Kerugian Penundaan Pembangunan PLTU Diprediksi Tembus Rp209,6 Triliun
Penundaan tersebut dikarenakan adanya pembatasan perjalanan dan pergerakan antara negara-negara dunia. Ini kemudian berdampak pada keterlambatan pengiriman impor bahan baku komponen PLTU.
Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari memprediksi kerugian penundaan kontruksi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia mencapai Rp209,6 triliun yang disebabkan pandemi virus corona atau covid-19.
"Per tanggal 8 maret kemarin ada 12 PLTU yang sedang dibangun yang telah menyampaikan notifikasi post major atau indikasi akan terdampak covid-19 sendiri, global energi telah menghitung estimasi kerugiannya sekitar 209,6 triliun akibat penundaan pembangunan ini," kata Adila dalam paparan Media Briefing Secara Daring, Jakarta, Senin (30/3).
-
Mengapa TPU Cikadut dianggap berjasa selama pandemi Covid-19? Kehadiran TPU Cikadut juga amat berjasa kala pandemi Covid-19 sedang ganas-ganasnya tiga tahun lalu. Hal itu menjadikan area pemakaman tersebut sebagai lokasi penunjang dari ratusan pasien yang meninggal dunia.
-
Mengapa PLTU Batang dibangun? Pembangunan PLTU Batang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa dan merupakan bagian dari program penyediaan listrik 35.000 MW.
-
Bagaimana Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah pandemi? Pemilihan ini dilakukan di tengah situasi pandemi COVID-19, sehingga dilaksanakan dengan berbagai protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan.
-
Kenapa Covid Pirola mendapat perhatian khusus? Namun, para pemerhati kesehatan dan ahli virus memberi perhatian lebih terhadap subvarian ini lantaran kemampuan Pirola dalam melakukan breakthrough infections lebih tinggi dibandingkan varian lainnya. Ketika sebuah varian atau subvarian virus COVID memiliki kemampuan breakthrough infections yang tinggi maka akan menyebabkan kasus re-infeksi semakin tinggi.
-
Dimana PLTU Batang berada? PLTU Batang adalah pembangkit listrik tenaga uap ultra critical sebesar 2x1.000 MW di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
-
Dimana para ilmuwan mengambil inti es yang berisi virus purba? Pada 2015 tim peneliti internasional menjelajah ke Gletser Guliya yang terpencil di Dataran Tinggi Tibet di Himalaya untuk mengumpulkan inti es sepanjang ratusan meter.
Penundaan tersebut dikarenakan adanya pembatasan perjalanan dan pergerakan antara negara-negara dunia. Ini kemudian berdampak pada keterlambatan pengiriman impor bahan baku komponen PLTU.
"Jadi untuk PLTU Indonesia sendiri Tingkat Komponen dalam negeri (TKDN) kita masih rendah diangka 17,1 persen, dengan kata lain 60 persen dari komponen bahan baku PLTU sendiri di impor," ujarnya.
Pembatasan perjalanan menyebabkan ada keterlambatan bahan bakunya sampai di Indonesia. Tak hanya itu, produksi dunia juga sedang melambat akibat pandemi ini dan juga adanya pembatasan perjalanan dari negara investor.
"Biasanya mereka membawa tenaga ahli untuk mengerjakan proyek tersebut, karena adanya pembatasan perjalanan sehingga tenaga kerjanya tidak bisa dikirim ke Indonesia," ujarnya.
Berikut daftar PLTU yang ditunda pembangunannya, menurut paparan Adila per 8 Maret 2020 sumber dari global energy monitor:
1. PLTU Jawa-1, kapasitas 1000 MW
2. PLTU Jawa-7 , kapasitas 2 x 1000 MW
3. PLTU Bengkulu , kapasitas 2 x 100 MW
4. PLTU Meulaboh 3&4 , kapasitas 2 x 200 MW
5. PLTU Mulut Tambang Sumsel-1 , kapasitas 2 x 300 MW
6. PLTU Mulut Tambang Sumsel-8, kapasitas 2 x 600 MW
7. PLTU Jawa-4 , kapasitas 2 x 1000 MW
8. PLTU Kalbar-1 , kapasitas 2 x 100 MW
9. PLTU Kalbar-2 , kapasitas 2 x 100 MW
10. PLTU Kalteng-1 , kapasitas 2 x 100 MW
11. PLTU Sulbagut-1 , kapasitas 2 x 50 MW
12. PLTU Sulut-3 , kapasitas 8200 MW
Pemerintah Disarankan Lakukan Penyesuaian Rencana dan Target
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) diminta untuk menyesuaikan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dengan situasi pandemi virus corona Covid-19. Sebab, pandemi virus corona berdampak pada kondisi perekonomian dan konsumsi listrik di Indonesia.
Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mengatakan, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan pemerintah di tengah pandemi covid-19 dan krisis iklim di Indonesia.
"Di bulan Januari kita sudah menyaksikan langsung krisis iklim yang sangat nyata menerima curah hujan yang cukup tinggi setelah 154 tahun, jadi itu tanda-tanda krisis iklim itu memang sudah terjadi di Indonesia, dan kasus lainnya covid-19, ini ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam menyusun RUPTL selanjutnya," kata Adila dalam paparan Media Briefing Secara Daring, Jakarta, Senin (30/3).
Beberapa penyesuaian yang harus dilakukan pemerintah untuk perencanaan kelistrikan yaitu, pertama penyesuaian asumsi pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui, sebelum adanya pandemi covid-19 ini, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di 5 persen 5,4 persen, namun kemudian diralat menjadi 4,2-4,6 persen karena ada pandemi ini.
"Bahkan kementerian keuangan kita meralat lagi bahwa pertumbuhan ekonomi bisa semakin buruk bisa mencapai 2,5 hingga 0 persen jika wabah pandemi ini berlangsung lama. Tentunya ini harus disesuaikan di dalam asumsi pertumbuhan ekonomi RUPTL," ujarnya.
Kedua, penyesuaian dengan angka kebutuhan listrik. Sebab, saat ini ada kebijakan kerja dari rumah yang tentunya menyebabkan penutupan sektor bisnis, perkantoran, perhotelan, perbelanjaan, dan juga pariwisata. Penutupan sektor-sektor ini akan menyebabkan penurunan permintaan listrik di Indonesia.
Ketiga, penyesuaian kapasitas pembangkit yang akan direncanakan dalam 10 tahun ke depan, yaitu dalam jangka waktu RUPTL tersebut. Yang pertama adalah penundaan kontruksi batu bara baru yang sedang di bangun.
"Ini per tanggal 8 maret kemarin ada 12 PLTU yang sedang dibangun yang telah menyampaikan notifikasi post major atau indikasi akan terdampak covid-19 sendiri," ujarnya.
Reporter: Tira Santia
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)