Lembaga AS Sebut Indonesia Terima Utang Siluman Rp488 T dari China, Ini Kata Kemenkeu
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo coba menjelaskan utang tersembunyi dari China tersebut dari sudut pandang Pemerintah RI.
Lembaga riset Amerika Serikat (AS) AidData mengungkapkan, Indonesia menerima utang secara diam diam atau utang siluman dari China hingga total sebesar USD 34,38 miliar atau setara Rp488,9 triliun dengan kurs saat ini.
Laporan itu mengkaji jumlah penyaluran pembiayaan China kepada sejumlah negara berkembang melalui berbagai proyek selama kurun waktu 2000-2017. Indonesia disebut ada di posisi lima sebagai negara penerima utang terbanyak dari China.
-
Apa yang ditemukan di Kota Yangquan, Provinsi Shanxi, China utara? Sebanyak tujuh gigi Petalodus berusia 290 juta tahun dengan bentuk kelopak ditemukan di batu kapur Qianshi di Kota Yangquan, Provinsi Shanxi, China utara.
-
Apa yang ditemukan di desa Pingyan, China? Penemuan jejak kaki raksasa menghebohkan desa Pingyan, provinsi Guizhou, di bagian barat daya China.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Apa yang ditemukan di Desa Longxiang, China? Hingga saat ini, telah ditemukan lebih dari 600 jejak kaki dinosaurus di area seluas sekitar 1.600 meter persegi di situs yang berada di Desa Longxiang itu.
-
Dimana embung yang terbengkalai di Kebumen itu berada? Embung itu terletak di daerah perbukitan, tepatnya di Desa Giritirto, Kecamatan Karanggayam, Kebumen.
-
Bagaimana bentuk Gua Kemang? Berbentuk Tidak Simetris Melansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Gua Kemang sendiri berbeda dari gua-gua lainnya yakni memiliki bentuk yang tidak simetris.
Menanggapi laporan tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo coba menjelaskan utang tersembunyi dari China tersebut dari sudut pandang Pemerintah RI.
"Agar tidak simpang siur dan terang, kami jelaskan duduk soalnya. Informasi yang disampaikan kurang tepat dan rawan digoreng hingga gosong. Itu bukan utang Pemerintah tapi dikait-kaitkan," ujar Prastowo melalui akun Twitter @prastow, Jumat (15/10).
Dia mengklarifikasi, hidden debt versi AidData tak dimaksudkan sebagai utang yang tidak dilaporkan atau disembunyikan. "Melainkan utang non-pemerintah tapi jika wanprestasi berisiko nyrempet pemerintah. Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi," serunya.
Prastowo memaparkan, utang Indonesia tersebut dihasilkan dari skema Business to Business (B2B) yang dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, Special Purpose Vehicle, perusahaan patungan, dan swasta. Dalam konteks ini, ia menyebut utang BUMN tidak tercatat sebagai utang dan bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah.
"Demikian juga utang oleh perusahaan patungan dan swasta tidak masuk dalam wewenang Pemerintah, sehingga jika pihak-pihak tersebut menerima pinjaman, maka pinjaman ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka," ungkapnya.
Transparansi
Menurut dia, bentuk transparansi utang pemerintah tergambarkan lewat proses Penarikan Utang Luar Negeri (ULN) yang dilakukan oleh pemerintah, BUMN, dan swasta yang tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI). Dokumen itu lantas disusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan.
"Berdasarkan data SULNI per akhir Juli 2021, total ULN Indonesia dari Cina sebesar USD 21,12 miliar, terdiri dari utang yang dikelola Pemerintah sebesar USD 1,66 miliar (0,8 persen dari total ULN Pemerintah), serta utang BUMN dan swasta dengan total mencapai USD 19,46 miliar," terang Prastowo.
"Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, tidak tepat jika terdapat ULN (termasuk pinjaman Cina) yang dikategorikan sebagai “hidden debt”. Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan informasinya dapat diakses oleh publik. Tak ada yg disembunyikan atau sembunyi2," tegasnya.
Sementara terkait utang BUMN yang dijamin, Prastowo melanjutkan, ini dianggap kewajiban kontinjensi pemerintah yang tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan pemerintah, sepanjang mitigasi risiko default dijalankan.
Kewajiban kontinjensi dijelaskannya memiliki batasan maksimal penjaminan oleh pemerintah. Batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan memperoleh jaminan pada 2020-2024 sebesar 6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) 2024.
"Dengan tata kelola seperti ini, mitigasi risiko dilakukan sedini mungkin dan tdk akan menjadi beban pemerintah, apalagi beban yg tak terbayarkan. Jadi sekali lagi, tak perlu dikhawatirkan sepanjang dikaitkan dg pemerintah," pungkasnya.
Reporter: Maulandy Rizky Bayu Kencana
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)