Industri Makanan Minuman Kena Dampak Pelemahan Rupiah, Beban Impor Tembus Rp500 Triliun
Bahan baku makanan minuman masih didominasi oleh impor dari luar negeri, sehingga hal itu memberikan efek terhadap Industri tersebut.
Melansir dari Bloomberg, Selasa (25/6) Rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp16.373 di point -20,50 atau 0,13 persen.
Industri Makanan Minuman Kena Dampak Pelemahan Rupiah, Beban Impor Tembus Rp500 Triliun
Industri Makanan Minuman Kena Dampak Pelemahan Rupiah, Beban Impor Tembus Rp500 Triliun
- Industri Makanan dan Minuman Dihantui PHK Massal, Ini Penyebabnya
- Kemenperin Siapkan Dana Rp20 Miliar untuk Industri Makanan dan Minuman, Uangnya Untuk Ini
- Pemerintah Sentil Industri Minuman Masih Kecanduan Bahan Baku Impor, Pengusaha: Harganya Lebih Murah
- Curhat Pengusaha Minuman Ringan Makin Terpuruk: Kondisi Industri Ini Sangat Menyedihkan
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman menyebut bahwa industri makanan dan minuman tengah merasakan dampak dari pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir dari Bloomberg, Selasa (25/6) Rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp16.373 di point -20,50 atau 0,13 persen.
Adhi mengatakan, bahan baku makanan minuman masih didominasi oleh impor dari luar negeri, sehingga hal itu memberikan efek terhadap Industri tersebut. Dia mengaku telah menghitung empat komodoti yakni gandum, susu, garam dan gula memiliki beban impor sebesar Rp500 triliun, karena pelemahan Rupiah.
"Terus terang bahan baku kita masih banyak impor, itu jadi masalahnya. Kemarin saya hitung-hitung saja dari empat komodoti, dari gandum, susu, garam gula itu saja kira-kira nilai impornya menurut BPS (Badan Pusat Statistik) kan USD9 miliar," kata Adhi kepada media, Jakarta, Selasa (25/6).
"Kalau pelemahan menurut perbankan, pelemahan tuh sekitar sampai sekarang year to date (ytd) tuh sekitar 6,5 persen. Kalau 6,5 persen dari Rp16.000-an tuh kan berarti sekitar Rp800. Rp800 dikali 9 miliar USD itu baru yang empat komoditi utama, itu sudah (beban impor) sekitar Rp500 triliun ya konsumsinya," sambung Adhi.
Menurutnya, hal itu memberikan beban terhadap industri makanan dan minuman. Sehingga, dia berharap pemerintah terus mengintervensi untuk tidak lebih dari Rp16.500.
"Berangkat dari itu, pemerintah harus bertahan jangan sampai jebol lagi. Kalau ini lewat lagi sangat berat sekali," imbuh dia.
Meski begitu, demand industri mamin saat ini masih terkendali, hal itu terlihat dari kuartal I-2024 di mana mamin olahan eskpor masih tumbuh 5 persen dibandingkan periode sebelumnya.
"Kalau kuartal 1 kita di mamin olahan ekspor masih tumbuh 5 persen. Nah, cuman masalahnya di ekspor ini sekarang logistik malah. Logistik ke negara-negara yg jauh itu naik 3-4 kali lipat sehingga banyak buyer yg minta ditunda, minta kirimnya dihold dulu, produksi dihold segala macam ini karena logistik. Jadi, bertubi-tubi masalah yang ada," tutup Adhi.
Sebagai informasi, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo buka suara terkait pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat atau USD. Melansir data Bloomberg, nilai tukar Rupiah melemah 0,34 persen ke level Rp16.420 per USD.
Perry menyebut, pelemahan nilai tukar Rupiah dipengaruhi oleh dampak tingginya ketidakpastian pasar global. Terutama berkaitan dengan ketidakpastian arah penurunan Federal Funds Rate (FFR) atau suku bunga antarbank oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed.