Sensasi Menikmati Kopi Arabika di Lembah Sumbing-Sindoro, Jadi Penghangat di Tengah Dinginnya Udara Pegunungan
Walaupun punya potensi wisata, belum banyak dari warga yang tahu bagaimana memanfaatkan potensi itu.
Walaupun punya potensi wisata, belum banyak dari warga yang tahu bagaimana memanfaatkan potensi itu.
Sensasi Menikmati Kopi Arabika di Lembah Sumbing-Sindoro, Jadi Penghangat di Tengah Dinginnya Udara Pegunungan
Sore itu, Jum’at (19/4), hujan deras mengguyur pemukiman penduduk yang berada di kawasan lembah di antara Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Tepatnya di Desa Kwadungan Jurang, Kecamatan Kledung, Temanggung.
Sembari berteduh dari derasnya hujan, Merdeka.com mampir di rumah salah seorang warga bernama Infantri (40). Di rumahnya, ia mengolah kopi yang ia kumpulkan dari para petani sekitar. Setelah diolah, kopi yang telah berbentuk biji ia jual kembali.
-
Bagaimana cara menikmati kopi? Sebatang rokok bersama secangkir kopi sungguh kunikmati sebagai pengusir jiwa yang lelah.
-
Bagaimana kopi dingin dibuat? Cold brew dibuat dengan merendam bubuk kopi dalam air dingin selama 12 hingga 24 jam. Hasilnya adalah kopi dengan rasa yang halus dan lebih sedikit asam, sehingga lebih ramah bagi mereka yang memiliki masalah pencernaan.
-
Bagaimana penikmat kopi menikmati kopi? Setiap cangkir kopi membawa suasana khusus, mulai dari momen kesendirian yang penuh introspeksi hingga pertemuan hangat bersama teman-teman.
-
Bagaimana rasa Kopi Arabika Kintamani? Kopi ini memiliki cita rasa unik, dengan perpaduan rasa pahit dan sentuhan citrus. After taste dari kopi ini juga cukup manis, lho!
-
Gimana cara seduh kopi agar manfaatnya terasa? Berikut adalah beberapa tips untuk menyeduh kopi dengan benar agar manfaatnya dapat diperoleh: 1. Ukur Penggunaan Krimer 2. Ukur Penggunaan Gula 3. Pilih Pemanis Rendah Kalori 4. Hindari Konsumsi Kopi saat Perut Kosong
-
Kenapa Kopi Bowongso ditanam di lereng Gunung Sumbing? Setiap daerah yang berada di lereng gunung biasanya merupakan penghasil kopi yang punya cita rasa yang khas.
Infantri menyuguhkan segelas kopi arabika kepada Merdeka.com. Ditemani hidangan kopi, ia bercerita tentang seluk beluk perjalanan hidupnya.
“Saya dulu pernah kerja di Jogja. Di toko emas,” ujar Infantri membuka ceritanya.
Infantri bercerita, setelah merantau ke Jogja, ia selanjutnya merantau ke Riau selama tiga bulan. Setelah itu, pada tahun 2007 ia kembali pulang ke kampung halaman. Selanjutnya pada tahun 2008, ia diangkat sebagai perangkat desa.
Pada tahun 2010, ada bantuan untuk konservasi lahan di desanya. Waktu itu para petani melakukan konservasi dengan menanam tanaman kopi.
Lima tahun kemudian, tanaman kopi yang ditanam para petani mulai berbuah. Saat itulah ia melihat peluang untuk mengolah dan menjual kembali hasil panen kopi dari para petani.
Buah kopi yang dihasilkan diolah dengan alat pengolah kopi yang ia miliki hingga menjadi biji kopi. Selanjutnya biji kopi itulah yang ia jual ke berbagai tempat.
Biasanya Infantri menjual biji kopi itu dengan berbagai macam cara. Pernah pada suatu waktu ia berjualan secara berkeliling dengan menawarkan biji-biji kopi yang telah diolah ke beberapa warung kopi di Jogja.
Namun cara jual seperti ini justru tidak laku. Ternyata orang-orang justru lebih suka datang ke tempatnya langsung untuk membeli kopi.
“Kopi itu uniknya gitu. Kalau kita tawarkan belum tentu mereka mau. Tapi kalau butuh, mereka langsung ke sini,” kata Infantri.
Dengan aktivitasnya di bidang penjualan kopi, Infantri jadi banyak berkenalan dengan para pemilik kafe di kota-kota besar, khususnya di Kota Semarang dan Kota Yogyakarta. Ia pun jadi tahu perbedaan karakteristik para peminum kopi di kedua kota tersebut.
“Semarang itu kan kota industri. Banyak orang yang bekerja. Jadi mereka kalau minum kopi yang penting kopinya enak. Setelah ngopi mereka biasanya langsung pulang. Sedangkan kalau di Jogja itu banyak orang yang nongkrong di warung kopi sampai berjam-jam. Mereka kan biasanya mahasiswa, biasanya mereka ingin tahu banyak soal kopi dari sejarahnya dan hal lainnya,”
Kata Infantri terkait perbedaan kebiasaan orang minum kopi di Yogyakarta dan di Semarang.
Menurutnya, hingga saat ini berjualan kopi peluang bisnisnya masih besar karena antara kebutuhan dengan penyedianya masih tinggi kebutuhannya.
Maka dari itu, di sela-sela aktivitasnya sebagai perangkat desa, ia rutin menjalankan aktivitasnya sebagai penjual kopi.
Saat panen kopi, ia pun ikut ke ladang untuk bersama-sama dengan petani lainnya memanen kopi. Berbagai aktivitasnya dalam mengolah dan menjual kopi ia posting di media sosial melalui akun Instagramnya @cinco_ivan.
Masih Kesulitan Kembangkan Usaha
Dengan lokasi yang berada di kawasan dengan pemandangan alam yang bagus, Infantri sadar usaha yang ia jalankan ini punya potensi wisata. Apalagi letak rumahnya begitu strategis tepat di pinggir jalan raya Temanggung-Wonosobo. Ia berharap kelak bisa semakin mengembangkan usahanya, salah satunya punya warung kopi sendiri.
“Tempat ini sebenarnya punya banyak potensi wisata, tapi kita sebagian besar warga di sini belum tahu bagaimana cara mengembangkannya,” kata Infantri.
Untuk menaungi para petani dan penjual kopi di tempatnya, Infantri membuat sebuah paguyuban bernama Sedoeloer Kopi. Sampai saat ini, anggota paguyuban itu ada 15 orang.
Berdasarkan data yang diberikan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Regional Yogyakarta, Sedoeloer Kopi merupakan salah satu klaster usaha BRI.
Untuk menjalankan usaha kopi miliknya, setiap tahun Infantri mengajukan pinjaman modal ke BRI hingga Rp200 juta.
Uang sebanyak itu ia keluarkan untuk membayar hasil panen kopi dari para petani yang tersebar di kawasan lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
Setelah diolah, hasil biji kopi ia jual kembali dengan harga per kilogram berkisar antara Rp100-120 ribu.
Perlu Ditingkatkan
Ditemui secara terpisah, CEO BRI Regional Yogyakarta, John Sarjono, mengatakan ada banyak klaster usaha UMKM di wilayah kerjanya. Wilayah kerja Kantor BRI Regional Yogyakarta sendiri cukup luas, meliputi kawasan selatan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai dari Kabupaten Cilacap, Banyumas, Kebumen, Purworejo, Magelang, Temanggung, Kulon Progo, Sleman, Bantul, Kota Yogyakarta, Gunungkidul, Klaten, Boyolali, Kota Surakarta, Wonogiri, Sukoharjo, hingga Sragen.
Secara umum, John mengaku sangat terkesan dengan para pelaku UMKM di wilayahnya karena memiliki etos kerja yang bagus.
“Secara budaya orang sini punya jiwa wirausaha karena sumber-sumber bisa didapat dengan mudah dan murah. Tapi UMKM di sini harus punya keinginan untuk lebih maju dan lebih mengembangkan usahanya,” kata John Sarjono saat ditemui di kantornya pada Selasa (23/4) lalu.
“Kalau cuaca cerah mau saya ajak ke ladang. Pemandangannya bagus. Tapi kalau sudah sore dan cuacanya seperti ini jelas nggak bisa. Besok lagi datang ke sini sama pacar,” ujar Infantri kepada Merdeka.com dengan nada bercanda.
Foto 1: Suasana tempat penjemuran kopi dengan latar belakang pemandangan Gunung Sumbing
Sumber Foto: IG @cinco_ivan
Foto 2: Salah satu kebun kopi tempat panen Sedoeloer Kopi. Letaknya berada pada ketinggian 1.400 meter di lereng Gunung Sindoro
Sumber foto: IG @cinco_ivan
Foto 3: Buah kopi yang siap dipanen.
Sumber foto: IG @cinco_ivan
Foto 4: kopi yang sudah digiling dipisah dan kemudian dijemur di atap rumah-rumah warga
Sumber foto: IG @cinco_ivan
Foto 5: Biji kopi yang sudah dikemas siap dijual
Sumber foto: IG @cinco_ivan