Program Tax Amnesty Bisa Turunkan Kepatuhan Wajib Pajak, Kok Bisa?
Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan FIA UI, Prof Haula Rosdiana menilai secara konsep program ini relatif serupa dengan kebijakan tax amnesty yang pernah dilakukan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mencatat sampai 17 April 2022 terdapat 37.453 wajib pajak yang telah mengikuti Program Pengungkapan Sukarela. Tidak kurang dari 42.932 berkas diajukan dalam program ini.
Sehingga jumlah PPh yang diraup pemerintah dalam program ini mencapai Rp6,65 triliun dengan nilai harta bersih yang diungkap Rp65,28 triliun. Adapun deklarasi dalam negeri dan repatriasi sebesar Rp56,1 triliun. deklarasi luar negeri Rp4,97 triliun. Sementara itu dari investasi sebesar Rp4,17 triliun.
-
Apa itu pajak? Pungutan Wajib KBBI mendefinisikan pajak sebagai pungutan wajib untuk penduduk kepada negara atas pendapatan, pemilikan, dan lainnya.
-
Siapa Paulus Pandjaitan? Paulus putra dari Menko Luhut ini ternyata mengikuti jejak ayahnya yang meniti karier di bidang kemiliteran. Siapa yang tak kenal Luhut Binsar Pandjaitan? Selain menjabat sebagai Menteri Menko Marves, ia juga memiliki karier mentereng di bidang kemiliteran. Anak sulungnya, Paulus Pandjaitan rupanya mengikuti jejak karier sang ayah.
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
-
Siapa yang bertapa di Desa Pajajar? Lokasi ini konon jadi tempat pertapaan Raja Prabu Siliwangi. Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi merupakan salah satu raja paling berpengaruh sepanjang masa kerajaan Sunda Pajajaran.
-
Kapan Kerajaan Pajajaran runtuh? Sejak itu, Kerajaan Pajajaran jadi mudah diserang hingga akhirnya runtuh pada 1579.
-
Kapan P.K. Ojong meninggal? Sebulan kemudian, Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan FIA UI, Prof Haula Rosdiana menilai secara konsep program ini relatif serupa dengan kebijakan tax amnesty yang pernah dilakukan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Namun menurutnya masih ada sejumlah faktor yang belum mendukung keberhasilan program ini.
"Sejauh ini, faktor-faktor penting yang mendukung keberhasilan tax amnesty maupun PPS belum terpenuhi," kata Haula dalam keterangan resminya, dikutip, Rabu (20/4).
Setidaknya, ada 5 variabel penting pendukung kesuksesan tax amnesty di banyak negara yang belum dioptimalkan Pemerintah Indonesia. Antara lain ketersediaan data aset di luar negeri sebelum tax amnesty dilaksanakan. Sosialisasi masif ke mancanegara melibatkan konsulat atau KBRI.
Kemudian kampanye melibatkan pejabat tinggi negara (top government). Serius menyusun regulasi yang fokus pada repatriasi aset—tanpa pilihan tarif untuk opsi deklarasi ase. Hingga menyediakan instrumen investasi yang tepat dan jelas keuntungannya sebagai wadah aset repatriasi.
"Negara-negara yang berhasil melaksanakan tax amnesty pada umumnya telah memperhatikan faktor-faktor pendukung tersebut. Sementara pelaksanaan tax amnesty di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi faktor-faktor tersebut," kata Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal UI, Ning Rahayu.
Berkaca pada pengalaman di banyak negara, tax amnesty lazimnya tidak dilakukan dalam jangka waktu yang berdekatan atau dapat diprediksi masyarakat. Amnesti pajak yang dilakukan berulang kali justru kontraproduktif dan dapat menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak.
Masyarakat akan cenderung menunda pemenuhan kewajiban pajak demi memperoleh tarif dan pajak terutang yang lebih rendah karena meyakini atau mengetahui akan adanya Tax Amnesty lanjutan. Preseden ini juga bisa menjadi disinsentif bagi wajib pajak yang patuh karena merasa memikul beban pajak yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak patuh.
"Kebijakan tax amnesty yang berulang justru bisa membangun kultur yang tidak bagus di masyarakat. Khawatir wajib pajak cenderung menunggu untuk menjalankan kepatuhan perpajakan karena seringnya tax amnesty dilakukan," kata Managing Partner MUC Consulting, Sugianto.
Tak hanya itu, bila program ini tidak dikelola secara hati-hati justru dapat mengirimkan pesan yang salah ke masyarakat. Akan memunculkan anggapan ’kalau patuh biaya kepatuhannya lebih mahal daripada tidak patuh. Sebab risiko tidak patuh kalau ketahuan sanksinya tidak besar-besar untuk orang-orang tertentu.
Tiga Rekomendasi Akademisi UI untuk Program Pengungkapan Sukarela
Untuk itu para akademisi UI ini merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan PPS yang tinggal 2,5 bulan lagi. Pertama, pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara masif, termasuk melalui jaringan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal (Konjen) di berbagai negara.
Hal ini penting agar informasi PPS dapat diterima dan dipahami WNI di luar negeri sehingga tujuan utama mendorong repatriasi aset ke dalam negeri dapat terwujud. Sosialisasi perlu dilakukan dengan strategi dan pendekatan yang disesuaikan dengan segmentasi masyarakat yang menjadi sasaran PPS.
Sebagai contoh, pendekatan bagi kelompok masyarakat menengah ke atas atau Orang Super Kaya dilakukan berbasis data asset yang akurat, sedangkan untuk masyarakat umum pendekatannya berupa himbauan dan edukasi.
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, memperbaiki sistem adminsitastrasi perpajakan, serta mengoptimalkan penegakan hukum. Termasuk menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mendeteksi ketidakpatuhan wajib pajak berbasis data yang akurat.
Ketiga, pemerintah perlu mengevaluasi tax amnesty dan PPS secara komprehensif. Sehingga bisa menganalisis kekuatan dan kelemahan program, serta efektifitasnya terhadap kepatuhan wajib pajak.
Hal ini perlu dilakukan agar pemerintah memiliki data yang objektif, valid dan dapat diandalkan untuk merumuskan kebijakan perpajakan berbasis bukti (evidence base policy) pada masa yang akan datang.
(mdk/idr)