PBB Ungkap 70 Persen Korban Perang Genosida Israel di Gaza Anak-Anak dan Perempuan
Perang genosida Israel di Jalur Gaza telah berlangsung sejak 7 Oktober 2023.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait tingginya angka kematian warga sipil akibat perang genosida Israel di Jalur Gaza, Palestina. Dalam analisis yang dilakukan, badan PBB tersebut menemukan hampir 70 persen dari total korban yang terverifikasi dalam enam bulan terakhir adalah perempuan dan anak-anak. Mereka menyoroti tingginya angka kematian ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan senjata oleh Israel yang memiliki dampak luas di area padat penduduk.
Laporan yang sama juga mencatat adanya tingkat pelanggaran hukum internasional yang "belum pernah terjadi sebelumnya", yang menimbulkan kekhawatiran terkait "kejahatan perang dan kemungkinan kejahatan kejam lainnya". Badan PBB itu menyebutkan, mereka telah memverifikasi rincian mengenai 8.119 orang yang terbunuh di Jalur Gaza antara November 2023 hingga April 2024. Sekitar 44 persen dari korban yang terverifikasi adalah anak-anak, sedangkan 26 persen adalah perempuan. Usia yang paling banyak terwakili di antara korban tewas adalah anak-anak berusia lima hingga sembilan tahun.
"Sekitar 80 persen korban tewas berasal dari bangunan tempat tinggal atau perumahan serupa," ungkap laporan tersebut.
Mereka menambahkan, data ini menunjukkan adanya ketidakpedulian yang nyata terhadap kematian warga sipil serta dampak dari metode perang yang digunakan, seperti dilansir BBC, Sabtu (9/11/2024). Otoritas Kesehatan Jalur Gaza melaporkan, lebih dari 43.300 orang dibunuh Israel dalam 13 bulan terakhir, dengan banyak jenazah yang masih terperangkap di bawah reruntuhan bangunan yang dibombardir pasukan penjajah Israel.
Kepala Badan HAM PBB, Volker Turk mengatakan data demografi menunjukkan sepertiga dari korban tewas adalah anak-anak.
"Tingkat pembunuhan dan cedera warga sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya ini merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan untuk mematuhi prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional," tegas Turk.
Dia menekankan pentingnya hukum pembeda, yang mengharuskan pihak-pihak yang berperang untuk membedakan antara kombatan dan warga sipil, serta prinsip proporsionalitas yang melarang serangan yang mengakibatkan kerugian bagi warga sipil melebihi keuntungan militer.
Turk juga menyerukan agar dilakukan perhitungan yang tepat terkait tuduhan pelanggaran serius hukum internasional.
Situasi di Gaza Utara Memburuk
Situasi di Gaza Utara semakin memburuk, di mana kelompok bantuan melaporkan daerah tersebut telah dikepung sejak awal Oktober setelah Israel meluncurkan serangan darat baru terhadap Hamas. PBB menegaskan, selama dua minggu pertama di bulan Oktober, tidak ada bantuan pangan yang berhasil masuk ke wilayah utara, yang memicu Amerika Serikat (AS) untuk mengeluarkan ultimatum kepada Israel. AS meminta agar Israel mengizinkan bantuan masuk paling lambat 12 November, jika tidak, mereka berisiko kehilangan sebagian dukungan militer yang diberikan.
Kepala organisasi bantuan Norwegian Refugee Council, Jan Egeland, juga menyampaikan keprihatinan yang sama. Dalam wawancaranya dengan BBC pada hari Jumat (8/11), dia menggambarkan pemandangan yang sangat menghancurkan dan penuh keputusasaan yang dia saksikan dalam kunjungannya baru-baru ini ke Gaza.
"Hampir tidak ada bangunan yang tidak rusak. Dan sebagian besar wilayah tampak seperti Stalingrad setelah Perang Dunia II. Anda tidak dapat membayangkan betapa intensnya pengeboman tanpa pandang bulu terhadap populasi yang terperangkap ini," ujarnya.
"Jelas bahwa yang pertama dan terutama adalah anak-anak dan perempuan yang membayar harga untuk perang yang tidak masuk akal ini," ujarnya.