Sekongkol Google dengan Israel dalam Genosida di Gaza Picu Protes Pekerja, Puluhan Dipecat
Puluhan pekerja Google dipecat karena menentang proyek kerja sama Google dengan militer Israel.
Zelda Montes berjalan cepat melewati udara segar New York saat berjalan menuju kantor pusat Google di 9TH Avenue, Manhattan.
Ia bersama ratusan Googler (sebutan pekerja Google) terus berjalan membaur melewati penghalang keamanan seolah mereka hanya menjalani hari biasa di kantor.
Berbekal tas jinjing besar, Montes menyibakkan rambut ungunya dan menuju ke kantin lantai 13 untuk memesan menu seperti biasa. Tangannya sedikit gemetar saat memegang cangkir kopi.
Sambil bertatapan dengan dua orang lainnya, mereka mendapat sinyal keadaan sudah aman.
Montes dan dua rekannya membentangkan spanduk dan mulai berteriak menuntut Google untuk melakukan satu hal ‘Menghentikan Proyek Nimbus’. Sayangnya, hal ini menjadi kali terakhir mereka duduk di dalam kantor sebagai karyawan Google.
"Dipecat terasa seperti kemungkinan tetapi tidak pernah menjadi kenyataan," kata Montes, salah satu dari 50 karyawan yang dipecat oleh Google karena melakukan aksi duduk selama 10 jam di salah satu kantornya pada April lalu.
Dilansir dari Middle East Eye (MEE), sudah tiga tahun sejak Montes pertama kali menyerukan Google untuk menghentikan Proyek Nimbus, proyek kerjasama senilai Rp. 18,7 triliun antara Google dan Amazon bersama pemerintah Israel untuk menyediakan layananan cloud bagi militer dan pemerintah Israel.
Sejak serangan Israel ke Gaza pada 7 Oktober yang telah menewaskan lebih dari 41.000 ribu orang membuat mereka semakin gencar meningkatkan seruan penghentian proyek Nimbus karena mereka khawatir mungkin saja mereka menjadi bagian atas genosida yang dilakukan Israel di Gaza.
MEE telah berbicara kepada karyawan Google, banyak di antara mereka meminta identitas mereka dirahasiakan karena takut mereka akan kehilangan pekerjaan apabila berbicara di depan umum.
Beberapa dari mereka menjelaskan bagaimana mereka mengorganisasikan diri secara internal dan beberapa rekan lainnya mencoba menghentikan mereka dengan menyensor, memecat dan mengancam sehingga lingkungan kerja menjadi tidak bersahabat.
Sekelompok Googler yang menamai diri mereka No Tech for Apartheid telah berkampanye untuk mengakhiri keterlibatan Google atas Tindakan genosida di Gaza.
Montes, sama seperti banyak rekannya yang memulai mengajukan pertanyaan dan kekhawatiran tentang apakah Israel menggunakan pekerjaan mereka untuk melakukan serangan dan genosida di Gaza.
Awalnya, ia bergabung dengan rekan-rekan yang mendukung hal yang sama yaitu “Penghentian Proyek Nimbus” dan mempertanyakan mengapa Google menerima uang dari pemerintah Israel untuk menjalankan iklan propaganda setelah serangan 7 Oktober.
Montes dan rekan-rekannya, memanfaatkan kesempatan pada sesi tanya jawab dengan petinggi Google, mereka mulai mengangkat topik penghentian Proyek Nimbus, namun sayang pertanyaan itu selalu dihindari.
"Setiap kali kami membahas Proyek Nimbus dalam obrolan internal atau selama rapat internal, pertanyaan-pertanyaan akan dimoderasi atau dihindari," tutur Montes.
Perlawanan dari rekan kerja Pro-Israel
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh para karyawan Google yang bekerja di divisi kecerdasan buatan yang juga dikenal sebagai DeepMind, tetapi staf mengatakan kekhawatiran ini juga diabaikan oleh perusahaan.
Ariel Koren, salah satu karyawan Google memilih keluar dari Google karena dipindahtugaskan dari New York ke Brazil setelah ia mengemukakan kekhawatiran mengenai Nimbus.
Para Googler menggunakan forum internal dan rangkaian pesan yang terhubung secara virtual dengan rekan kerja untuk menciptakan diskusi internal tentang Proyek Nimbus setelah Israel mulai membombardir Gaza.
"Setiap kali kata-kata genosida atau apartheid muncul, moderator akan langsung menghapus komentar tanpa peringatan apa pun atau mengunci forum untuk mencegah orang-orang terlibat lebih jauh dengannya," jelas Alex Cheung, mantan karyawan Google.
Peringatan berujung PHK Massal
Namun, terkadang papan pesan diganggu oleh para pro-Israel, mereka akan menggunakan kata-kata genosida atau apartheid untuk menghentikan diskusi tentang isu-isu ini dan mengancam melaporkan kepada HRD karena melakukan pelecehan dan menyinggung perasaan. Para pro-Israel membuat lingkungan kerja menjadi tidak bersahabat.
“Pada akhirnya, para manajer mengatakan moderator melarang kata genosida karena menyebabkan terlalu banyak gangguan internal tetapi terasa seperti bentuk intimidasi lain yang menguntungkan suara pro-Israel.
Tak kehabisan akal, para aktivis yang dirampas kesempatan untuk membahas di forum internal memindahkan aktivitas mereka ke kampus-kampus Google dan memberikan untuk mengedukasi dan mendorong rekan kerja untuk menandatangani petisi.
Puncaknya adalah ketika tewasnya seorang insinyur perangkat lunak Palestina bernama Mai Ubeid karena serangan bom Zionis Israel. Para karyawan mengadakan acara peringatan di luar kantor di New York, Seattle, dan London untuk Ubeid, yang cacat dan menggunakan kursi roda.
Acara peringatan ini justru disambut dengan permusuhan dari Google dan rekan-rekan kerja yang pro-Israel.
Beberapa orang diberi peringatan oleh manajer mereka karena menyebarkan selebaran terkait Ubeid dan diingatkan tentang kebijakan perusahaan yang melarang penyebaran selebaran di area perusahaan.
Para pekerja, termasuk Montes, Cheung, dan Hasan (Googler keturunan Palestina), memutuskan untuk melakukan aksi duduk di kantor perusahaan di New York City dan Sunnyvale, California aksi ini dilakukan selama 10 jam.
Perusahaan kemudian memanggil polisi dan memecat 28 pekerja di tempat dan 22 lainnya setelah penyelidikan. Keesokan harinya, Chris Rackow, kepala keamanan Google, mengirim memo yang memperingatkan karyawan untuk "berpikir lagi" jika mereka berencana untuk melakukan protes di kantornya.
Pada Agustus lalu lebih dari 200 pekerja di Google DeepMind menandatangani petisi yang mendesak perusahaan tersebut untuk menghentikan Proyek Nimbus dan berjanji tidak akan pernah bekerja pada kontrak militer.
Reporter Magang: Elma Pinkan Yulianti