Kisah Haru Komandan DI/TII Selamatkan Perwira TNI Saat Mau Ditembak, ini Alasannya
Merdeka.com - Memiliki hubungan istimewa seperti bapak-anak, saat terjadi bahaya, seorang komandan TNI dilindungi eks anak buahnya yang menjadi pimpinan DI/TII.
Oleh: Hendi Jo
Sejarah perseteruan tiga belas tahun (1949-1962) antara pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan para pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) seringkali melahirkan cerita-cerita sedih di luar nalar kemanusiaan.
-
Siapa menantu Panglima TNI? Kini Jadi Menantu Panglima TNI, Intip Deretan Potret Cantik Natasya Regina Ini potret cantik Natasya Regina, menantu panglima TNI.
-
Bagaimana TNI tunjukkan loyalitasnya? Loyalitas tinggi yang mereka tunjukkan terhadap rekan sejawat, atasan, dan kesatuan hampir selalu bisa menyentuh hati wanita.
-
Siapa yang didoakan oleh mantan Panglima TNI? 'Siap, satu perempuan. Tamat SMA, sekarang sedang mencoba untuk masuk IPDN,' ungkap Kapten Pandjaitan.
-
Siapa Bapak TNI AU? Ternyata setelah dewasa ia justru menjadi tokoh yang berpengaruh di dunia penerbangan dan dikenal sebagai Bapak TNI Angkatan Udara.
-
Siapa Anak TNI yang berprestasi? Prestasi membanggakan datang dari remaja bernama Shafira Az-Zahra Aurelia Putri Saputra.
-
Apa prestasi Anak TNI tersebut? Dia baru saja 'memborong' dua medali atas kemenangannya pada Kejuaraan Nasional Arung Jeram Jakarta Tahun 2024.
Praktik pembunuhan dan pembakaran adalah hal biasa menghiasi bagian depan koran-koran nasional pada tahun 1950-an.
Sejatinya, para anggota DI/TII (sebagian besar berasal dari lasykar Hizbullah dan Sabilillah) pada awal Perang Kemerdekaan, ikut bahu membahu melawan militer Belanda bersama TNI. Menurut Letnan Kolonel (Purn) Asikin Rachman, bahkan saat itu mereka kerap melakukan patroli dan pengadangan bersama.
"Tak aneh jika hubungan kami sangat akrab dan seperti saudara," ujar eks anggota TNI di wilayah Tasikmalaya itu.
Dari Kawan Jadi Lawan
Pertikaian dimulai saat pimpinan tertinggi DI/TII (S.M. Kartosoewirjo) memerintahkan anak buahnya untuk memerangi para prajurit TNI yang pulang kandang ke Jawa Barat akibat bubarnya kesepakatan Perjanjian Renville.
"Begitu pulang long march dari Jawa Tengah, eh di Jawa Barat, kami dibantai dan diracuni oleh orang-orang DI/TII," ungkap Rachman.
Puncak permusuhan terjadi manakala Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949.
Alkisah sebuah kesatuan dari Divisi Siliwangi bernama Batalyon F.22 Djaja Pangrerot pimpinan Mayor Soegih Arto. Begitu TNI hijrah ke Jawa Tengah pada awal 1948, Yon F.22 diperintahkan untuk tetap 'bertahan' di Jawa Barat dan merubah kesatuannya menjadi sejenis pasukan liar.
Perintah yang datang langsung dari atasannya itu (Letnan Kolonel Daan Yahya, Komandan Brigade Guntur Divisi Siliwangi) langsung disanggupi oleh Mayor Soegih.
Pasukan Siloeman Ikut DI/TII
Usai TNI keluar dari Jawa Barat, Mayor Soegih kemudian 'membubarkan' Yon F.22. Dia memecah batalyon-nya menjadi unit-unit setingkat antara kompi dan seksi (sekitar 100 orang).
Salah satu unit itu bernama Pasukan Siloeman, yang dipimpin oleh orang kepercayaannya, Letnan Muda Achmad Soengkawa.
Dalam gerakannya, Pasukan Siloeman merambah sampai jauh dari wilayah teritorial eks Yon F.22.
Mereka melakukan penjelajahan bahkan hingga ke Cianjur Utara. Di wilayah tersebut, Pasukan Siloeman melakukan kerjasama dengan unit-unit bersenjata yang ada di bawah TII.
Karena putus koordinasi dengan induk pasukan, lambat laun Letnan Muda Achmad Soengkawa terpengaruh ide-ide DI/TII dan memutuskan untuk bergabung dengan angkatan bersenjata NII itu.
Secara ksatria, keputusan itu disampaikan oleh Achmad Soengkawa lewat sepucuk surat yang disampaikan seorang kurir. Isinya, permintaan maaf dan permakluman jika dirinya mulai saat itu bukan lagi bagian dari Yon F.22 dan telah bergabung dengan DI/TII sebagai bupati sekaligus komandan resimen.
"Tapi Pak, meskipun organisasi berlainan, Pak Soegih tetap saya anggap sebagai bapak saya pribadi," tulis Soengkawa seperti dikutip oleh Soegih Arto dalam bukunya Sanul Daca (Saya Nulis Anda Membaca) Pengalaman Pribadi Letjen (Purn.) Soegih Arto.
Satu tahun kemudian, kata-kata Soengkawa dibuktikannya sendiri dalam suatu peristiwa. Ceritanya pada suatu hari, Mayor Soegih Arto mendapat tugas untuk memimpin suatu operasi pembersihan unsur-unsur DI/TII di Garut.
Saat tiba di suatu wilayah pegunungan dekat selatan Majalaya, Bandung Barat, pasukan Soegih harus melewati suatu tebing yang biasa dijadikan tempat penghadangan oleh pasukan musuh.
"Di atas tebing terdapat sebatang pohon beringin, saya melewati pohon beringin itu dengan selamat," kenang Soegih.
Jangan Tembak itu Bapak Saya!
Baru saja lewat dari kawasan itu (sekitar 100 meter), Soegih yang menunggang seekor kuda, mendengar kegaduhan di belakangnya. Terdengar serentetan tembakan, disusul para pengawal-nya berlarian menaiki tebing itu sambil berteriak-teriak. Tak lama kemudian, mereka datang dengan membawa seorang tawanan DI/TII.
Menurut pengakuannya, gerilyawan DI/TII itu adalah pemegang Brengun di unitnya. Dia ditugaskan untuk menghabisi pimpinan pasukan TNI (Mayor Soegih Arto) yang tengah menuju Garut itu. Namun saat dia membidikkan arah moncong Brengun-nya ke tubuh Soegih Arto, tiba-tiba komandannya yang bernama Achmad Soengkawa berteriak.
"Jangan tembak! Itu bapak saya!"ujarnya sambil memukul kepala Si Pemegang Brengun dengan pistolnya. Merasa kesakitan dan pusing, Si Pemegang Brengun refleks melepaskan senjatanya hingga jatuh ke bawah.
Saat diburu, semua pasukan penghadang dari DI/TII langsung melarikan diri, kecuali si Pemegang Brengun tersebut. Achmad Soengkawa sendiri berhasil lolos.
"Andaikan Achmad Soengkawa tidak memukul anak buahnya yang hendak menembak saya, mungkin saya sudah mati ditembak peluru Brengun. Dia menepati janjinya bahwa dia akan memperlakukan saya seperti bapaknya pribadi," kenang Soegih Arto.
Sejak itu, Soegih berjanji untuk berupaya menangkap hidup-hidup Achmad Soengkawa. Namun nyatanya, di medan laga mereka tak pernah lagi bersua. Menurut kabar yang didengar Soegih, sejak kejadian itu Achmad Soengkawa telah dipindahkan pimpinan DI/TII ke wilayah Sukabumi-Cianjur.
"Sekitar tahun 1960-an, saya mendengar Achmad Soengkawa meninggal ditembak TNI di Sukabumi," ungkap Soegih.
(mdk/ian)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Seorang Letkol TNI memiliki sosok ayah yang luar biasa. Sang ayah awalnya adalah Tamtama TNI namun bisa jadi perwira.
Baca SelengkapnyaBerikut potret lawas ayah Jenderal Agus Subiyanto yang berpangkat Serka TNI.
Baca SelengkapnyaMayor Jenderal Ibrahim Adjie Dikenal Sebagai Panglima Siliwangi yang Dekat dengan Anak Buahnya, Para Prajurit TNI.
Baca SelengkapnyaKebahagiaan seorang ayah TNI bangga melihat putranya juga berhasil jadi tentara. Saat dilantik ternyata pangkat sang buah hati lebih tinggi dari ayahnya.
Baca SelengkapnyaAgus menceritakan jika ayahnya yang mendorong untuk menjadi prajurit TNI.
Baca SelengkapnyaMantan Panglima TNI, Moeldoko menceritakan kisahnya saat menjadi prajurit TNI. Ia sukses menjadi panglima berkat doa sang ibunda.
Baca SelengkapnyaUsai menjalankan tugas, anggota brimob itu pulang ke rumah. Ada momen haru dan menyentuh hati saat dia bertemu dengan sosok pria paling berjasa.
Baca SelengkapnyaSimak kisah seorang kolonel TNI yang berhasil jadi perwira meski sang ayah hanya berpangkat kopral.
Baca SelengkapnyaMeski ada bintang empat di pundak, dia selalu bertegur sapa dengan anak buah.
Baca SelengkapnyaMeski berbeda instansi, pangkat ayah yang berdinas di TNI dengan sang putri yang berdinas di Polri ini sama-sama satu level.
Baca SelengkapnyaMeski tak berada di panji yang sama, namun keduanya diketahui memiliki pangkat tak berbeda.
Baca SelengkapnyaBerikut potret ayah dan anak yang sama-sama berprofesi sebagai Polisi Militer TNI AD.
Baca Selengkapnya