Petani Lebanon Memanen Zaitun di Tengah Deru Jet Tempur Israel: Kami Tidak Takut
Saat para petani Lebanon memanen zaitun di ladang-ladang mereka, di atas mereka lalu lalang jet tempur Israel.
Petani Lebanon Memanen Zaitun di Tengah Deru Jet Tempur Israel: Kami Tidak Takut
Petani Ghassan Hassan (50) dan para pekerjanya terus bekerja keras memanen buah zaitun di ladang dekat perbatasan selatan Lebanon, tanpa terpengaruh oleh serangan bom Israel yang terus berlangsung di dekat mereka dan deru pesawat pengintai.
Meskipun serangan tersebut membuat panen zaitun di perbatasan menjadi sangat berbahaya, para petani tidak berhenti datang ke ladang mereka, karena zaitun adalah sumber pendapatan utama bagi banyak penduduk desa. Musim panen tahun ini bertepatan dengan aksi saling balas dendam lintas batas antara pasukan Israel dan Hizbullah yang didukung Iran bersamaan dengan agresi brutal Israel di Jalur Gaza, Palestina.
Sumber: Al Arabiya
"Pesawat melayang di atas kepala kami siang dan malam saat kami bekerja, sehingga membuat para pekerja cemas. Kadang-kadang mereka begitu ketakutan sehingga mereka pergi," kata Hassan, yang sedang memetik buah zaitun hijau dan ungu di dekat kota Hasbaya.
"Tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya," tambahnya.
Saat dia berbicara, salah satu pekerjanya menerima kabar bahwa desanya dibom. Mendengar kabar itu, dirinya langsung berhenti bekerja, dan panik mencoba menelepon kerabatnya dengan tangan gemetar sebelum mendengar mereka semua selamat, bernapas lega saat dia kembali bekerja.
Foto: Reuters
Sejak Hamas menyerbu Israel pada 7 Oktober, pesawat tempur Israel mengebom mulai mengebom Gaza dengan brutal, menyasar masjid, gereja, rumah sakit, tempat pengungsian, dan hingga saat ini dilaporkan sekitar 9.000 warga sipil terbunuh.
Sejauh ini, menurut penghitungan AFP, sedikitnya 63 orang tewas di Lebanon. Sebagian besar di antaranya adalah kombatan dan lima lainnya warga sipil. Sedangkan di pihak Israel, delapan orang tewas baik tentara maupun warga sipil.
Meningkatnya baku tembak membuat pemetikan buah zaitun di dekat perbatasan menjadi sangat berbahaya. Meskipun sering terjadi penembakan di dekatnya dan dengung pesawat pengintai yang tiada henti, para petani tidak berhenti datang ke lahan mereka.
Para petani Lebanon sebagian besar bergantung pada buruh Suriah selama musim panen, namun banyak dari mereka yang tinggal di dekat perbatasan memilih untuk melarikan diri, kata Hassan.
“Sulit bagi kami untuk mendapatkan pekerja,” katanya kepada AFP.
Sejauh ini, ribuan orang meninggalkan wilayah selatan karena ketegangan perbatasan dengan hampir 29.000 orang yang mengungsi di seluruh Lebanon, menurut data Organisasi Migrasi Internasional (IOM) PBB.
Serangan Israel juga menghanguskan ladang zaitun dan tanaman hijau. Menteri Pertanian Abbas Al Hajj Hassan menuduh Israel melakukan serangan fosfor putih, mengatakan zat penyulut tersebut yang membakar 40.000 pohon zaitun.
Kelompok hak asasi manusia dan pejabat Lebanon beberapa kali menuduh Israel menggunakan fosfor putih yang terbakar saat bersentuhan dengan udara dan dapat menyebabkan luka bakar serius, namun dibantah Israel.
Petani Hussein Shaheen, yang berusia 70-an, adalah salah satu orang yang memanen buah kecil di luar Hasbaya saat ledakan terdengar di kejauhan.
Tetapi dia sudah menjelaskan kepada para pekerjanya: mereka harus segera memasukkan buah zaitun ke dalam kemasan dan siap untuk diangkut jika ada serangan.
Di sepanjang wilayah perbatasan Hasbaya dan Marjayoun, keluarga dan buruh keluar rumah dan pergi ke kebun zaitun, beristirahat di bawah naungan atau memanjat pohon untuk memetik buah.
"Orang-orang mempertaruhkan nyawa mereka" karena zaitun adalah sumber pendapatan utama mereka, kata Shaheen.
"Setiap tahun, mereka menantikan musim panen agar mereka bisa menjual minyak zaitun dan mencari nafkah," kata dia.
"Ketika bom jatuh, mereka pulang" lalu kembali keesokan harinya, katanya.
Wilayah Hasbaya memiliki sekitar 1,5 juta pohon zaitun, menurut Rasheed Zuwaihed dari koperasi zaitun setempat.
“Entah terjadi pengeboman atau tidak, masyarakat tidak punya pilihan selain pergi ke ladang,” kata pria berusia 73 tahun itu, pensiunan guru yang memiliki mesin pemeras zaitun.
“Mereka tentu saja berada dalam risiko, tapi mereka terpaksa melakukannya agar bisa bertahan hidup," ujarnya.
Di ladang terdekat, keluarga Shaar sedang memetik buah zaitun bersama.
“Kami tidak takut, namun dengungan pesawat... membuat kami gelisah,” kata Mona Shaar, 54 tahun, sambil tersenyum sambil mengumpulkan buah zaitun di celemeknya.
Beberapa kerabatnya menutupi tanah dengan lembaran plastik untuk menangkap buah, sementara yang lain bergantian memukul dahan dengan tongkat untuk memanen buah.
Adnan, sepupu Mona yang bekerja di dekatnya, mengatakan dia sudah terbiasa dengan suara ledakan, yang kini sering terjadi di daerah tersebut.
“Saya mengerti orang-orang yang tidak bisa memanen karena mereka berada lebih dekat ke perbatasan dan terkena pengeboman,” katanya kepada AFP.
“Mereka meninggalkan hasil panennya, tanahnya… Ini sulit,” katanya.
“Panenanmu seperti anakmu; kamu merawatnya seperti kamu merawat putramu sendiri.”