Apindo Blak-Blakan Marak PHK di Industri Tekstil
Harga produk impor lebih murah dengan kualitas yang hampir setara, membuat produk lokal kalah saing di pasar dalam negeri.
Harga produk impor lebih murah dengan kualitas yang hampir setara, membuat produk lokal kalah saing di pasar dalam negeri.
Apindo Blak-Blakan Marak PHK di Industri Tekstil
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani mengungkap banjir produk impor berdampak menurunnya permintaan produk tekstil.
Akibatnya, maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor industri ini.
Shinta menyadari adanya penurunan demand atau permintaan dari tekstil dan produk tekstil (TPT). Baik permintaan di dalam negeri maupun di luar negeri.
"Ya jadi kita sekarang lagi ini dengan TPT, penyebnya apa, demand-nya itu memang menurun dan itu kita harus katakan, demand dalam maupun luar menurun," ujar Shinta, ditemui di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (25/6).
Tidak hanya permintaan konsumen, Shinta juga melihat adanya ancaman dari banjirnya produk impor ilegal. Alhasil, pasar produk lokal di dalam negeri kalah saing.
Dia mencatat, rasio impor produk jadi masih lebih sedikit dibandingkan dengan bahan baku dan bahan penolong.
Impor barang jadi hanya sekitar 20 persen dari total impor yang masuk ke Indonesia.
"Kedua, mereka ada masalah dengan ilegal import, ini yang sekarang kita coba bantu atasi. Karena di satu sisi tidak boleh mengganggu impor bahan baku penolong, tapi kan kalau yang ilegal impor ini jelas harus diatasi," tegasnya.
Shinta mengusulkan perlu ada regulasi khusus yang mengatur soal impor TPT ini. Meski saat ini diakui kalau beberapa kategori TPT telah dilakukan pengetatan. Dia juga tak menutup mata adanya produk impor ilegal yang masuk.
"Ini yang kemudian TPT harus di treat khusus karena mereka gada kendala dari segi impor bahan baku penolong, tapi finished goods. Makanya awalnya pemerintah mengeluarkan Permendag 36 itu merubah dari post border ke border, itu membantu TPT tapi industri lain banyak terkendala waktu itu dari segi impornya," paparnya.
"Sekarang dengan begini TPT harus dibantu karena kondisinya sangat kritis. Jadi kita sekarang lagi ini (membahas) dengan pemerintah," imbuh Shinta.
Ketika ditanya mengenai peluang adanya PHK lanjutan, Shinta mengatakan kalau hal itu mungkin dilakukan bertahap. Mengingat adanya dampak serius terhadap industri tekstil dalam begeri.
"Tapi kita ngelihat dari segi PHK mungkin akan bertahap, jadi bukannya semua, TPT ini memang paling terkena," ujarnya.
Shinta menuturkan, dampak ke industri tekstil ini berpengaruh pada besaran biaya yang dikeluarkan untuk operasional perusahaan.
Inni juga berdampak terhadap lapangan pekerjaan yang tersedia.
"Tapi juga kemarin mengatakan imbas dari ini kita musti lihat karena yg tadi disampaikan ini pasti berimbas pada cost of doing businessnya, dengan demand menurun itu pasti berimbas ke lapangan pekerjaannya," pungkasnya.
Shinta juga sebelumnya pernah mengatakan barang jadi impor menggerus pasar produk lokal. Padahal, secara persentase, jumlah impor bahan jadi tidak terlalu besar.
Shinta menguraikan, porsi paling besar impor adalah bahan baku dan bahan penolong yang ditaksir mencapai sekitar 75 persen. Sementara itu, impor barang jadi atau bahan jadi hanya sekitar 20 persen.
"Kalau kita lihat trennya ini sekarang yang semua lagi heboh adalah masuknya impor bahan jadi. Bahan jadi itu, itu tuh less than 20 persen, cuma 20 persen, sekarang," kata Shinta.
Dia mengungkap tantangannya datang dari harga jual pada produk impor tersebut. Dengan harga yang lebih murah dan kualitas produk yang hampir setara, membuat produk lokal kalah saing di pasar dalam negeri.
"Cuma yang jadi permasalahan itu harganya dan kualitasnya. Jadi harganya jauh lebih murah dan kualitasnya mungkin lebih baik daripada dalam negeri. Jadi bukan kualitas dalam negeri.. sama lah ya, tapi jelas harganya murah," bebernya.