Perekonomian Indonesia terlalu bergantung pada konglomerat
Pengusaha raksasa sering menimbulkan problematik. Ekonomi bisa terguncang karena peran konglomerat besar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengakui bahwa struktur perekonomian Indonesia sangat timpang. Nyaris separuh Produk Domestik Bruto (PDB) disumbangkan oleh pengusaha kakap alias konglomerat.
Dari catatannya, jumlah konglomerat hanya 0,01 persen dari seluruh pengusaha di Indonesia, tapi mampu menyumbang 45,5 persen terhadap PDB. Sebaliknya, 98 persen pengusaha di Tanah Air yang masuk kategori mikro, hanya mampu menyumbang 29 persen pada perekonomian nasional.
-
Bagaimana kondisi ekonomi Indonesia di era Soekarno? Dalam buku berjudul 'Jakarta 1950-1970', seorang dokter bernama Firman Lubis mengutarakan kondisi ekonomi Indonesia saat itu amat kacau. "Inflasi melangit dan menyebabkan nilai rupiah merosot tajam dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai gambaran, ongkos naik bus umum yang pada tahun 1962 masih Rp1 berubah menjadi Rp1000 pada tahun 65,"
-
Kenapa krisis moral menjadi masalah di Indonesia? Krisis moral tengah masif terjadi di tengah masyarakat. Apa yang menjadi penyebab dan bagaimana dampaknya?
-
Apa yang dilakukan Kemenkumham untuk meningkatkan perekonomian Indonesia? Menurut Yasonna, dengan diselenggarakannya Temu Bisnis Tahap VI, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian Indonesia.
-
Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya? Jika dibandingkan dengan kuartal II-2022, ekonomi RI mengalami perlambatan. Sebab tahun lalu di periode yang sama, ekonomi mampu tumbuh 5,46 persen (yoy).
-
Bagaimana Pejuang Rupiah bisa menghadapi tantangan ekonomi? "Tidak masalah jika kamu bekerja sampai punggungmu retak selama itu sepadan! Kerja keras terbayar dan selalu meninggalkan kesan abadi."
-
Bagaimana cara Partai Nasional Indonesia (PNI) menjalankan politik ekonominya? PNI adalah partai yang fokus di dalam pemerintahan dengan menjunjung tinggi nasionalisme dan politik ekonomi bersifat nasionalis.
Dari kondisi itu, diakuinya sangat mungkin terulang kejadian krisis ekonomi seperti 1997 lalu. Saat itu, pemerintah harus membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) gara-gara kredit macet menyeruak dari kalangan konglomerat.
"Pengusaha raksasa seringkali menimbulkan problematik. Kalau yang 0,01 persen ini terjadi apa-apa, ekonomi kita bisa terguncang, kita tidak ingin BPPN jilid II," ujar Hatta di kantornya, Kamis (4/7).
Berkaca dari pengalaman negara-negara besar, seharusnya UKM tumbuh melampaui dominasi konglomerasi. Karena itu, Hatta berhasrat mendesak orang-orang superkaya serius membentuk pengusaha kecil menengah.
"Dengan ketimpangan seperti ini, kita perlu melakukan sesuatu untuk mendorong UKM jadi pemain besar. Di negara maju terdapat fenomena menarik, disebut entrepreneur economy, yakni peningkatan ketergantungan industri besar kepada kegiatan-kegiatan usaha kecil, yang fleksibel, lincah, dan menguasai teknologi modern," paparnya.
Sebagai langkah konkret memberdayakan pelaku UKM, politikus PAN itu berjanji mempertegas pelaksanaan affirmative action. Yaitu rangkaian kebijakan untuk mendorong pemberdayaan pengusaha kecil.
Misalnya, menghubungkan UKM dengan bank BUMN agar mudah menerima kredit, memangkas perizinan, dan menggandeng perguruan tinggi, seperti ITB, memberi pelatihan pada pengusaha mikro.
Jika kebijakan ini sukses, Menko Perekonomian yakin 70 juta penduduk yang masuk kategori rentan miskin dapat naik tingkat menjadi bagian kelas menengah, yang saat ini berjumlah 100 juta orang.
"Kita harus menggarap 70 juta rentan miskin dan 100 juta yang menengah, yang punya pengeluaran USD 2-20 sehari. Maka dari itu kita perlu melakukan pemberdayaan UKM," tegasnya.
(mdk/noe)