Studi: Robot bisa ambil alih sepertiga pekerjaan manusia
Jepang belum optimalkan penggunaan kecerdasan buatan.
Robot dinilai memiliki kemampuan mengambil alih sedikitnya sepertiga dari dua ribu pekerjaan yang hingga sekarang masih digarap manusia. Begitu hasil riset Nikkei dan Financial Times.
Berdasarkan riset pula, Jepang yang notabene negara maju diketahui belum mengoptimalkan pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intellegence). Mengingat, mayoritas pekerjaan di Negeri Samurai tersebut belum diotomatisasi.
-
Apa yang dilakukan robot ini? Selain mengemudikan robot, implan otak dapat membantunya menghindari rintangan, melacak target, dan mengatur penggunaan lengannya untuk menggenggam sesuatu.
-
Bagaimana robot ini dikendalikan? Sel induk yang ditakdirkan untuk menjadi bagian dari otak manusia digunakan untuk mengembangkan robot ini.
-
Mengapa robot humanoid dibutuhkan di dunia industri? Di sisi lain, Apptronik dari Texas telah meluncurkan "Apollo", humanoid yang dapat digunakan di berbagai industri, termasuk manufaktur dan logistik. Apptronik saat ini sedang menjajaki aplikasi untuk Apollo di fasilitas manufaktur, Hongaria.
-
Apa yang dilakukan monyet dengan lengan robot? Video demonstrasi menampilkan monyet tersebut dengan mahir menggunakan antarmuka untuk menggerakkan lengan robot dan meraih stroberi.
-
Bagaimana Anthrobots bekerja? Anthrobots merupakan hasil penelitian dari 2 institut ternama, yaitu Tufts University dan Wyss University. Diberikan Anthrobots karena robot ini memiliki bentuk yang kecil, dan dapat hidup di tubuh manusia, dengan cara melintasi permukaan serta mendorong pertumbuhan neuron.
-
Dimana robot penjelajah tersebut akan mendarat? Meskipun ada penundaan, pesawat tersebut masih akan mencapai lokasi pendaratannya Malapert A pada tanggal 22 Februari, sebuah kawah tumbukan 300 kilometer (180 mil) dari kutub selatan.
"Banyak pekerjaan di Jepang berpotensi di otomatisasi lantaran tren jumlah penduduk yang menurun," kata Alastair Bathgate, CEO Blue Prism, seperti diberitakan Nikkei, kemarin. Blue Prism adalah perusahaan pengembang robot software ternama di Inggris.
Nikkei dan FT menyisir koleksi data McKinsey & Co yang merangkum sebanyak 829 okupasi dan 2.069 pekerjaan spesifik.
Terkait itu, hasil survei menunjukkan sebanyak 710 atau 34 persen dari total pekerjaan bisa di-handle mesin. Kemudian, dari sekitar 40 persen okupasi, setengah dari pekerjaan turunannya bisa digarap mesin.
Kendati demikian, hanya sekitar lima persen okupasi yang diramal bakal sepenuhnya diotomatisasi.
Informasi McKinsey menunjukan, sekitar 75 persen atau 58 dari 77 pekerjaan perakitan di industri otomotif yang dilakukan secara manual oleh pekerja bisa diambil alih mesin. Ini bukan kerugian buat pabrikan otomotif, semacam, General Motors. Korporasi multinasional itu telah menempatkan sebanyak 30 ribu robot di seluruh pabrikannya yang tersebar di dunia. Sebanyak 8.500 diantaranya berbagi informasi setiap 90 detik untuk mencegah malafungsi.
Otomatisasi tak hanya terjadi di pekerjaan fisik. AT&T, perusahaan telekomunikasi Paman Sam, memakai robot software di 500 tipe pekerjaan. Diantaranya, dokumentasi pesanan dan pengaturan ulang kata sandi.
Menurut Dhruval Shah, Direktur Robotik AT&T, penggunaan robot bakal meningkat tiga kali lipat akhir tahun ini. Sebab, sistem komputer memiliki keunggulan dapat mengenali data tak benar dan menghitung lebih cepat dan akurat ketimbang manusia.
Robot juga bisa mengerjakan 65 persen atau 39 dari 60 tipe pekerjaan klerikal di sektor jasa keuangan. Sekedar ilustrasi, Goldman Sachs Group memangkas secara dramatis jumlah trader, menyusul otomatisasi perdagangan saham.
Investor kenamaan Jim Rogers meramalkan kecerdasan buatan akan menyapu bersih pekerjaan broker sekuritas dan kliring.
Sesempurna itukah robot? Tidak juga. Robot masih lemah dalam pekerjaan yang membutuhkan pengambilan keputusan, perencanaan, dan imajinasi.
Mengelola organisasi bukan pekerjaan robot. Buktinya, robot hanya bisa melakukan 22 persen atau 14 dari 63 pekerjaan pimpinan perusahaan.
Selan itu, robot juga tak bisa mengambil alih pekerjaan pemain film dan musisi. Sebab, hanya 17 persen atau 11 dari 65 pekerjaan artistik yang bisa diotomatisasi.
Data McKinsey juga memuat informasi terkait proporsi pekerjaan yang belum diotomatisasi di berbagai negara. Dalam hal itu, Jepang memiliki proporsi tertinggi (55 persen) ketimbang negara-negara Eropa (46 persen) Amerika Serikat (46 persen), China (51 persen), dan India (52 persen). Padahal, dua negara terakhir sebenarnya juga masih memiliki ketergantungan pada kerja manual, terutama di pertanian dan manufaktur.
Menurut McKinsey, banyak jenis pekerjaan di Jepang yang berpotensi diotomatisasi. Semisal, pekerjaan di sektor manufaktur, asuransi, jasa keuangan, dan birokrasi.
Baca juga:
Menperin puji Sritex, investasi Rp 2,6 T dan serap 3.500 pekerja
Jelang May Day, Menaker ajak Serikat Buruh bertemu
Menperin yakin revolusi industri ke-4 tak akan singkirkan pekerja
EYI: Permasalahan krusial pemuda saat ini adalah pengangguran
Pemerintah berencana tambah Atase Ketenagakerjaan