Ekonomi Indonesia Diklaim Kuat tapi Ternyata Rapuh, Ini Buktinya
Kinerja sektor manufaktur Indonesia justru mengalami penurunan di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diklaim tetap kuat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Indonesia tumbuh 5,05 persen secara tahunan atau year on year (yoy) di kuartal II-2024. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan pada kuartal I-2024 yang mampu tumbuh 5,11 persen (yoy
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengklaim pertumbuhan ekonomi Indonesia ini lebih tinggi dari beberapa negara lain dibandingkan China hingga Singapura.
"Ditengah ketidakpastian global, fundamental ekonomi kita masih baik, dan di triwulan ke II kita tumbuh 5,05 persen," ucap Menko Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, dilansir Kamis (15/8).
Dia mencatat, ekonomi China di kuartal II-2024 tercatat tumbuh 4,7 persen. Dia juga membandingkan dengan Korea Selatan yang tumbuh 2,3 persen, Singapura yang tumbuh 2,9 persen, serta Meksiko yang tumbuh 2,24 persen.
"(Angka pertumbuhan ekonomi 5,05 persen) ini dibandingkan dengan China, kita masih lebih tinggi. China 4,7 (persen) sedangkan Singapura sendiri 2,9 (persen), Korea Selatan 2,3 (persen) dan juga terkait dengan Meksiko kira-kira 2,24 (persen)," tuturnya.
Meski demikian, ekonomi Inodnesia ternyata tak sekuat itu alias rapuh. Buktinya. kinerja sektor manufaktur Indonesia justru mengalami penurunan di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diklaim tetap kuat. Hal ini tercermin dari data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia untuk Juli 2024, yaitu sebesar 49,3, turun dibandingkan Juni 2024 yang berada pada angka 50,7.
Ekonom sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto mengamini bahwa tren penurunan kinerja manufaktur telah terjadi selama empat bulan berturut-turut. Hal ini disebabkan oleh turunnya permintaan baik dari sisi pasar domestik maupun internasional.
"Secara umum PMI turun 4 bulan berturut-turut hingga ke level kontraksi karena lesunya permintaan, baik domestik maupun global," ujar Eko saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Kamis (15/8)
Penurunan kinerja industri manufaktur ini terekam dari pola konsumsi sisi konsumen. Saat ini, masyarakat mulai selektif untuk berbelanja. Hal ini karena daya beli masyarakat yang stagnan, bahkan cenderung menurun. Sementara biaya-biaya atau beban hidup justru mengalami peningkatan.
"Ini berdampak pada berkurangnya pesanan/order oleh pembeli besar ke industri. Akhirnya industri banyak mem-PHK karyawan karena sepi order," beber dia.
Atas situasi tersebut, Eko meminta pemerintah mengurangi pungutan-pungutan pajak terkait produk industri. Keringanan pungutan pajak ini diharapkan akan kembali mendorong konsumsi atau belanja masyarakat sebagai penopang perekonomian nasional.
"Karena sumber utamanya (ekonomi) di belanja konsumen," beber dia.
Penyebab Melemahnya Daya Beli Masyarakat
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga menyebutkan bahwa tengah terjadi tren pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah karena kebijakan struktural pemerintah. Pertama, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen membuat kelas menengah harus membayar barang lebih mahal.
"Apalagi tarif PPN jadi 12 persen tahun depan, dikhawatirkan banyak yang terpukul termasuk pelaku ritel," ujar Bhima saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Kamis (15/8).
Kedua, pelemahan daya beli masyarakat menengah juga dipicu oleh terus menurunnya kinerja industri manufaktur. Pelemahan ini tercermin dari indeks PMI Manufaktur pun turun ke level 49,3 atau berada di zona kontraksi untuk periode Juli 2024.
Dia menyebut, pelemahan kinerja industri manufaktur ini akibat kegagalan pemerintah dalam membendung serbuan barang impor ilegal yang dijual lebih murah. Akibatnya, industri manufaktur domestik menjadi kalah bersaing di pasaran.
"Akibatnya serapan tenaga kerja sektor formal tertekan, phk massal berlanjut," keras dia.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat ada 11.000 buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil. Angka ini terjadi di lingkup perusahaan berskala besar.
Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita mengatakan besaran PHK ini terjadi pasca terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Melalui aturan ini, ada beberapa barang kategori tekstil dan produk tekstil yang masuk Indonesia dengan mudah.
"Jadi perkembangan isu PHK di industri TPT dapat kami sampaikan ini pasca terbitnya Permendag 8 Tahun 2024," ujar Reni dalam Diskusi Bertajuk Permendag No. 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional, di Jakarta, Senin (8/7/2024).
Daftar Perusahaan Lakukan PHK
Dia mengatakan, secara jumlah memang tidak menyentuh 20.000 orang yang terkena PHK. Hanya saja, jumlahnya mencapai 11.000 buruh dari beberapa perusahaan besar.
"Nah untuk industri besar memang ini ada beberapa PHK yang dilakukan, walaupun kalau dihitung juga tidak lebih dari 20 ribu ya, hanya 11 ribu lah," paparnya.
Dia bilang, penurunan produksi dan PHK yang dilakukan perusahaan besar ini sebetulnya terjadi sejak awal tahun 2024. Reny turut menampilkan rincian perusahaan yang melakukan PHK pegawai. Jumlahnya pun beragam, mulai dari 500 orang hingga 8.000 orang.
Berikut daftar perusahaan yang melakukan PHK:
- PT S Dupantex, Jawa Tengah: PHK 700- an orang.
- PT Alenatex, Jawa Barat: PHK 700-an orang.
- PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah: PHK 500-an orang.
- PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah: PHK 400-an orang.
- PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah: PHK 700-an orang.
- PT Sai Apparel, Jawa Tengah: PHK 8.000-an orang.