2024 dan 2025.
Kondisi ini setelah terdongkrak naik oleh peningkatan harga pangan di berbagai perekonomian selama dua tahun terakhir.
"Kami berpandangan bahwa pertumbuhan pada mayoritas perekonomian di kawasan Asia yang sedang berkembang akan stabil pada tahun ini dan tahun berikutnya," kata Albert dalam keterangannya, Kamis (11/4).
Menurut hasil laporan ADB dalam Asian Development Outlook (ADO) April 2024, pertumbuhan yang lebih kuat di Asia Selatan dan Tenggara didorong oleh permintaan domestik dan ekspor mengimbangi perlambatan di China akibat kemerosotan pasar properti dan lemahnya konsumsi.
Kemudian India diperkirakan akan tetap menjadi mesin pertumbuhan penting di Asia dan Pasifik, dengan pertumbuhan 7,0 persen tahun ini dan 7,2 persen tahun depan.
Pertumbuhan China diperkirakan melambat menjadi 4,8 persen tahun ini dan 4,5 persen tahun depan, dari sebelumnya 5,2 persen tahun lalu.
Kendati begitu, Albert mengingatkan kepada para pembuat kebijakan harus tetap waspada karena masih ada sejumlah risiko.
Berbagai risiko itu termasuk gangguan rantai pasokan, ketidakpastian mengenai kebijakan moneter Amerika Serikat, efek cuaca ekstrem, dan berlanjutnya pelemahan pasar properti di China.
Ia menambahkan harga beras turut berkontribusi pada tingginya inflasi harga pangan. Terutama bagi perekonomian yang bergantung pada impor.
Bahkan harga beras kemungkinan akan tetap tinggi tahun ini.
Penyebabnya mencakup kegagalan panen akibat cuaca buruk dan pembatasan India terhadap ekspor beras.
"Kenaikan biaya pengapalan global akibat serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah dan kekeringan di Terusan Panama, kemungkinan juga dapat menambah inflasi di Asia," terang Albert.
Untuk mengatasi kenaikan harga beras dan melindungi ketahanan pangan, berbagai pemerintah dapat memberikan subsidi yang ditargetkan kepada populasi rentan.
Pemerintah negara juga diminta meningkatkan transparansi serta pemantauan pasar guna mencegah manipulasi harga dan penimbunan.
Dalam jangka menengah dan panjang, kebijakan perlu difokuskan pada penciptaan cadangan beras strategis guna menstabilkan harga.
Termasuk mempromosikan pertanian berkelanjutan dan diversifikasi tanaman pangan, serta berinvestasi pada teknologi dan infrastruktur agrikultur guna meningkatkan produktivitas.
Termasuk mempromosikan pertanian berkelanjutan dan diversifikasi tanaman pangan, serta berinvestasi pada teknologi dan infrastruktur agrikultur guna meningkatkan produktivitas.