Menggali Sejarah Tambang Mangan Kliripan di Kulon Progo, Primadona Pertambangan Indonesia yang Kini Terlupakan
Di sana terdapat terowongan bawah tanah banyak bekas tambang mangan. Namun beberapa di antaranya sudah tertutup tanah
Di sana terdapat banyak terowongan bawah tanah bekas tambang mangan. Namun beberapa di antaranya sudah tertutup tanah
Menggali Sejarah Tambang Mangan Kliripan di Kulon Progo, Primadona Pertambangan Indonesia yang Kini Terlupakan
Secara ketampakan alam, Dusun Kliripan, di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kulon Progo tak ada bedanya dengan desa-desa serupa di wilayah Kulon Progo.
Desa itu terletak di lereng selatan perbukitan Menoreh, tak terlalu jauh dari pusat kota kabupaten, dan bisa dibilang bukan wilayah terpencil karena akses jalannya sudah bagus.
-
Dimana lempeng purba di Kalimantan? Peneliti menetapkan keberadaan lempeng ini dengan menggabungkan data geologi dari pegunungan dan pecahan samudera yang terletak di atas lempeng benua di wilayah Asia-Pasifik.
-
Kenapa Tambang Ombilin di tetapkan sebagai situs warisan dunia? UNESCO menetapkan Tambang Batu Bara Ombilin di Sumatra Barat sebagai salah satu warisan dunia.
-
Di mana lokasi tambang timah terbesar di Asia Tenggara? Bukan di Luar Negeri, Tambang Timah Terbesar di Asia Tenggara Dulunya Ada di Belitung Siapa sangka jika tambang timah terbuka (open pit) terbesar di Asia Tenggara ternyata berada di Bangka Belitung.
-
Siapa yang memulai penambangan timah di Belitung? Belanda telah merintis penambangan timah di Belitung pada 1851 dan mendapat konsesi setahun setelahnya.
-
Apa yang ditemukan di Tambang Ombilin? David Veth, mendeteksi adanya kandungan emas hitam di kawasan Sungai Ombilin pada pertengahan abad ke-19.
-
Apa saja peninggalan sejarah dari Gunung Jali Tebon? Keberadaan Gunung Jali tertulis pada sejumlah prasasti, yakni Prasasti Pucangan (1041 M) yang ditulis Raja Airlangga, Prasasti Maribong (1264 M) yang ditulis Raja Wishnuwardana, dan Prasasti Canggu (1358 M) yang ditulis Raja Hayam Wuruk.
Namun tak banyak yang tahu bahwa di masa lalu, tepatnya pada masa penjajahan Belanda awal abad ke-20 hingga masa pemerintahan Presiden Soekarno, Dusun Kliripan adalah pusat pertambangan mangan terbesar di Indonesia.
Seiring waktu kandungan mangan di tempat itu habis. Kini bekas kejayaannya telah banyak tertutup oleh pohon-pohon serta vegetasi lain yang membuat kampung itu seolah tak ada bedanya dengan kampung-kampung di sekitarnya.
Walau begitu, jejak kejayaan tambang mangan banyak ditemui di Dusun Kliripan, terutama di bawah tanah pada kedalaman 2 meter. Di sana terdapat banyak dijumpai lorong terowongan yang gelap dan sunyi.
Satu terowongan terhubung dengan terowongan lain, menjadi semacam labirin gelap tak berujung yang berada di bawah tanah. Di tempat yang gelap itulah dulunya para penambang melakukan aktivitas penambangan batuan mangan.
Marto Pawiro adalah salah satu saksi hidup kejayaan tambang mangan di Dusun Kliripan. Ia bekerja di tambang itu sejak era masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, penjajahan Jepang, hingga Indonesia diambil alih oleh pemerintahan NKRI.
“Batu-batu mangan yang kualitasnya bagus itu sudah diborong habis sama Belanda. Kalau yang pada masa Jepang tinggal yang kualitasnya rendah saja,” kata Marto dikutip dari kanal YouTube Sinau Bhumi.
Marto masih ingat, saat bekerja di sana ia bertugas memikul batu keluar terowongan dan sering dibentak-bentak.
Kadang pula di tengah jalan, ia harus terjungkal karena batuan mangan yang ia bawa terlalu berat. Belum lagi apabila batuan mangan yang diambil berada di lokasi titik terjauh dari mulut terowongan.
“Saat itu di terowongan saya bawa mangan keluar terowongan harus digotong pakai karung. Kalau di terowongan Sunoto itu sudah pakai lori dengan sistem pencet tombol. Lorinya jalan kalau sudah penuh terisi mangan,”
kata pria yang biasa disapa Mbah Marto itu.
Mbah Marto mengatakan, upah yang ia terima sebagai pekerja tambang mangan baginya terhitung besar. Upah itu dibayarkan setiap 15 hari sekali.
Sementara jam kerjanya terbagi menjadi tiga shift, shift pertama dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang, shift kedua dari jam 2 siang sampai jam 8 malam, dan shift ketiga dari jam 8 malam sampai jam 4 pagi. Biasanya satu shift terdiri dari 30 pekerja.
“Waktu zaman Jepang sebelum kerja harus upacara dulu pakai Bahasa Jepang. Kalau mengumpulkan orang mereka suka teriak-teriak. Terus kami disuruh berbaris dua-dua, lalu menaikkan bendera Jepang sambil menyanyikan Kimigayo,”
kata Mbah Marto menceritakan suasana kerja di tambang mangan Kliripan pada era penjajahan Jepang.
Ada tiga titik penambangan mangan yang cukup besar di Dusun Kliripan, yaitu Terowongan Holiday, Terowongan Sunoto, dan Terowongan PPTM.
Di samping titik tersebut, masih ada titik-titik terowongan kecil lain bekas penambangan mangan yang banyak dijumpai di sekitar Terowongan Sunoto.
Dukuh Kliripan, Setyo Haryanto, mengatakan, Terowongan Sunoto dan Terowongan Holiday merupakan titik pertama penambangan mangan di Kliripan. Baru di akhir tahun 1970-an Terowongan PPTM dibangun untuk aktivitas penambangan mangan.
“Ketiga terowongan itu saling tembus satu sama lain. Aktivitas penambangan di sana dihentikan karena sudah banyak kandungan air. Jadi sudah beberapa kali dipompa air di dalam terowongan itu tidak bisa surut,”
kata Setyo menceritakan kenapa banyak terowongan yang ditutup untuk aktivitas penambangan.
Di Dusun Kliripan, terdapat sebuah rumah arsip yang menyimpan berbagai peralatan tambang serta dokumen-dokumen penting perusahaan tambang mangan pada waktu itu. Pada masa lalu, rumah arsip tersebut merupakan tempat tinggal sekaligus kantor bagi para pembesar perusahaan tambang.
Selain itu di sana pula terdapat rumah joglo yang dulunya digunakan sebagai tempat bekerja para pekerja kantor pabrik.
Selain berbagai arsip sejarah yang tersimpan di rumah itu, sebenarnya tidak banyak arsip lain yang menceritakan sejarah tambang mangan di Dusun Kliripan.
Dilansir dari kanal YouTube Sinau Bhumi, tambang mangan Kliripan dibuka pada tahun 1912 oleh perseorangan bernama Insinyur Van Delsen. Usahanya telah mendapatkan izin dari Kasultanan Yogyakarta dengan sebuah akte tertanggal 30 Mei 1893.
“Kalau dalam bahasa arsip istilahnya Konsensus Panggung Kliripan. Inti dari akta itu adalah memberikan hak kuasa tambang pada Ir. Van Delsen selama 75 tahun. Itu artinya sampai tahun 1968,”
kata Pengamat Sejarah Kulon Progo, Dr. Ahmad Athoilah.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan lorong-lorong Terowongan Kliripan yang termasyhur itu pelan-pelan mulai tertutup tanah.
Jejak sejarah kejayaan Kliripan sebagai simbol perekonomian Indonesia khususnya di masa akhir penjajahan Belanda hingga era pemerintahan Presiden Soekarno semakin kabur.
Usaha untuk mengangkat kembali Kliripan mulai dilakukan dengan konsep wisata edukasi, walau tantangannya berat.
“Kini bicara tentang tempat wisata, biasanya dimulai dengan sesuatu yang indah dulu, kalau isitilah anak-anak zaman sekarang itu ‘healing’. Biasanya puncak gunung, pinggir pantai, atau apa. Dan pertambangan tidak masuk dalam konteks ini, apalagi bekas tambang,”
tutup Pengamat Sejarah Kulon Progo Dr. Ahmad Athoilah.