Prosedur Pailit Sritex Bikin Nasib Buruh Tak Menentu
Ombudsman berharap pemerintah melindungi tenaga kerja serta industri nasional.
Ombudsman Republik Indonesia (RI) memberikan perhatian khusus terhadap percepatan penanganan kasus PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang saat ini berstatus pailit.
Status tersebut telah berdampak langsung pada pemblokiran aktivitas ekspor-impor oleh Bea Cukai, yang menyebabkan terhentinya transaksi barang masuk dan keluar.
- Keputusan PHK Buruh Sritex Diputuskan dalam 3 Pekan
- Jejak Pemilik Sritex yang Bikin Prabowo Putar Otak Selamatkan Ribuan Karyawan Terancam PHK Akibat Perusahaan Pailit
- Sritex Bangkrut, Pengusaha Harap Ini ke Pemerintah Soal Nasib Industri Padat Karya Dalam Negeri
- Pemerintah Pasang Badan Demi Sritex Tidak Bangkrut
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan dampak status pailit ini sudah dirasakan oleh 2.500 karyawan Sritex yang dirumahkan sementara.
Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah jika izin usaha tidak segera diterbitkan sebagai hasil dari proses kasasi yang sedang berlangsung di Mahkamah Agung.
Selain itu, Yeka menyoroti krisis bahan baku yang dialami Sritex. Persediaan bahan baku perusahaan hanya cukup untuk tiga minggu ke depan, dan jika tidak ada langkah cepat, potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran akan sulit dihindari.
“Jadi, diperkirakan, PHK besar besaran akan terjadi 3 Minggu ke depan. Kami mendorong Pemerintah untuk melakukan upaya-upaya percepatan dalam penyelesaian permasalahan ini untuk mencegah terjadinya gelombang PHK besarbesaran di PT Sritex,” kata Yeka dalam keterangannya, Rabu (13/11).
Yeka juga menilai kasus kepailitan Sritex menunjukkan adanya potensi maladministrasi dalam pelayanan publik. Ia menyebut bahwa prosedur dalam putusan pailit tidak mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk asas kepentingan umum.
“Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino yang besar pada penyelenggaraan pelayanan publik sektor industri, perdagangan dan ketenagakerjaan yang secara lebih lanjut akan membawa keterpurukan sektor tersebut,” jelas Yeka.
Lebih lanjut, pihaknya mendesak adanya revisi kebijakan dan Undang-Undang Kepailitan. Menurut Yeka, regulasi tersebut berpotensi menciptakan maladministrasi di masa mendatang.
Ombudsman juga meminta Kementerian Perdagangan untuk mengambil langkah kebijakan yang lebih tegas dalam meningkatkan daya saing produk dalam negeri serta menangani maraknya impor ilegal.
“Fenomena ini tidak hanya mengancam pelaku industri lokal, tetapi juga dapat mengganggu ekosistem perdagangan secara keseluruhan di tingkat global. Terutama pada sektor tekstil dalam negeri yang sangat rentan terhadap serbuan produk impor murah dari luar negeri,” tambah Yeka.
Sebagai langkah lanjutan, Ombudsman RI berencana menyampaikan rekomendasi dan masukan langsung kepada Presiden RI. Mereka berharap pemerintah segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini dan melindungi tenaga kerja serta industri nasional.