Lima Pabrik Kimia Farma Tutup, Stafsus Erick Thohir Buka-bukaan soal Nasib Karyawan
Kapasitas produksi lima pabrik milik Kimia Farma yang akan ditutup tersebut tidak pernah mencapai target.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) angkat suara terkait rencana penutupan sebanyak lima pabrik milik Kimia Farma (Persero) Tbk. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, lima pabrik milik Kimia Farma yang akan ditutup merupakan pabrik lama yang tidak efisien.
- Kronologi Kebakaran Pabrik Kimia di Cikupa Tangerang, Api Sulit Dipadamkan
- Pabrik Kimia di Cikupa Tangerang Ini Ludes Terbakar, Kepulan Asap Hitam Muncul Selimuti Langit
- Terungkap, Anak Usaha Kimia Farma Rekayasa Laporan Keuangan
- Bos Kimia Farma Blak-Blakan Ungkap Penyebab Kerugian Fantastis Perusahaan
"Sekarang kita tahu ini adalah pabrik lama yang enggak efisien, harusnya cuma 5 (pabrik), ya ada sepuluh gitu," kata Arya kepada awak media di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (18/7).
Selain itu, kapasitas produksi lima pabrik milik Kimia Farma yang akan ditutup tersebut tidak pernah mencapai target. Meski demikian, dia enggan mengungkapkan lokasi secara detail lima pabrik yang dimaksud tersebut.
"Sejak awal juga dia memang (produksi) nggak pernah ini, selalu di under kapasitas," ungkapnya.
Terkait nasib karyawan, Arya menyebut masih dalam proses pembahasan di internal manajemen Kimia Farma. Diakuinya, penutupan pabrik tersebut akan berdampak langsung ke karyawan.
"Lagi disusun sama teman-teman manajemennya dari Kimia Farma kan, pasti ada konsekuensi dari penutupan pabrik, ada hal-hal yang berhubungan dengan karyawan juga," pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi fraud (kerugian) sebesar Rp294,77 miliar dan berpotensi kerugian Rp164,83 miliar pada PT Indofarma Tbk (INAF) dan anak perusahaan Perseroan yakni PT IGM. Temuan tersebut dilaporkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2023.
BPK menemukan bahwa Indofarma dan anak usahanya menjalankan sejumlah aktivitas yang tidak sesuai dengan seharusnya.
Aktivitas yang merugikan dan potensi kerugian tersebut adalah transaksi jual beli fiktif, penempatan dan pegadaian deposito, hingga pinjaman online (pinjol).
BPK juga menemukan, perseroan melakukan kerja sama pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan customer.
Hal ini antara lain pengadaan serta penjualan teleCTG, masker, PCR, rapid test (panbio), dan isolation transportation yang mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp16,35 miliar serta potensi kerugian sebesar Rp146,57 miliar yang terdiri dari piutang macet sebesar Rp122,93 miliar dan persediaan yang tidak dapat terjual sebesar Rp23,64 miliar.
Selain itu, melakukan pinjaman online (fintech) serta menampung dana restitusi pajak pada rekening bank yang tidak dilaporkan di laporan keuangan dan digunakan untuk kepentingan di luar perusahaan.