Prabowo Tambah Jumlah Kementerian Jadi 44, Ekonom: APBN Bakal Tertekan
Penambahan 44 kementerian ini berpotensi untuk mengancam pelaksanaan program prioritas.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara merespons rencana pemerintahan selanjutnya Prabowo - Gibran untuk menambah jumlah kementerian menjadi 44. Ia menyebut, penambahan itu akan sangat membebani APBN.
"Bisa dibayangkan penambahan nomenklatur kementerian baru bisa buat APBN tertekan," tegas Bhima saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Senin (30/9).
- Kabinet Prabowo Fokus Kejar Target Swasembada Pangan, IKN Tak Lagi Jadi Prioritas?
- Kaesang Yakin Kabinet Prabowo Lebih Baik dari Pemerintah Sebelumnya
- Prabowo Bakal Rombak Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN
- Prabowo Targetkan Ekonomi RI 2025 Tumbuh 8 Persen, Kementerian Investasi: Ini Beban Bersama
Bhima mencatat, saat ini, belanja operasional birokrasi pemerintah sudah sangat besar mencapai total Rp691 triliun per tahun. Rinciannya, belanja birokrasi terdiri dari belanja pegawai K/L sebesar Rp285,8 triliun dan belanja barang Rp405,2 triliun.
Sontak, penambahan 44 kementerian ini berpotensi untuk mengancam pelaksanaan program prioritas kabinet Prabowo - Gibran. Mengingat, makin menyempitnya ruang fiskal untuk menyukseskan program pemerintahan selanjutnya.
"Itu kontradiktif jadinya pada pencapaian target ekonomi Prabowo," ucapnya.
Selain itu, penambahan nomenklatur ini justru dinilai kian mempersulit koordinasi program karena risiko tumpang tindih antar kementerian lembaga. Mengingat, penambahan jumlah kementerian/lembaga akan memperpanjang rantai birokrasi.
"Makin panjang rantai birokrasinya, maka semakin lama eksekusi programnya. Nanti khawatir banyak program tidak berjalan secara efektif karena menunggu instruksi satu sama lainnya," tandasnya.Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara merespons rencana pemerintahan selanjutnya Prabowo - Gibran untuk menambah jumlah kementerian menjadi 44. Ia menyebut, penambahan itu akan sangat membebani APBN.
"Bisa dibayangkan penambahan nomenklatur kementerian baru bisa buat APBN tertekan," tegas Bhima saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Senin (30/9).
Bhima mencatat, saat ini, belanja operasional birokrasi pemerintah sudah sangat besar mencapai total Rp691 triliun per tahun. Rinciannya, belanja birokrasi tadi terdiri dari belanja pegawai K/L sebesar Rp285,8 triliun dan belanja barang Rp405,2 triliun.
Sontak, penambahan 44 kementerian ini berpotensi untuk mengancam pelaksanaan program prioritas kabinet Prabowo - Gibran. Mengingat, makin menyempitnya ruang fiskal untuk menyukseskan program pemerintahan selanjutnya.
"Itu kontradiktif jadinya pada pencapaian target ekonomi Prabowo," ucapnya.
Selain itu, penambahan nomenklatur ini justru dinilai kian mempersulit koordinasi program karena risiko tumpang tindih antar kementerian lembaga. Mengingat, penambahan jumlah kementerian/lembaga akan memperpanjang rantai birokrasi.
"Makin panjang rantai birokrasinya, maka semakin lama eksekusi programnya. Nanti khawatir banyak program tidak berjalan secara efektif karena menunggu instruksi satu sama lainnya," tandasnya.
DPR Setuju Penambahan Kementerian
Sebagai informasi, kini Badan Legislasi DPR RI sudah menyetujui agar RUU Kementerian Negara untuk dibawa ke rapat paripurna yang selanjutnya bakal disahkan sebagai undang-undang.
Dalam RUU tersebut, perubahan-perubahan muatan dalam pasal sudah diputuskan dalam rapat panitia kerja (panja). Perubahan dalam RUU tersebut, di antaranya terdapat penyisipan pasal yakni Pasal 6A soal pembentukan kementerian tersendiri, kemudian disisipkan juga Pasal 9A soal presiden yang dapat mengubah unsur organisasi sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya salah satu poin penting dalam RUU itu adalah perubahan Pasal 15. Dengan perubahan pasal itu, presiden kini bisa menentukan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan negara, tidak dibatasi hanya 34 kementerian seperti ketentuan dalam undang-undang yang belum diubah.