Pernah Rugi dan Berutang Miliaran Rupiah, Nathan Kini Sukses Pasarkan Sendal Jepit
Kerja keras Nathan berbuah manis. Panama menjadi salah satu merek sandal jepit terbesar di Indonesia.
Kisah Sukses Nathan, Pernah Berutang Miliaran Kini Sukses Jual Sendal Jepit Mahal
Jatuh bangun dalam berbisnis sudah menjadi pengalaman yang kerap dilalui oleh Nathan Handryan Lim, CEO Panama, sebuah merek sandal jepit ternama di Indonesia.
Sebelum membangun Panama, Nathan sudah empat kali menjalani bisnis, namun tidak berusia panjang.
Setelah lulus kuliah pada tahun 2012, Nathan sempat beberapa kali mencoba berbagai bisnis seperti food and beverages, penyedia barang untuk supermarket, dan bisnis kentang goreng bernama Frite Fries.
- Rupiah Nyaris Rp16.000 per USD, Sri Mulyani Nilai Pelemahan Mata Uang Negara Lain Lebih Parah
- Peternak Bebek Asal Jombang Cuan Ratusan Juta Rupiah per Bulan, Ternyata Ini Rahasianya
- Intip Rahasia Sukses Masyarakat Tionghoa Agar Bisa Kaya
- 10 Mata Uang Terendah di Dunia Tahun 2023, Rupiah Indonesia Salah Satunya
Nathan kemudian memulai sebuah bisnis baru, namun karena tidak memperhitungkan arus kas, bisnis tersebut memaksa Nathan harus merugi dan berutang miliaran rupiah.
Kejadian ini membuatnya sangat depresi dan menjadi titik terendahnya dalam berbisnis.
Masalah ini Nathan pendam sendiri.
Dia tidak menceritakan masalahnya kepada orang tuanya. Hampir setiap malam, dia tidak bisa tidur dan ketika saat subuh, dia bangun tidur dan menangis karena tidak tahu harus berbuat apa.
Tabungannya saat itu hanya tersisa Rp2 juta.
Jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, nilai tabungan tersebut seperti bumi dan langit. Walaupun mobilitasnya selalu menggunakan mobil BMW, namun nyatanya Nathan tidak punya uang sama sekali.
Dalam kondisi yang terpuruk, peluang muncul ketika Nathan sedang menyuplai barang di The Food Hall. Tim dari The Food Hall bertanya raut wajah yang terlihat stres.
Nathan bercerita kalau dia sedang stres karena pusing utangnya sangat banyak. Mendengar itu, tim dari The Food Hall kemudian menawarkan dia peluang untuk mencari tenant di salah satu bagian Food Hall di Senayan.
Setelah dihitung-hitung, Nathan melihat ternyata prospek ini cukup menjanjikan. Dia kemudian mencari tenant yang mau membuka toko di Food Hall. Sistemnya, pemilik merek hanya menyetorkan barangnya saja untuk dijual kepada Nathan. Selebihnya, Nathan yang mengurus operasionalnya mulai dari renovasi, booth, bekerjasama dengan pihak Food Hall dan mencari karyawan.
Dari pemilik merek, Nathan mendapatkan Rp15 juta. Uang ini dimanfaatkan untuk biaya untuk masuk Food Hall. Dan 50 persen keuntungan sebanding dengan jasa operasional toko.
Pada tahun 2016, Nathan mulai berpikir bisnis apa yang bisa dijalani selanjutnya. Hingga akhirnya dia melirik bisnis sandal.
Dengan modal Rp20 juta Nathan tertarik dengan Fipper, merek sandal dari Malaysia. Awalnya, dia ingin menjadi distributor dari Fipper namun ditolak karena setelah direview oleh tim Fipper, Nathan dianggap tidak memiliki kualitas yang mumpuni.
Tim Fipper menyarankan Nathan untuk membeli Fipper dari toko mereka yang ada di Bali. Nathan pun kemudian membeli 200 pasang sandal dan berusaha menjual kembali produk tersebut.
Usaha dilakukan Nathan.
Berbagai usaha dilakukan Nathan mulai dari jualan media sosial, hingga keliling toko di Mangga Dua untuk menitip jual produknya yang ada di sana. Namun saat itu dia mengalami banyak penolakan. Saat itu, pasar belum teredukasi dengan baik dan sandal jepit dengan harga Rp90.000 sulit diterima masyarakat, karena mayoritas orang membeli sandal dengan harga yang jauh lebih murah.
Satu waktu, Nathan mengajukan lisensi distributor resmi Fipper di Indonesia. Namun permintaan itu ditolak. Apabila ingin menjadi distributor resmi di Jakarta, Nathan harus membayar Rp1 miliar sebagai biaya lisensi.
Kejadian ini membuat Nathan merasa diperlakukan tidak adil dan tidak dihargai atas kerja kerasnya. Karena selama ini dia sudah berjuang untuk melakukan edukasi pasar dan mempromosikan merk Fipper di Jakarta. Dia merasa, model bisnisnya seperti ini ketika merk Fipper semakin besar mereka bisa memutuskan kontrak sewaktu-waktu. Dia akhirnya banting stir untuk memproduksi sandal sendiri dengan merk Panama. Nathan harus belajar cara membuat sandal dengan kualitas terbaik. Nathan harus berkeliling ke pabrik sandal. Bagaimana cara membuatnya, mengetahui jenis bahan sandal, dan sebagainya.
Kerja keras itu berbuah manis. Panama menjadi salah satu merek sandal jepit terbesar di Indonesia.
Selama lebih dari 7 tahun berbisnis dia membagi beberapa tips untuk seseorang yang menjalani bisnis:
3. Jangan suka membandingkan. Nathan meyakini setiap orang memiliki porsi tantangan yang dihadapi dalam berbisnis. Kuncinya, fokus terhadap apa yang sudah dilakukan dalam berbisnis dan evaluasi segala kekurangan. 4. Mulai dulu saja. Tidak sedikit impian untuk berbisnis hanya sebatas impian atau rencana karena tidak kunjung dilaksanakan.