Mengenal Sosok Syekh Jumadil Kubro, Pendakwah Islam Nusantara dari India yang Disebut sebagai Sesepuhnya Wali Songo
Cara Syekh Jumadil Kubro menyebarkan Islam dengan berdagang dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Cara Syekh Jumadil Kubro menyebarkan Islam dengan berdagang dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Mengenal Sosok Syekh Jumadil Kubro, Pendakwah Islam Nusantara dari India yang Disebut sebagai Sesepuhnya Wali Songo
Sebelum era Wali Songo, penyebaran ajaran Islam telah dilakukan di Nusantara. Penyebaran Islam saat itu dilakukan oleh para mubalig dari negeri seberang.
Salah satu tokoh mubalig itu adalah Sayyid Jamaluddin alias Makhdum Jumadil Kubro. Lalu seperti apa kisah hidupnya?
-
Dimana Syekh Jumadil Kubro tinggal? Gunung Jali Tebon di Desa Tebon, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro ini dikenal sebagai gerbang masuknya Islam ke kawasan pedalaman.
-
Siapa tokoh utama penyebar Islam di Jawa? Maulana Malik Ibrahim: Dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim juga dikenal dengan nama Kakek Bantal.
-
Bagaimana Wali Songo menyebarkan Islam? Dalam dakwah mereka, Wali Songo menggunakan strategi yang mengintegrasikan kearifan lokal dan tradisi masyarakat, sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan baik oleh berbagai kalangan.
-
Bagaimana Walisongo menyebarkan Islam di Jawa? Walisongo menggunakan berbagai cara dakwah yang inovatif dan adaptif terhadap budaya lokal. Metode dakwah mereka yang bijaksana dan inklusif memungkinkan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat yang sebelumnya menganut kepercayaan Hindu, Buddha, dan animisme.
-
Siapa saja tokoh penting penyebar Islam di Nusantara? Penyebaran Islam di wilayah ini dilakukan melalui berbagai strategi, seperti jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, pendidikan, serta islamisasi budaya. Tokoh yang merupakan sentra penyebaran Islam di Nusantara ialah para ulama dan raja/sultan.
Syekh Jumadil Kubro disebut berasal dari wilayah Samarkand, Uzbekistan. Sejak kecil, ia mendapat pendidikan dan pemahaman ilmu agama dari ayahnya. Ia kemudian memperdalam ilmu agama dengan belajar ke India, Makkah, dan Madinah.
Sebelum aktif berdakwah, Syekh Jumadil Kubro tercatat pernah menjadi gubernur Deccan, India. Setelah pensiun, ia berkeliling ke berbagai belahan dunia untuk menyebarkan ajaran Islam.
Sejumlah literatur menyebut bahwa Syekh Jumadil Kubro berkeliling sampai ke Maghribi di Maroko dan Kelantan, Malaysia.
Pada akhirnya tibalah ia di Tanah Jawa yang waktu itu masih di bawah kekuasaan Majapahit. Syekh Jumadil Kubro kemudian mendirikan surau pertama di Gunung Kawi. Karena dakwahnya dilakukan di berbagai tempat, beberapa daerah mengklaim bahwa makam Syekh Jumadil Kubro berada di sana.
Mengutip Liputan6.com, cara Syekh Jumadil Kubro menyebarkan Islam dengan cara berdagang. Dalam berdakwah di kalangan Kerajaan Majapahit, ia berdagang dari lingkungan satu ke lingkungan lain secara sembunyi-sembunyi.
Cara itu dilakukan Syekh Jumadil Kubro secara pelan-pelan tapi pasti. Sosoknya pun disegani masyarakat biasa maupun keluarga kerajaan.
Pada waktu itu, ajaran Islam yang diajarkan Syekh Jumadil Kubro masih sangat sederhana. Ia tidak langsung memerintahkan penganutnya untuk salat, berpuasa, dan hal-hal lain yang diwajibkan dalam agama.
Hal pertama yang ia lakukan adalah mengajak masyarakat menyembah Tuhan, setelah itu barulah mengajarkan masyarakat setempat bagaimana cara beribadah. Dengan cara itu Islam dapat berkembang pesat di kalangan Majapahit.
Secara keturunan, Syekh Jumadil Kubro merupakan ayah dari Sunan Ampel dan Sunan Giri. Ia berkelana ke berbagai daerah di Nusantara untuk berdakwah. Tak heran beberapa daerah diklaim sebagai makam Syekh Jumadil Kubro.
Makam Syekh Jumadil Kubro yang pertama diklaim berada di wilayah Trowulan, Mojokerto, yang pada masa lalu adalah pusat kekuasaan Majapahit. Ia disebut wafat di daerah itu. Lalu makam kedua ada di Wajo, Sulawesi Selatan, ini karena ia disebut terakhir kali berdakwah di Gowa.
Pendapat lain menyebut makam Syekh Jumadil Kubro berada di Semarang. Ada pula yang menyebut makamnya berada di lereng Gunung Merapi. Mana yang benar?