Ditjen Pajak Sebut Kenaikan PPN Tak Berdampak Signifikan ke Harga Barang, Pengamat: Itu Sangat Menyesatkan
Estimasi ini tidak mempertimbangkan efek kumulatif, di mana ketika PPN naik, maka pembentuk harga barang jasa juga akan mengalami perubahan.
Direktorat Jenderal Pajak pernah menyebut bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa. Bahkan, kenaikan PPN katanya hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar menilai pernyataan tersebut sangat menyesatkan dan keliru secara statistik dan subtansi ekonomi. Sebab, estimasi ini tidak mempertimbangkan efek kumulatif, di mana ketika PPN naik, maka pembentuk harga barang jasa juga akan mengalami perubahan.
- OJK Akui Penerapan PPN 12 Persen Bakal Berdampak ke Daya Beli Masyarakat
- Daftar Barang dan Jasa Bakal Kena Kenaikan Tarif PPN 12 Persen Mulai 2025
- INFOGRAFIS: Dampak PPN Naik Jadi 12 Persen Mulai Tahun Depan
- Hitung-Hitungan PPN 12 Persen, Ternyata Kenaikan Dirasakan Masyarakat Capai 20 Persen dalam 4 Tahun
"Sehingga setiap perubahan harga komponen yang ada dalam rantai pasok dan proses produksi harus diestimasi satu per satu sehingga harga akhirnya pasti tidak akan sama dengan sebelum PPN," kata Media dalam keterangannya, Selasa (24/12).
Dia menyebut, meskipun ada paket kebijakan yang ditawarkan, beberapa di antaranya bukanlah hal yang baru dan memang sudah berjalan, seperti stimulus untuk UMKM dan insentif untuk sektor otomotif.
"Perlu diingat, skema bantuan tersebut tidak didesain untuk semua orang atau dinikmati lebih banyak oleh masyarakat bawah," jelasnya
Sebagai gambaran, pemerintah berjanji memberikan diskon PPN DTP bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar atas Rp2 miliar pertama (diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025, dan 50 persen untuk Juli-Desember 2025).
Faktanya, harga jual rumah hingga Rp5 miliar berada di luar jangkauan daya beli masyarakat miskin. Masyarakat dengan pendapatan rendah biasanya hanya mampu membeli rumah subsidi dengan harga jauh dibawah Rp500 juta.
"Jadi, diskon PPN 100 persen untuk pembelian hingga Rp2 miliar pertama lebih relevan bagi kelompok yang memiliki kemampuan untuk membayar uang muka dan cicilan untuk rumah di kisaran harga tersebut. Dengan kata lain, kelompok masyarakat miskin belum tentu menikmati diskon tersebut," paparnya.
Insentif Lain
Kondisi serupa juga sama dengan berbagai insentif paket kebijakan ekonomi lainnya seperti insentif berupa PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk pembelian kendaraan bermotor hybrid, yang hanya akan dinikmati oleh kelas atas, atau Tarif PPh Final 0,5 persen untuk WP OP UMKM yang telah Menggunakan Selama 7 Tahun dimana UMKM yang telah memanfaatkan tarif PPh Final selama 7 tahun cenderung merupakan usaha yang lebih mapan dan telah menikmati berbagai insentif perpajakan sebelumnya.
Tak hanya itu, menurutnya pernyataan DJP terkait kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tidak memberi dampak signifikan pada inflasi sangat tidak tepat dan menyesatkan.
Sebagai catatan, tiga tahun lalu atau April 2022, Indonesia menaikkan PPN dari 10 persen ke 11 persen, inflasi tahunan melonjak dari 3,47 persen menjadi 4,94 persen hanya dalam waktu tiga bulan.
Media menilai upaya DJP dan Pemerintah menenangkan masyarakat lewat paket ekonomi sangatlah problematik. Tarif PPN itu bersifat regresif dan dampaknya tidak sama untuk semua orang dimana masyarakat bawah pasti akan lebih tertekan (lihat studi CELIOS, 28 November 2024).
"Pemerintahlah yang menebar penyakit ekonomi pada masyarakat dan kemudian seakan-akan sangat heroik dengan menawarkan obat lewat paket kebijakan ekonomi," Media mengakhiri.