Miris! Gara-Gara Ini Pendapatan Petani di Indonesia Kurang dari Rp16.000 Sehari
Situasi ini sudah berlangsung lama, terutama sejak kebijakan pemerintah yang tidak lagi mendukung sektor pertanian pascareformasi.
Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata pendapatan petani di Indonesia hanya sekitar USD1 per kurang alias dari Rp16.000 sehari. Artinya, pendapatan tahunan mereka sekitar USD341 atau hanya Rp5,1 juta.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan rendahnya daya beli para petani. Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian menilai rendahnya pendapatan petani bukanlah masalah baru.
- Ungkit Kondisi Tahun 1995, Pemerintah Pede Ekonomi Indonesia Tumbuh 8 Persen di Era Pemerintahan Prabowo
- Petani Indonesia Tetap Miskin Meski Harga Pangan di Pasar Terus Naik, Pendapatan Setahun Cuma Rp5,4 Juta
- Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Capai 25,22 Juta Orang per Maret 2024
- Persaudaraan Jangan Sampai Memudar karena Tidak Bisa Menerima Hasil Pemilu
Bahkan situasi ini sudah berlangsung lama, terutama sejak kebijakan pemerintah yang tidak lagi mendukung sektor pertanian pascareformasi.
"Sebetulnya bukan hanya saat ini pendapatan petani rendah, ini sudah terjadi sejak kebijakan pemerintah tak lagi berpihak pada sektor pertanian, terutama sejak reformasi dan keran impor terbuka lebar sehingga banyak petani dalam negeri babak belur karena kalah saing," kata Eliza kepada merdeka.com, Senin (23/9).
Menurutnya kebijakan impor yang terbuka lebar telah membuat petani dalam negeri sulit bersaing. Kondisi ini mendorong banyak petani untuk mencari pekerjaan sampingan guna mencukupi kebutuhan hidup.
Eliza mengungkapkan dalam penelitiannya yang dilakukan di Cianjur menunjukkan, pendapatan dari sektor pertanian tidak mencukupi dan bahkan tidak mencapai setengah dari kebutuhan hidup mereka.
Ia merincikan beberapa alasan pendapatan petani di Indonesia masih rendah. Pertama lahan sempit, sekitar 62 persen petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare.
Lahan sempit ini menyulitkan mereka mencapai skala ekonomi yang memadai, sehingga biaya produksi per satuan menjadi tinggi. Sementara harga yang diterima petani ditekan oleh tengkulak.
"Akibatnya biaya per satuan unit menjadi mahal sementara dari sisi harga ditekan tengkulak," jelas dia.
Bandar Bikin Petani Miskin
Kedua, buruknya tata kelola pangan. Banyaknya perantara dalam distribusi pangan menyebabkan informasi tidak simetris.
Petani sering kali berada dalam posisi tawar yang lemah dan menjadi 'price taker', artinya harga jual ditentukan oleh bandar. Di beberapa daerah, harga gabah bahkan berada di bawah rata-rata nasional.
"Beberapa kali saya menemukan harga gabah di beberapa daerah itu dibawah harga gabah rata rata nasional," imbuhnya.
Ketiga, produktivitas rendah. Rendahnya produktivitas dan lahan sempit, ditambah dengan meningkatnya biaya produksi, menyebabkan margin keuntungan semakin kecil. Banyak petani yang terjerat kemiskinan dan kesulitan modal, serta kurangnya infrastruktur dasar yang mendukung adopsi teknologi dan inovasi.
"Ini karena petani kita banyak yang terjerat dalam kemiskinan, kesulitan modal dan kurangnya infrastruktur dasar pendukung menyebabkan rendahnya adopsi teknologi dan inovasi sehingga produktivitasnya terus menurun," papar dia.
Daya Beli Petani Tergerus Kenaikan Harga Pangan
Keempat, kurangnya kendali harga oleh pemerintah. Hampir 60 persen pengeluaran masyarakat kelas bawah digunakan untuk membeli bahan makanan. Ketika harga pangan tidak terkendali dan pendapatan petani tidak meningkat signifikan. Daya beli mereka semakin tergerus, yang berpotensi menggerus aset pertanian mereka.
"Ketika harga-harga kurang terkendali, sementara pendapatan petani tdk naik signifikan, daya belinya semakin tergerus dan lama lama akan menggerus aset petani," tandasnya.
Sebagai tambahan, BPS mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Agustus 2024 mencapai 119,85, mengalami kenaikan sebesar 0,20 persen dibanding bulan sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) sebesar 0,08 persen, sementara Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) mengalami penurunan sebesar 0,12 persen.
Meskipun ada kenaikan NTP, kondisi pendapatan petani di Indonesia tetap memprihatinkan.