Penjelasan ini buktikan Rizal Ramli tak paham pulsa listrik
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms, Fabby Tumiwa: Pak Rizal Ramli dapat data dari mana?
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli kembali kembali melahirkan kontroversi. Setelah merevisi target kebutuhan listrik nasional dari 35.000 mega watt (MW) menjadi 16.167 MW, dia menuding adanya mafia dalam penerapan harga listrik pulsa atau prabayar.
Sejak beberapa tahun terakhir, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) gencar menawarkan pembelian listrik dengan sistem pulsa. Cara ini dianggap lebih efisien. Namun di mata Menko Rizal, masyarakat justru dirugikan. Dia 'mencurigai' adanya kecurangan di balik pulsa listrik.
-
Apa yang dimaksud dengan energi listrik? Energi listrik adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh pergerakan partikel bermuatan, khususnya elektron, melalui suatu penghantar atau rangkaian tertutup.
-
Kapan Kota Solo resmi dialiri listrik? Pada 12 Maret 1901, Kota Solo resmi dialiri listrik.
-
Bagaimana PLN mendukung transisi ke kendaraan listrik? PLN siap mendukung upaya pemerintah dalam mendorong ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Pengguna EV tidak perlu risau, sebab infrastruktur telah dibangun lebih merata. Apalagi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU), dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) telah siap, mudah dan nyaman digunakan.
-
Mengapa Rizal Ramli dijuluki "Rajawali Ngepret"? Masyarakat Indonesia pasti mengenal Rizal Ramli sebagai Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya. Namun, banyak juga yang mengenal Rizal Ramli sebagai sosok yang kritis terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak berpihak pada kepentingan bangsa dan negara, sehingga dia mendapat julukan baru "Rajawali Ngepret".
-
Apa definisi dari energi listrik? Pengertian energi listrik adalah suatu energi yang dipasok oleh arus listrik dan potensial listrik.
-
Bagaimana cara PLTA Kracak menyalurkan listrik? “Jadi ini listriknya disalurkan ke Bogor, yang saat itu Buitenzorg sedang butuh, terutama untuk penerangan kantor gubernur. Setelah Buitenzorg memiliki penerangan, listrik disalurkan ke Tanjung Priuk untuk operasional Trem dan perkotaan,” kata sang kreator, Jejak Siborik.
Dari ilustrasinya, bila masyarakat membeli pulsa listrik sebesar Rp 100.000, listrik yang didapat ternyata cuma Rp 73.000. Tentunya ada selisih lumayan besar dalam perhitungannya. Dia menuding, selisih itu dicaplok mafia pulsa listrik.
Sudah lantang berteriak adanya mafia pulsa listrik, Rizal justru dianggap tidak paham masalah yang diungkapkannya. "Kita mau bayar bulanan atau pulsa sama saja. Bedanya di pembayaran di awal dan akhir. Kalau pra bayar kita beli dulu kuantitas energi kita pakai. Itu Pak Rizal Ramli dapat data dari mana?" tanya Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms, Fabby Tumiwa kepada merdeka.com.
Ucapan Rizal mengenai pulsa listrik seolah menunjukkan ketidakpahamannya di sektor energi. Apalagi setelah pernyataan itu muncul beragam penjelasan yang meluruskan pernyataan Rizal Ramli. Merdeka.com mencatat pernyataan yang membuktikan Rizal tak paham soal pulsa listrik:
Hitungan Menko Rizal aneh
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms, Fabby Tumiwa mempertanyakan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli yang menyebut listrik menggunakan voucher tidak adil.
Menurut Fabby, penggunaan listrik pra bayar atau sistem voucher seharusnya jauh lebih murah atau irit dibanding pasca bayar. Soalnya, di listrik pasca bayar, masyarakat harus membayar biaya beban.
"Benar Pak Rizal Ramli ngomong begitu? Setau saya mau kartu pra bayar atau pasca bayar itu mekanismenya saja yang berbeda, tarif sama. Tarif listrik sendiri diputuskan pemerintah dengan DPR," ucap Fabby saat berbincang pada merdeka.com di Jakarta, Senin (7/9).
Fabby sendiri mengaku heran dengan pernyataan menteri Rizal Ramli yang menyebut beli pulsa listrik Rp 100.000 tapi hanya dapat Rp 73.000. Fabby tidak tahu asal atau cara hitung-hitungan Rizal.
"Kan sama kita sama mau bayar bulanan atau pulsa sama saja. Bedanya di pembayaran di awal dan akhir. Kalau pra bayar kita beli dulu kuantitas energi kita pakai. Itu Pak Rizal Ramli dapat data dari mana?" tanyanya.
Rizal Ramli salah menjelaskan
Pejabat internal PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang tidak ingin disebut namanya, memberikan penjelasan terkait hal ini. Menurutnya, mungkin yang dimaksud Rizal Ramli bukan Rp 73.000 melainkan 73 Kwh (kilo watt per hour). Jika dikonversi ke rupiah sekitar Rp 94.000 dengan hitungan beban listrik rumah tangga 1.300 watt. Dia menjelaskan hitungannya.
Jika masyarakat membeli pulsa listrik Rp 100.000, akan dipotong sekitar 3-10 persen untuk pajak penerangan jalan (PPJ). "Besaran pajak itu yang menentukan pemda, PLN hanya diberi tugas memungut saja. Misalnya kena pajak 3 persen (Rp 3.000), maka sudah tinggal Rp 97.000," ujarnya kepada merdeka.com, Senin (7/9).
Setelah itu, pelanggan juga dikenakan biaya administrasi bank. Dia menjelaskan, pembayaran pembelian pulsa token listrik melibatkan peran perbankan. Jadi otomatis dikenakan biaya administrasi. Masing-masing bank memiliki ketentuan besaranÂ
Misalnya kita ambil saja biaya administrasi bank sekitar Rp 3.000. Jadi tadi Rp 97.000 dikurangi Rp 3.000 jadi tinggal Rp 94.000. Inilah nominal pulsa listrik yang didapat konsumen," jelasnya.
Dari situ dia menjelaskan, Rp 94.000 dibagi dengan biaya listrik per kwh. Untuk pelanggan 1.300 watt, tarif per kwh sebesar Rp 1.352. Maka Rp 94.000 dibagi Rp 1.352 menjadi sekitar 70 kwh. "Inilah yang diperoleh masyarakat. Artinya bukan beli pulsa Rp 100.000 dapatnya Rp 73.000," katanya.
Pengamat sebut Rizal Ramli asal bunyi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms, Fabby Tumiwa meminta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli untuk hati-hati mengeluarkan pernyataan. Ucapan seorang menteri bisa berbahaya apa lagi tidak didukung dengan data yang kuat.
Fabby mengkritik pernyataan Rizal Ramli yang menyebut ada mafia dalam penerapan listrik pra bayar atau listrik dengan pulsa token. Menurut Fabby, listrik pra bayar maupun pasca bayar sama saja dan hanya berbeda dalam sistem pembayaran.
"Rizal Ramli itu menteri, jangan asal ngomong. Dia dapat data dari mana (beli pulsa listrik Rp 100.000 dapat Rp 73.000). PLN bisa dipenjara kalau ini benar," ucap Fabby ketika dihubungi merdeka.com di Jakarta, Senin (7/9).
Sepengetahuan Fabby, tarif listrik pra bayar maupun pasca bayar sama dan sudah di atur oleh PLN bersama DPR. Tidak benar jika ada yang mengatakan listrik menggunakan pulsa lebih boros dari meteran biasa.
PLN jelaskan rumus pulsa listrik
Kepala Divisi Niaga Perusahaan Listrik Negara (PLN) Benny Marbun menjelaskan pembelian pulsa listrik tidak sama seperti telepon. Jika konsumen membeli pulsa telepon Rp 100.000, maka dia mendapat Rp 95.000.
"Kalau beli pulsa listrik Rp 100.000 dapatnya bukan Rp 75.000, tetapi 75 kWh. So, berbeda satuan," katanya dalam pesan pendek, Selasa (8/9).
Dia mengilustrasikan pembelian pulsa listrik Rp 100.000 oleh pelanggan rumah tangga dengan daya 1300 VA.
Apa saja yang diperhitungkan dalam pembelian token tersebut? Administrasi bank Rp 1.600. Ini tergantung bank, ada yang mengenakan Rp 2.000
Biaya materai nol, lantaran transaksi hanya Rp 100.000 Jika transaksi Rp 250.000- Rp 1 juta, biaya materai Rp 3.000. Transaksi di atas Rp 1 juta rupiah kena Rp 6.000.
Pajak Penerangan Jalan (PPJ) Rp 2.306. PPJ di Jakarta 2,4 persen dari tagihan listrik. "PPJ dipungut atas dasar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Seluruh hasil pungutan PPJ disetorkan ke Pemda."
Dari situ, pelanggan bisa mengetahui sisa rupiah untuk listrik. Rumusnya, nilai transaksi dikurangi biaya administrasi bank plus PPJ. "Sisa rupiah untuk listrik: Rp 100.000-(Rp 1.600 + Rp 2.306)= Rp 96.094."
Jika tarif listrik golongan 1300 VA sebesar Rp 1.352/kWh. Maka, pelanggan golongan tersebut mendapat listrik sebesar 71,08 kWh.
"Listrik yang diperoleh: Rp 96.094/1352= 71,08 kWh," kata Benny. "Besaran kWh inilah yg dimasukkan ke meter, bukan Rp 71 ribu."
Rizal Ramli gagal paham
Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan dugaan tersebut hanya gagal paham semata. Pasalnya, token listrik yang tercantum dalam meteran bukan lagi memakai nilai Rupiah tetapi kapasitas listrik dari Rp 100.000.
"Dugaan keluhan beli Rp 100.000 dapat listrik Rp 70.000 hanyalah karena mispersepsi. Angka 70-an yang diperoleh dikira sama dengan Rp 70.000. Sehingga seolah-olah ada mafia mengambil yang mengambil Rp 30.000," ujar dia dalam Rapat di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (8/9).
Menurut dia, masyarakat keliru dengan adanya angka 70-an dalam nota usai pembelian pulsa token listrik. Angka tersebut menunjukkan daya listrik yaitu 70 kilowatt per hour (Kwh) bukan merupakan nilai Rupiah.
"Demikian juga ketika token 20 digit dimasukkan ke meter prabayar yang bertambah di meteran adalah angka 'KWH' bukan 'Rupiah' seperti ketik top-up pulsa handphone," pungkas dia.
(mdk/noe)