Soedirmo Boender, Orang Jawa yang Terpaksa Bertempur untuk Amerika di Perang Pasifik
Merdeka.com - Gagal menjadi seorang dokter, anak Yogyakarta itu ikut bertempur melawan tentara Jepang dalam Perang Dunia II.
Penulis: Hendi Jo
Ketika masih berpangkat sersan mayor pada 1950-an, Wardi masih ingat perwira jangkung yang murah senyum itu kerap menyapanya jika mereka berpapasan di Asrama Batujajar. Seperti dirinya, sang perwira adalah seorang anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) angkatan pertama. Namanya Kapten R. Soedirmo Boender, eks tentara Amerika Serikat (US Army) dari unit infanteri Angkatan Darat.
-
Siapa dokter pejuang kemerdekaan yang gugur ditembak Belanda di Jember? Raden Mas (RM) Soebandi merupakan seorang dokter sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia pada era Agresi Militer I dan Agresi Militer II.
-
Siapa yang gugur dalam pertempuran? Kabar pasti baru diterimanya dari Kapten Djajoesman, seorang anggota intel tentara di Jawa Timur yang merupakan sahabat baik Oetari. Menurut sang kapten, Soewanda memang telah gugur dalam suatu pertempuran seru yang terjadi di Klakah pada Juni 1949.
-
Kapan pemuda Medan Area bertempur melawan Sekutu? Salah satunya pertempuran Medan Area yang melibatkan pemuda pribumi melawan tentara Sekutu. Kejadian Awal Medan Area Melansir dari berbagai sumber, tentara Sekutu datang bersama NICA untuk mengambil alih pemerintahan pada tanggal 9 Oktober 1945.
-
Kapan dokter Soebandi gugur saat berjuang melawan Belanda? Akhir Hayat Mengutip situs Begandring, dokter tentara sekaligus wakil komandan Divisi Damarwulan ini gugur ditembak tentara Belanda dalam sebuah penyergapan di Desa Karang Kedawung, Jember pada 8 Februari 1949.
-
Kenapa Adisoetjipto harus mengalah untuk masuk sekolah kedokteran? Ayahnya ingin menjadi seorang dokter, dibanding penerbang pesawat.
-
Siapa yang menyerah di Pertempuran Okinawa? Penyerahan diri resmi Jepang di Okinawa ditandai oleh bunuh diri massal sejumlah komandan tinggi militer Jepang.
"Katanya dia pernah terlibat dalam Perang Pasifik melawan Jepang. Tapi saya sendiri belum tahu pasti," ungkap lelaki kelahiran 95 tahun lalu itu.
Awal tahun 1980-an, jurnalis Hanna Rambe pernah menelusuri hidup Soedirmo. Berawal dari sebuah informasi dari seorang kawannya tentang seorang pensiunan perwira tinggi Komando Pasukan Sandi Yudha (sekarang Kopassus) yang merupakan veteran Perang Dunia II dan kemudian banting setir menjadi tenaga ahli sekuriti sebuah pabrik semen di Cibinong, Jawa Barat.
Hanna tertarik mengangkat kisah hidup sang veteran ke dalam tulisan. Lewat perantara kawannya itu, dia lantas menemui Soedirmo. Awalnya Hanna malah dicurigai dan diserang berbagai pertanyaan oleh calon narasumbernya tersebut.
"Sambil bicara, matanya tajam menyelidik. Pada mulanya, Pak Diermo memang sangat tidak kooperatif," kenang eks wartawan majalah Mutiara itu.
Bertengkar dengan Ayahnya
Hanna bukanlah jurnalis kemarin sore. Alih-alih mutung, dia justru membalas kecurigaan itu dengan kesabaran. Hanna maklum jika calon narasumbernya itu telah mengalami trauma akibat pengalaman pahit dalam perang.
"Saya perlu 'sebuah teknik pendekatan khusus' supaya beliau mau saya wawancarai,” ungkap Hanna.
Setelah berhari-hari melakukan pendekatan tanpa mengenal lelah, Soedirmo mulai mempercayai Hanna. Dia mulai terbuka kepada gagasan untuk membuat buku yang mengisahkan pengalaman hidupnya. Terlebih saat itu dia memiliki niat untuk menghadiahkan sesuatu yang abadi kepada putri sulungnya yang akan menikah. Singkat cerita, berlangsunglah wawancara-wawancara penting itu.
Soedirmo anak asli Yogyakarta yang lahir pada 12 Februari 1920. Dia merupakan putra dari pasangan priyayi Jawa yang tinggal di kawasan Bintaran. Dalam bukunya yang disusun Hanna Rambe, Terhempas Prahara ke Pasifik, Soedirmo tak pernah menceritakan secara jelas siapa nama ayah dan ibunya.
Dia hanya berkisah bahwa ayahnya seorang priyayi berkumis tebal yang dingin, tak banyak bicara dan sangat kaku pendiriannya. Sang ayah memberlakukan disiplin yang sangat ketat kepada Soedirmo kecil.
Dia pun dididik dalam tradisi pantang menonjolkan diri dan taat kepada Tuhan. Semua itu membentuk Soedirmo menjadi lelaki yang berwatak keras. Karena kekakuan sifat sang ayah itu pula, suatu hari Soedirmo bertengkar hebat dan menjadikannya terusir dari Bintaran. Itu terjadi karena soal masa depan Soedirmo sendiri.
Benci Belanda, Pilih Amerika
Sang ayah ingin putra sulungnya itu meneruskan sekolah di Jawa saja, sedangkan Soedirmo kukuh menginginkan lanjut ke fakultas kedokteran yang ada di AS (Amerika Serikat).
"Kebencianku kepada penjajah Belanda menjadikanku pantang mendapatkan gelar dokter berijazah Belanda," ujar Soedirmo.
Silang pendapat itu tak menemukan titik temu. Dengan marah, sang ayah lantas memberikan pilihan kepada Soedirmo untuk mewujudkan sendiri cita-citanya tanpa bantuan keluarga. Darah muda Soedirmo menggelegak. Harga dirinya membuhul. Tanpa banyak bicara, dia pun pergi dari rumahnya menuju Batavia.
Setelah lama terlunta-lunta dan menjadi gelandangan di Batavia, Soedirmo ditemukan oleh seorang lelaki Amerika bernama Bowen. Dia kemudian diangkat anak dan disekolahkan ke AMS-Bagian B. Karena kecerdasannya, keluarga Bowen lantas mengabulkan permintaan Soedirmo untuk melanjutkan sekolah ke fakultas kedokteran di AS.
Di Amerika Serikat, Soedirmo terdaftar sebagai mahasiswa fakultas kedokteran St. Anthony College, San Francisco. Sebagai mahasiswa perantau, dia memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan bekerja serabutan, mulai menjadi buruh pemetik buah hingga penyaji makanan dan minuman di restoran.
Wajib Perang
Pada 7 Desember 1941, ratusan pesawat pembom Kekaisaran Jepang menyerang Pearl Harbor. Sekitar 3.000 orang Amerika menjadi korban dan pangkalan militer kebanggan militer AS itu pun hancur lebur. AS pun berang dan menantang perang Jepang. Inilah awal yang menjadikan AS terseret secara langsung dalam Perang Dunia II.
Pernyataan perang AS terhadap Jepang diikuti dengan munculnya berbagai kebijakan militer yang dikeluarkan pemerintahnya. Salah satu kebijakan itu adalah diberlakukannya wamil (wajib militer) kepada kaum muda AS yang mampu berperang.
Soedirmo termasuk anak muda yang diwajibkan berperang. Kendati mengaku tak bermimpi jadi kaum pemanggul senjata, dia akhirnya pasrah menjalani latihan ketentaraan sebagai milisi.
Entah bagaimana ceritanya, Soedirmo dianggap layak untuk menjadi tentara sejati oleh atasannya. Maka bergabunglah dia dalam Divisi Infanteri Angkatan Darat ke-42 yang lebih termasyhur dengan nama Divisi Pelangi (Rainbouw Division), sebuah kesatuan pasukan infanteri yang berasal dari berbagai latar belakang bangsa.
Dia kemudian diterjunkan di palagan Pasifik. Sejak itulah Soedirmo ikut menyabung nyawa melawan militer Jepang, mulai dari Rabaul hingga Okinawa. Sebagai serdadu dia termasuk alat perang yang terampil dan berani. Karena itu, Soedirmoi lantas didapuk menjadi komandan peleton dan terlibat aktif memimpin operasi-operasi pemusnahan gua-gua pertahanan Jepang di Pasifik.
Sepanjang palagan, Soedirmo menjadi saksi betapa kejamnya perang. Dia yang tadinya bercita-cita ingin memelihara nyawa manusia justru harus terlibat dalam pemusnahan brutal sesama manusia.
Hatinya yang dulu penuh cinta, sejak itu harus terbiasa menghujamkan bayonet ke tubuh lawan atau mencekik sampai mati seorang prajurit Jepang dalam pertarungan satu lawan satu.
"Kami seperti dipaksa masuk dalam hari-hari yang penuh dengan mimpi buruk," ujar Soedirmo kepada Hanna.
Uniknya, sejauh ini belum ada literatur sejarah militer Amerika Serikat menyebut Divisi Pelangi pernah dikirim ke palagan Pasifik. Selama Perang Dunia II, mereka bertempur melawan tentara Jerman di front Eropa. Namun bisa saja Soedirmo dan dua puluh dua rekannya (seperti yang dia sebut di bukunya) merupakan kekecualian. Terlebih sebelum bergabung ke Rainbow, mereka dipilih sebagai anggota Tim Peledakan Bawah Air (UDT), sejenis pasukan khusus dari milisi itu. (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Walaupun masing-masing punya cara yang berbeda, mereka punya peran besar bagi perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah
Baca SelengkapnyaBocah yang dulu berjualan rokok dan kemenyan itu menjadi orang nomor satu di tubuh TNI AD.
Baca SelengkapnyaNamanya diabadikan jadi nama rumah sakit hingga kampus di Jember.
Baca SelengkapnyaSoeharto memilih menjadi serdadu kolonial adalah pilihan realistis untuk lepas dari kemelaratan.
Baca SelengkapnyaIndonesia pernah memiliki seorang Panglima TNI termuda yang menjabat saat masih berusia 19 tahun, ia adalah Jenderal besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman.
Baca SelengkapnyaIa tewas sesaat setelah melakukan serangan kepada tentara penjajah
Baca SelengkapnyaNamanya dianggap terlalu Jawa hingga tidak diizinkan sekolah di institusi pendidikan milik Belanda
Baca SelengkapnyaMantan duta besar Indonesia ini telah menjadi rektor di United Nations (PBB) University Tokyo pada September 1980.
Baca SelengkapnyaSebagai tenaga kesehatan, sosoknya begitu dicintai oleh rakyat Sumatra Utara berkat semangat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Baca SelengkapnyaSakai menjatuhkan 28 pesawat musuh. Namun dia mengklaim ada 64 pesawat pemburu maupun pengebom milik sekutu dijatuhkannya selama perang.
Baca SelengkapnyaBagaimana cerita ada pasukan elite Jerman di Bogor? Lalu siapa saja yang dimakamkan di Makam Jerman di Megamendung.
Baca SelengkapnyaMerupakan seorang keturunan ningrat, ia rela ikut berjuang bersama rakyat demi kemerdekaan Indonesia
Baca Selengkapnya