Kisah Istana Megah Daendels yang Tak Sempat Ditempatinya, Kini Jadi Bangunan Penting di Kemenkeu
Sampai setelah masa peresmiannya, gedung ini justru tak kunjung ditempati oleh Daendels.
Setiap gedung memiliki kisah menarik di belakangnya. Seperti gedung ini, gedung ini diketahui adalah gedung tertua nomor dua di Jakarta, setelah Istana Negara. Sekarang bangunan ini dikenal dengan nama AA Maramis yang terletak di dekat Lapangan Banteng, Kota Jakarta Pusat.
Dahulu, peletakan batu pertamanya dilangsungkan pada 1809 oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Semula, gedung ini akan difungsikan sebagai pusat pemerintahan baru sekaligus rumah pribadi miliknya.
-
Dimana Gedung Karesidenan Banten dibangun? Letak gedung ini sejak awal berada di sekitar Alun-Alun Kota Serang, dan dirancang secara megah untuk mengatur pemeritahan pada 1822.
-
Apa ciri khas Gedung Karesidenan Banten? Desain bangunannya juga megah dan tinggi menjulang khas kerajaan Belanda. Ciri ini ditandai dengan berdirinya delapan pilar besar di halaman depan untuk menopang bagian atap. Kemudian jendela dan pintunya juga bergaya khas kolonial yang juga tinggi menjulang, dan berdaun ganda.
-
Dimana Rumah Bersejarah itu berada? Rumah sederhana itu berada di lereng Gunung Prau sebelah timur, tepatnya di Desa Purwosari, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal.
-
Siapa yang pernah menempati Gedung Kawedanan Boja? Gedung itu pernah ditempati seorang pria berkebangsaan Eropa bernama Emile Einthoven.
-
Kenapa Istana Gebang penting dalam sejarah? Di Rumah Gebang, Bung Karno muda menghabiskan waktu libur sekolah dan berdiskusi secara informal tentang kemerdekaan Indonesia dengan sahabat, keluarga dan pekerja rumah tangga di sana.
-
Di mana Istana Negara Madiun terletak? Bangunan yang berada di Jalan Pahlawan 31 Kota Madiun dibangun pada tahun 1831 di lokasi bekas benteng pertahanan Belanda selama masa Perang Jawa.
Sampai setelah masa peresmian, gedung ini justru tak kunjung ditempati oleh Daendels. Saat ini, gaya arsitektur khas kolonial masih dipertahankan. Bentuk dinding, jendela, pintu dan atap tidak banyak diubah dan sesuai desain sedia kala.
Lantas mengapa Daendels tidak pernah berhasil tinggal di istana yang ia bangun sebagai rumah tinggal pribad ini? Berikut informasinya.
Memindahkan Kastil Batavia untuk Hindari Wabah
Mengutip Indonesia.go.id, awal mula Daendels merencanakan pembangunan gedung tersebut adalah dengan memindahkan kastil Batavia yang berada di muara Sungai Ciliwung. Ketika itu, letak kastil ini berada di wilayah pantai utara yang rentan terkena bencana.
Paling sering terjadi yakni bencana wabah penyakit seperti malaria, sehingga bangunan kastil perlu dipindah ke wilayah perkotaan yang saat itu bernama Weltevreden.
Daendels membuat denah bangunan utama yang diapit dengan gedung-gedung kecil untuk pekerjaan administrasi.
Gedung Belum Selesai Sampai Tugas Daendels Habis di Batavia
Pembangunan gedung diketahui berjalan lambat. Konstruksi tak dilanjutkan, karena munculnya invasi Inggris ke Indonesia sehingga konsentrasi pemerintahan berpusat untuk mempertahkan negara.
Ketika itu, Inggris datang dari perairan di Jakarta dan hendak menguasai Hindia Belanda. Kekuasaan Inggris rupanya hanya bertahan sebentar, sehingga Belanda kembali merebut wilayah jajahannya.
Bahan bangunan yang digunakan untuk membangun istana ini berasal dari puing-puing kastil tua Batavia yang dihancurkan Belanda.
Daendels Tak Pernah Tempati Istana Dambaannya
Masa kekuasaan Daendels sendiri terbilang singkat. Ia menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 5 Januari 1808 sampai 15 Mei 1811. Ketika itu, ia diperintahkan oleh Raja Napoleon dari Perancis yang tengah menjajah Belanda, untuk kembali ke Eropa.
Daendels kemudian mendapat perintah untuk memimpin Grande Armée dan segera ditempatkan di Benteng Modlin, Polandia. Kemudian, Daendels kembali ditugaskan untuk memimpin perang di Rusia.
Kondisi istana dilaporkan mangkrak, karena pemerintah Belanda sibuk menghalau Inggris agar tidak menguasai Hindia Belanda lebih luas lagi.
Sayangnya, pada 1815 ia mendapat mandat untuk menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Pantai Emas Belanda, Ghana dan meninggal di sana tiga tahun kemudian, tanpa bisa kembali ke Hindia Belanda dan menempati istana miliknya.
Pembangunan Istana Kembali Dilanjutkan Oleh Gubernur Jenderal Setelah Daendels
Masa kepemimpinan Daendels kemudian digantikan Janssens. Ia kemudian melanjutkan pembangunan istana secara perlahan, dimulai dengan memasang atap jerami di bagian atasnya.
Sayangnya, pekerjaan istana tersebut kembali mangkrak hingga berganti kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Baru pada masa Du Bus De Disignies, pembangunan baru bisa dilanjutkan kembali pada 1826.
Ia meminta agar istana ini bisa segera diselesaikan, karena tempat tinggal dan gedung pemerintahan masih menumpang di rumah Van Braam atau saat ini menjadi istana negara.
Jadi Museum Keuangan di Indonesia
Di tahun-tahun berikutnya, gedung ini difungsikan sebagai bangunan Department van Financien. Pemerintah kolonial, menjadikan bangunan untuk aktivitas keuangan sehari-hari sampai tahun 1950. Setelahnya, bangunan resmi dijadikan sebagai kantor Kementerian Keuangan.
Merujuk setkab.go.id, sejumlah peristiwa penting pernah terjadi di gedung ini. Salah satu yang paling terkenal adalah momen saat perumusan kebijakan ekonomi nasional di bawah pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk.
Gedung ini kemudian ditetapkan namanya menjadi Gedung A.A Maramis sebagai cara untuk menghargai jasa-jasanya. Gedung kemudian dijadikan sebagai museum dan perpustakaan keuangan negara, juga untuk jamuan kenegaraan.
Banyak yang menjadikan bangunan ini sebagai pusat edukasi sejarah keuangan dan perkembangan negara, dan direncakan gedung ini akan menjadi destinasi heritage yang terintegrasi dengan Taman Lapangan Banteng, Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, Gedung Kesenian Jakarta, dan Pasar Baru.
Bangunan Cagar Budaya
Keterkaitan gedung tersebut dengan berbagai tokoh dan persitiwa dalam kurun waktu 200 tahun, baik secara fisik maupun semantik, menjadikan bangunan tersebut penting dari segi sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan nasional.
Oleh karena itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka Gedung A.A. Maramis dimasukkan kedalam Cagar Budaya yang wajib dilindungi, dipelihara, dan dimanfaatkan. Hal ini juga sejalan dengan rekomendasi UNESCO mengenai bangunan dan lingkungan cadar budaya secara mendasar yaitu “Saving the Past for the Future and Give a Future to the Past.”.