Mengenal Sosok Husein Mutahar Pencipta Lagu "Hari Merdeka", Tokoh Nasional Keturunan Nabi Muhammad SAW
Setiap peringatan 17 Agustus, lagu “Hari Merdeka” akan diputar pada banyak tempat. Pencipta lagu tersebut adalah seorang keturunan Arab bernama Husein Mutahar

Setiap peringatan 17 Agustus, lagu “Hari Merdeka” akan diputar di berbagai tempat. Dengan nadanya yang mengundang semangat, lagu ini seakan memberikan semangat perjuangan pada generasi masa kini.
Pencipta lagu tersebut adalah seorang keturunan Arab bernama Husein Mutahar. Nama lengkapnya Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al Muthahar.
Selain lagu “Hari Merdeka”, ia juga menciptakan beberapa lagu nasional seperti hymne Syukur, Dirgahayu Indonesiaku, serta lagu kepanduan seperti “Gembira”, “Tepuk Tangan Silang-Silang”, “Mari Tepuk”, “Slamatlah”, “Jangan Putus Asa”, “Saat Berpisah”, dan “Hymne Pramuka”. Atas karya-karyanya itu, ia menjadi seorang komponis musik Indonesia.
Lalu seperti apa sosok dari Husein Mutahar? Dan seperti apa sepak terjangnya dalam perjuangan bangsa Indonesia? Berikut selengkapnya:
Ikut Pertempuran Lima Hari Semarang

Dikutip dari Liputan6.com, Husein Mutahar lahir di Semarang, 5 Agustus 1916. Ia menyelesaikan pendidikan di MULO pada tahun 1934 dan AMS Yogyakarta tahun 1938. Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1946-1947.
Namun Husein Mutahar hanya menempuh pendidikan di UGM selama setahun. Ia memilih untuk berjuang bersama para pemuda nasionalis. Bahkan Mutahar sempat ikut terlibat dalam pertempuran revolusi, yaitu pada pertempuran Lima Hari Semarang.
Aktif di Gerakan Kepanduan

Semasa hidupnya, Mutahar aktif dalam gerakan kepanduan. Ia adalah salah satu tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia. Saat seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Mutahar menjadi salah satu tokoh berpengaruh di dalamnya.
Bahkan ia menciptakan lagu himne Satya Darma Pramuka yang sering dinyanyikan oleh anggota Pramuka. Lagu tersebut juga selalu dinyanyikan pada Hari Pramuka tanggal 14 Agustus.
Selain aktif di gerakan kepanduan, ia juga aktif di Paskibraka. Mutahar menjadi ajudan presiden pertama RI yang ditugaskan untuk menyiapkan upacara kenegaraan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1946 di halaman Gedung Agung Yogyakarta.
Mengamankan Bendera Merah Putih

Saat Agresi Militer II pecah pada 19 Desember 1948, Presiden Soekarno meminta Mutahar untuk menjaga Bendera Pusaka Merah Putih yang dijahit oleh istrinya, Fatmawati.
Agar bendera merah putih itu tidak direbut Belanda, Mutahar membuka jahitan bendera tersebut hingga merah dan putih terpisah. Ia kemudian memasukkan bendera yang terpisah itu ke dua tas miliknya yang juga diisi oleh pakaian dan kelengkapan lain.
Saat itu, Mutahar ditangkap dan ditahan di Semarang selama beberapa bulan. Pada Juni 1949, Mutahar bebas dari tahanan. Ia kemudian mendapat surat dari kepala negara untuk menyerahkan Bendera Pusaka ke Soedjono setelah dijahit kembali.
Bendera pusaka itu kemudian dibawa ke Bangka. Pada 17 Agustus 1949, bendera itu dikibarkan kembali di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Susun Tata Cara Pengibaran Bendera Pusaka

Pada tahun 1967, Presiden Soeharto meminta Mutahar untuk menyusun tata cara pengibaran bendera pusaka. Dalam tata cara yang dibuat Mutahar, Bendera Pusaka dikibarkan oleh satu pasukan yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu, kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera, dan kelompok 45 sebagai pengawal.
Menurut pemikirannya, pengibaran bendera sebaiknya dilakukan oleh para pemuda yang mewakili daerah-daerah di Indonesia. Pembagian menjadi tiga kelompok itu merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Keturunan Nabi Muhammad SAW

Husein Mutahar terlahir dari keluarga Arab-Indonesia yang mapan dan termasuk kelompok sayyid, atau keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan cucu Hasan bin Ali dan Husein bin Ali. Selama hidupnya Husein tidak menikah, namun memiliki delapan anak. Sebagian dari anak itu merupakan sebaran dari ibu mereka yang janda atau ayah mereka yang meninggal dunia.
Husein Mutahar wafat pada 9 Juni 2004. Ia tidak dimakamkan di Makam Pahlawan, melainkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Sebelum meninggal dunia, ia sempat menulis wasiat ingin dimakamkan sebagai seorang rakyat biasa.