Suara Penghayat Kepercayaan dalam Pusaran Politik Indonesia
Mereka adalah kelompok rentan yang sering dimanfaatkan untuk mendulang suara. Ragam perjuangan mereka lakukan guna mendapatkan hak-haknya.
Mereka adalah kelompok rentan yang sering dimanfaatkan untuk mendulang suara. Ragam perjuangan mereka lakukan guna mendapatkan hak-haknya. Masuk ke pusaran politik adalah salah satu cara, meski pernah mengalami trauma.
Suara Penghayat Kepercayaan dalam Pusaran Politik Indonesia
Langit mendung memayungi kompleks Padepokan Wisnoe Wardhana, Kota Yogyakarta, pada Minggu pagi 7 Januari 2024. Di sana Merdeka.com menemui Suroso, 53 tahun, salah satu tokoh masyarakat penghayat kepercayaan.
Suroso adalah Ketua Palang Putih Nusantara (PPN), sebuah paguyuban yang mewadahi perjuangan para penghayat kepercayaan ajaran Kejawen Urip Sejati.
Pagi itu, Suroso tampil kasual dengan kaos abu-abu bertuliskan “Fall Out Boy”, yang nama tersebut merujuk pada sebuah band rock asal Amerika Serikat yang berdiri pada tahun 2001.
-
Siapa saja yang dipilih oleh masyarakat pada pemilu 2024? Pada pemilu kali ini, masyarakat Indonesia akan memilih para wakil rakyat, yaitu yang akan duduk sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Presiden serta Wakil Presiden.
-
Siapa saja yang dipilih dalam Pemilu 2024? Pemilu 2024 adalah pemilihan umum serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta kepala daerah di seluruh Indonesia.
-
Kapan Pemilu 2024 di Indonesia? Pemilih yang sudah terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak suaranya di TPS pada hari Rabu 14 Februari 2024 pada pukul 07.00-13.00 waktu setempat.
-
Apa pesan sosialisasi Pemilu 2024? 'Kami membuat kertas brosur yang berisi imbauan agar tidak mudah terprovokasi, dan juga tidak menyebarkan berita hoaks.' 'Termasuk kebencian sehingga dapat terwujudnya pemilu yang aman dan damai 2024,' katanya.
-
Bagaimana cara menjadi pemilih dalam Pemilu 2024? KPU juga menginformasikan berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2022, berikut ini adalah syarat untuk menjadi pemilih: 1. Genap berusia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah kawin, atau sudah pernah kawin 2. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap 3. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibuktikan dengan E KTP 4. Berdomisili di luar negeri yang dibuktikan dengan E KTP Paspor dan/atau Surat Perjalanan Laksana Paspor; 5. Dalam hal Pemilih belum mempunyai E KTP sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d, dapat menggunakan Kartu Keluarga 6. Tidak sedang menjadi prajurit Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
-
Siapa saja yang ikut dalam pilpres 2024? Dari beberapa daerah yang sudah dibacakan, pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dari pasangan nomor urut 01 Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Sembari menyalakan rokok, ia duduk di sofa ruang tamu dan mulai bercerita soal politik jelang pesta demokrasi 2024 kemarin.
“Situasi (partai politik) sekarang masih pada bunglon semua! Di negeri ini idealisme belum laku. Orang-orang yang punya idealisme tinggi, yang memegang kebenaran sesungguhnya, masih belum laku!” ujarnya menyampaikan pandangan terkait kondisi politik di Indonesia saat ini.
Pernyataannya ini bukannya tanpa dasar. Sudah sejak 2004 ia memperjuangkan pengakuan negara terhadap eksistensi para penghayat dengan mendekati para caleg. Namun hasilnya tidak terlalu signifikan.
“Pemilu 2004 hasilnya nihil. Pemilu 2009 sudah saya dekati caleg tapi setelah pemilu juga nggak ada pengaruhnya. Yang terakhir tahun 2014 saya bilang ke teman-teman, saya nggak mau nitip-nitip lagi ke caleg. Akhirnya tahun 2019 benar-benar lepas. Tahun 2024 ini belum ada satu pun caleg yang saya temui,” katanya.
Pada 2004 misalnya, seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai calon legislatif DPR RI dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), datang menemuinya. Orang itu, yang tidak ingin ia sebut namanya, meminta dukungan untuk mendaftarkan diri sebagai caleg.
Menjelang hari pendaftaran, orang itu kembali datang pada Suroso dan mengonfirmasi bahwa ia tidak jadi nyaleg. Bakal caleg itu baru sadar untuk menggaet dukungan ternyata membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Pada 2009, salah satu partai yang ikut kontestasi pemilu waktu itu, rutin mendekati Suroso dan Paguyuban PPN. Namun dalam kenyataannya partai tersebut tidak mendapat kursi di DPR karena perolehan suaranya di bawah satu (1) persen.
Menjelang pemilu 2014, Suroso dekat dengan salah satu caleg dari partai peserta pemilu. Saat itu ia selaku ketua PPN ditawari program listrik masuk desa oleh caleg tersebut.
Saat itu ia selaku ketua PPN ditawari program listrik masuk desa oleh caleg tersebut. Katanya ada jatah listrik gratis bagi sekitar 250 kepala keluarga (KK).
Setelah menyeleksi ribuan kepala keluarga, Suroso akhirnya bisa melengkapi daftar 250 KK sebagai penerima listrik gratis. Sebagian besar dari mereka merupakan warga paguyuban PPN. Caleg yang diceritakan Suroso pun mengawal proses sampai proposal diajukan ke dinas terkait.
Namun apes bagi Suroso. Ternyata dinas itu tidak memproses proposalnya. Ujungnya pun bisa ditebak, listrik tidak jadi. Listrik gratis yang dijanjikan caleg, ternyata dikirim ke desa lain.
Suroso pun kena getahnya, ia dicap sebagai penipu oleh 250 keluarga yang telah mendaftar padanya.
“Kalau saya dianggap penipu, laporkan saja saya ke polisi. Saya nggak akan lari, kok,” ujarnya.
Di masa politik tahun ini, tepatnya sejak awal 2023 lalu, banyak caleg yang menghubunginya meminta waktu bertemu. Bahkan ada beberapa partai yang menyatakan ingin mengusungnya sebagai caleg. Namun semua tawaran ia tolak.
“Yang nawarin saya itu banyak. Pokoknya tinggal jawab saja mau, segala persyaratan pendaftaran mereka yang ngurus. Tapi saya belum mau,” ujar Suroso.
Foto 1 Pemimpin Paguyuban Palang Putih Nusantara, Suroso, mengaku ditawari beberapa partai politik untuk menjadi caleg. Tapi semua tawaran itu ia tolak
Bila bicara soal politik, pandangan Suroso menerawang jauh ke masa lampau, tepatnya ke masa Orde Baru, puluhan tahun silam.
Ia mengenang sosok Ki Wisnoe Wardhana yang lebih karib dikenal dengan nama Romo Wisnoe. Dia adalah tokoh pemimpin penganut ajaran spiritual Kejawen Urip Sejati, yang pada 1989 melanjutkan tonggak ajaran spiritual yang telah dirintis ayahnya, GBPH Suryodiningrat.
Sosok Romo Wisnoe yang begitu berpengaruh di tengah kelompok penghayat, menjadi magnet bagi partai politik saat itu. Sejumlah partai berebut menariknya menjadi anggota partai. Dan di era 1980-an, dia lolos menjadi legisltatif sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Golkar.
Pada suatu hari, partai pengusungnya menawari Romo Wisnoe naik haji, gratis. Sebagai seorang penghayat yang taat, Romo Wisnoe menolak mentah-mentah tawaran ini.
Tentunya penolakan ini ada konsekuensinya. Romo Wisnoe dianggap tidak loyal terhadap partai. Ia kemudian dikeluarkan dari partai dan posisinya sebagai anggota DPR RI digantikan orang lain.
“Waktu itu Golkar sudah lupa akan budaya bangsanya sendiri. Buktinya itu tadi, Romo Wisnu yang orang penghayat kepercayaan ditawari naik haji. Apa pantas kalau seorang Wisnoe naik haji?” ucap Suroso kesal saat mengingat masa lalu itu.
Pada masa-masa itu, para penghayat kepercayaan posisinya semakin disudutkan pemerintah. Akhirnya Romo Wisnoe pada 1990 merintis sebuah paguyuban yang mewadahi perjuangan para penghayat kepercayaan. Paguyupan itu, ia beri nama “Palang Putih Nusantara”.
Agama Leluhur di Pusaran Politik
Dalam sejarahnya, persinggungan masyarakat penghayat kepercayaan dengan politik sudah terjadi sejak lampau. Dalam ingatan Engkus Ruswaha (68) ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), hal itu sudah terjadi sejak masa Orde Lama.
Kala itu, saat menyambut Pemilu 1955, tak sedikit kelompok paguyuban penghayat kepercayaan yang membentuk partai sendiri. Mereka bebas mengekspresikan ajarannya tanpa takut mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok dominan.
Namun kondisinya berubah drastis seiring meletusnya peristiwa G30S PKI, disusul dengan pembantaian massal 1965. Para kelompok penghayat kepercayaan yang tidak menganut salah satu dari agama besar, dianggap antek PKI. Banyak dari mereka yang kena tangkap.
“Istilahnya dua gajah bertempur, masyarakat penghayat yang kecil ini akhirnya kena imbas,” ujar Engkus menganalogikan situasi sulit saat itu.
Karena takut, banyak kelompok paguyuban penghayat kepercayaan yang jumlahnya sekitar 360 paguyuban, membubarkan diri.
Beruntungnya saat itu kelompok penghayat punya beberapa tokoh besar, salah satunya Wongsonegoro, seorang politikus yang pernah menjabat Wakil Perdana Menteri (1953-1954) dan Gubernur Jawa Tengah (1945-1949).
Dia adalah sosok penting yang ikut memperjuangkan eksistensi kelompok penghayat. Saat proses penyusunan dasar negara UUD 1945, Wongsonegoro mengusulkan tambahan frasa “kepercayaan” dalam Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.”
Foto 2 Wongsonegoro merupakan tokoh bangsa dari kelompok penghayat. Ia pernah menduduki beberapa jabatan strategis seperti anggota BPUPKI, Gubernur Jateng, dan Menteri Republik Indonesia
Foto: Kemdikbud.go.id
Pada 1966, Wongsonegoro dan para penghayat lain ikut membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), cikal bakal Partai Golkar. Banyak paguyuban penghayat kepercayaan yang ikut memajukan partai baru ini. Saat itu pula banyak utusan penghayat yang menduduki kursi legislatif di daerah-daerah.
Pada masa itu, posisi penghayat kepercayaan sejajar dengan penganut agama lain. Perkawinan dengan tata cara penghayat kepercayaan masih boleh dilakukan para penganutnya. Berbagai ritual adat istiadat bebas dilakukan tanpa ada tekanan atau diskriminasi dari kelompok dominan.
Penguasa Orde Baru yang sebelumnya mengakui penghayat kepercayaan, akhirnya tidak mampu membendung protes dari kelompok Islam. Kondisi para penghayat semakin terdesak. Muncul berbagai protes dari kelompok mayoritas. Mereka ingin agar penghayat kepercayaan memeluk agama yang diakui pemerintah.
Samsul Maarif, dalam buku Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, menguraikan sejumlah protes yang terjadi pada dekade 1970-an.
Seperti usaha seorang tokoh Islam, Hamka, yang menerbitkan brosur untuk membendung gerakan aliran-aliran kepercayaan yang menuntut pengakuan setara dengan agama.
Lalu pada Sidang Umur MPR 1978, anggota MPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menolak legalisasi aliran kepercayaan. Mereka menolak jika kepercayaan berada dalam satu payung, bersama agama-agama lain di bawah Kementerian Agama.
Penguasa Orde Baru yang sebelumnya mengakui penghayat kepercayaan, akhirnya mengikuti irama penolakan. Pemerintah yang berkuasa saat itu melabeli masyarakat kepercayaan sebagai budaya, bukan agama.
Keputusan itu diakui Engkus membuat kondisi para penghayat makin terdesak. Misalnya ihwal perkawinan penghayat yang tidak boleh lagi digelar kecuali lewat penetapan pengadilan.
“Setelah hak-hak kami dipreteli, banyak dari penghayat yang meninggalkan Golkar,” kata Engkus.
Di era reformasi, para penghayat memperjuangkan eksistensi mereka dengan mencari jejaring, salah satunya dengan menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang HAM dan demokrasi. Di samping itu, mereka juga mencari dukungan dari caleg yang berkontestasi saat pemilu.
“Sebenarnya caleg-caleg di daerah banyak yang bantu. Tapi bantunya hanya saat jelang pemilu. Setelah pemilu, jadi diam-diam saja,” ujarnya.
Dalam hal ini, Engkus menyebut satu partai yang sejauh ini paling mengakui eksistensi para penghayat kepercayaan, yaitu partai bergambar banteng dengan moncong putihnya.
“Yang setiap pidato berani salam rahayu hanya PDI-P. Yang lain belum. Itu salah satu kebanggaan kami. Artinya eksistensi kita diakui,” lanjutnya.
Terlepas dari itu, sepanjang era reformasi hingga kini tak banyak warga penghayat kepercayaan yang berkecimpung di dunia politik. Engkus mengatakan bahwa hal itu masih ada kaitannya dengan trauma masa lalu.
Foto 3 Menurut Ketua MLKI Engkus Ruswaha, PDIP merupakan partai di Indonesia yang paling mengakui eksistensi kaum penghayat kepercayaan
Sumber Foto: Merdeka.com
Trauma yang diucapkan Engkus dirasakan betul oleh Endang Sulistyowati (59), pemimpin paguyuban penghayat Angesthi Sampurnaning Kautaman (ASK). Ia masih ingat pada 1978, ibunya pernah menyalonkan menjadi anggota DPRD Purworejo dari Partai Golkar. Saat itu ibunya masih menjadi pemimpin ASK.
Sebelum mendaftar, ia melengkapi berkas-berkas persyaratan terlebih dahulu. Setelah lengkap berkas itu ia titipkan pada suaminya untuk diserahkan pada pengurus Partai Golkar di daerah. Namun ternyata sang suami tidak menyerahkan berkas itu.
“Bapak saya nggak setuju, bapak saya nggak suka. Akhirnya nggak jadi,” ungkap Endang saat ditemui Merdeka.com pada Kamis (4/1).
Memasuki era reformasi, Endang kembali merasakan gejolak politik di antara teman-temannya sesama penghayat ASK. Saat itu ia mendengar pembicaraan di antara sesama penghayat ASK kalau mereka ingin mendirikan partai politik sendiri.
“Memang ada suara-suara seperti, ‘Bu, kalau kita buat partai sendiri gimana?’ Kalau ibu saya, tegas nggak mau. Bahkan saya sempat didorong untuk masuk partai. Kakak saya nggak membolehkan. Saya juga nggak berminat,” kata Endang.
Foto 4 Ketua Paguyuban Penghayat Angesti Sampuraning Kautaman, Endang Sulistyowati, pernah ditawari untuk masuk partai politik. Ia menolak karena tidak merasa cocok dengan dunia politik
Di masa-masa awal reformasi, lanjut perempuan yang juga menjabat Sekretaris MLKI DIY ini, kondisi masyarakat penghayat kepercayaan begitu terombang-ambing. Jumlahnya terus menyusut. Secara politis hal ini membuat kondisi penghayat semakin terdesak.
“Waktu itu tekanan politik terhadap penghayat begitu tinggi. Banyak paguyuban yang membubarkan diri karena pengalaman traumatik itu. Jadi bagaimana mau berpolitik kalau kekuatannya kecil sekali?” ujarnya.
Berjuang lewat Jalur Legislatif
Walau masih menyisakan trauma, tapi ada sebagian yang mencoba terjun ke dunia politik. Mereka menjajal peruntungan dengan maju sebagai calon anggota legislative, guna memperjuangkan hak dan eksistensinya di masyarakat.
Pagi itu, Sabtu (24/2), Edy Suyudono (63) menyambut Merdeka.com di rumahnya yang berada di Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Ia mengenakan kaos hitam polos dan bawahan sarung dengan warna yang juga hitam.
Edy adalah seorang penghayat yang menyalonkan diri sebagai caleg. Ia terdaftar sebagai caleg DPRD Kota Yogyakarta dari Partai Gerindra.
“Saya ini caleg. Tapi saya tidak melakukan kampanye sama sekali. Padahal saingan saya sudah habis 2 miliar H-15 sebelum pemilu,” ujar lelaki yang juga Ketua MLKI Kota Yogyakarta.
Ia tidak tahu persis jumlah suara yang ia dapatkan. Dalam Surat Komite Pemilihan Umum (KPU) Kota Yogyakarta tertanggal 29 Februari 2024, Edy hanya mendapat 86 suara. Dia memperoleh peringkat 7 dari sembilan caleg di partainya sendiri.
Jumlah suaranya sangat jauh jika dibandingkan dengan Sinarbiyat Nurjanat, sesama caleg DPRD Kota Yogyakarta dari Partai Gerindra yang berada di peringkat pertama dengan 2.597 suara.
Edy Suyudono merupakan seorang penghayat kepercayaan dari Paguyuban Sukoreno. Kepercayaan itu sudah diwariskan secara turun-temurun dari orang tuanya.
Dulu ibunya merupakan Pemimpin Paguyuban Sukoreno. Setelah ibunya wafat, Edy yang meneruskan tonggak kepemimpinan Sukoreno.
Pada 2021, Edy terpilih menjadi Ketua MLKI Kota Yogyakarta, yang membawahi 17 paguyuban penghayat kepercayaan di kota yang terkenal dengan kebudayaannya ini. Jumlah warganya kurang lebih ada 2.700 orang.
Dalam aturan organisasi MLKI tidak membolehkan anggotanya terlibat dalam politik praktis. Tapi Edy mengaku menjadi caleg atas nama pribadi. Ia pun harus pandai berbagi peran antara dirinya sebagai ketua MLKI dan sebagai pengurus Partai Gerindra.
“Karakter MLKI itu bersifat netral, tidak mendukung ke salah satu partai. Tapi pengurus MLKI mempunyai hak pribadi untuk berpolitik,” ujarnya.
Walau punya massa yang banyak, Edy mengaku tak pernah mengajak warganya untuk memilihnya. Bahkan banyak orang yang mengenalnya, justru baru tahu kalau ia ikut mencalonkan diri setelah hari pencoblosan.
Di dunia politik, Edy bergabung dengan Partai Gerindra sejak 2007. Sebelumnya ia pernah bergabung di Partai Golkar dan Partai Patriot. Dan ikut aktif di ormas Pemuda Pancasila.
Terhitung Edy sudah lima kali menjadi caleg tingkat daerah. Edy pertama kali maju sebagai caleg pada 1999. Saat itu, ia maju mewakili Partai Patriot di Dapil Gunungkidul.
Saat itu, ia maju mewakili Partai Patriot di Dapil Gunungkidul. Edy mengatakan, saat itu ia mendapat nomor urut satu, namun ia sudah lupa berapa perolehan suara yang diperoleh.
Pada tahun 2007, Edy bergabung dengan Partai Gerindra. Sejak saat itu ia tidak pernah absen maju sebagai caleg DPRD di Dapil I Kota Yogyakarta.
Berdasarkan data dari KPU Kota Yogyakarta, pada pemilu tahun 2009, Edy mendapat nomor urut satu dan memperoleh 245 suara; pada 2014 nomor urut enam dan memperoleh 272 suara, lalu pada tahun 2019 dia mendapat nomor urut tiga dan memperoleh 168 suara.
Foto 5 Partai Gerindra yang didirikan oleh Prabowo Subianto menjadi tempat Edy Suyudono berkiprah di kancah politik. Sejak tahun 2009 hingga 2024, ia selalu maju sebagai caleg DPRD Kota Yogya dari Partai Gerindra.
Foto: Merdeka.com
Pada pemilu 2024 ini, Edy memutuskan nyaleg lagi untuk Partai Gerindra, dan mendapat nomor urut tujuh untuk Dapil I Kota Yogyakarata. Ia mengaku suaranya diperhitungkan dan bisa mendongkrak perolehan suara partai.
“Saya diminta nyaleg dan tidak perlu bayar,” katanya.
Edy menceritakan, saat dihubungi salah seorang pengurus partai, ia sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Istri dan anaknya pun tak setuju kalau Edy maju lagi.
Tapi karena diminta partai guna mendongkrak perolehan suara, sebagai orang yang loyal kepada partai, dia siap.
“Saya kan orangnya loyal sama partai. Kalau diberi mandat, yang ada hanya siap, siap, siap. Dalam keadaan apapun itu,” imbuhnya.
Edy sendiri tahu banyak partai dan caleg yang datang ke masyarakat hanya kalau ada maunya, termasuk mendekati masyarakat penghayat. Namun menurut Edy, MLKI tidak boleh menutup diri pada politik.
“Jadi MLKI membutuhkan seorang DPR untuk membuka jalan aspirasi kita. Karena program MLKI ke pemerintah itu harus melalui beberapa jalan, salah satunya melalui DPR,” kata Edy.
Sampai dengan Minggu (25/2), perolehan suara Partai Gerindra di Kota Yogyakarta cukup bagus dengan 13,94 persen suara, terbanyak nomor dua setelah PDI-P dengan 25,98 persen suara.
Tak hanya itu, capres yang ia usung, Prabowo Subianto, juga masih unggul telak atas lawan-lawannya dengan 58,84 persen suara. Ia melihat hasil pemilu 2024 ini sebagai jalan lebar baginya untuk menyampaikan aspirasi penghayat.
Edy pun sudah punya rencana untuk menyampaikan aspirasi kelompok penghayat. Ia ingin adanya sosialisasi pada masyarakat luas agar eksistensi para penghayat kepercayaan semakin diakui.
“Saya nggak tahu sampai kapan perjuangan MLKI untuk bisa diterima di masyarakat. Walau pemerintah sudah mengakui kami melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tapi belum semua orang bisa mengerti dan mengakui kami sebagai penghayat kepercayaan,”
Kata Edy Suyudono yang bertekad akan memperjuangkan suara kelompok penghayat melalui jalur politik
Langkah Edy berbeda dengan Petrus Suwardhanis (65), yang karib disapa Dhanis (65). Sebagai penghayat Sastro Jendro, Dhanis malah menjauh dari dunia politik. Padahal dia menjadi salah satu tokoh gerakan dan pernah ditawari sebagai caleg.
Dhanis mengaku besar di keluarga yang menganut paham Marhaenisme. Sejak kecil, tepatnya di medio 1977, ia sudah menjadi penggerak desa dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
“Saat itu PDI paling dikerdilkan. Saya sering dikejar-kejar tentara dan polisi, bahkan sempat ditahan juga,” ujarnya.
Foto 6 Edy Suyudono (kiri) dan Petrus Suwardhanis. Walaupun berbeda jalan politik, namun kedua tokoh penghayat kepercayaan itu tetap berteman akrab
Setelah masa reformasi tepatnya pada 1999, PDI berubah nama jadi PDI-P. Sebagai seorang kader partai yang sudah lama aktif, Dhanis begitu disegani kader lian. Ia mengaku dijadikan salah satu kandidat caleg PDIP. Namun ia menolaknya.
“Kalau saya mau, pasti jadi. Tapi saya tidak mau,” ujarnya.
Penolakan itu lantaran Dhanis sudah memulai aktif di Paguyuban Sastra Jendro untuk mendalami kepenghayatan. Jiwanya selalu bergejolak ketika bersinggungan dengan partai. Dan akhirnya ia lebih memilih untuk menepi dari dunia politik.
Menurutnya, dalam dunia politik banyak hal yang bertentangan dengan kepercayaannya sebagai seorang penghayat. Seperti terjadinya ketidakjujuran, dan menghalalakan berbagai cara untuk mendapat dukungan atau suara.
“Hati nurani saya menolak,” katanya dengan raut muka penuh keperihatinan.
Meski berbeda pilihan, Dhanis masih tetap bersahabat dengan Edy. Ia membantu Edy untuk membahas persoalan pusaka atau untuk melarungnya. Karena ajaran kepercayaannya yang Dhanis dalami bersinggungan dengan tosan aji atau senjata pusaka tradisional.
Realitas Pesta Demokrasi
Pada 14 Februari kemarin, rakyat Indonesia baru saja menyelenggarakan pemungutan suara untuk memilih Presiden dan Wakilnya, serta calon legislatif. Dalam ingatan masyarakat penghayat, obral janji dan iming-iming program kepada mereka masih saja terjadi.
Noor Sudiyati (63), salah seorang penghayat ajaran Hardo Pusoro, masih ingat, tak sedikit tawaran menggiurkan yang dikeluarkan para caleg dalam berkampanye. Tapi baginya hal itu tak mengherankan. Bahkan ada seorang caleg muda untuk DPD DIY yang menemuinya, dan memberikan janji-janji kepadanya.
Program yang ditawarkan caleg muda itu, menurut Noor, sangat realsitis dan menyentuh kebutuhan dasar. Misalnya penurunan angka stunting, pengelolaan sampah, jaminan sosial ketenagakerjaan, serta pemberdayaan perempuan. Dia pun mengapresiasnya.
Kepada caleg muda itu dia berharap, agar menepati janji dan tidak melupakan keberadaan kelompok penghayat kepercayaan di tengah rumitnya dilematika kepentingan setiap warga negara.
Desi Riastuti (26), salah seorang penghayat dari Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM) dari Kulon Progo, berharap pemimpin terpilih nantinya bisa menyuarakan hak-hak mereka.
“Jangan mengucilkan kami, perlakukanlah semua golongan dengan adil,” kata perempuan yang telah menggunakan hak pilihnya dalam pemungutan suara 14 Februari kemarin.
Dalam pelaksanaan pemilu kemarin, dia tak melihat adanya mobilisasi kelompok penghayat di lingkungannya. Pemimpin paguyuban memberikan kebebasan untuk memilih sesuai hati nuraninya masing-masing.
Berbeda pada pemilu 2019 yang pernah Desi ikuti. Saat itu, ada caleg yang melakukan kampanye di lingkungan kelompok penghayat, dan menawarkan janji-janji manis pada para penghayat.
“Dia bilang bakal menyejahterakan penghayat, memberikan keamanan bagi penghayat. Tapi janji-janji itu nggak pernah diwujudkan,” tutur perempuan yang menempuh pendidikan S1 Pendidikan Penghayat di Universitas 17 Agustus Semarang (Untag) ini.
Hanya saja Desi memiliki keprihatinan tersendiri melihat realita pemilu saat ini. Di televisi misalnya, Desi melihat banyak kabar tentang kecurangan hasil pemilu. Lantas para kontestan pemilu pun saling serang pendapat tentang mana hasil yang benar.
“Bukannya sebagai ajang pesta demokrasi, tapi mereka malah saling rebut kekuasaan. Kalau memang terbukti, bagaimana nasib kita ke depan kalau punya pemimpin yang main curang?” ujarnya, khawatir.
Foto 7 Desi Riastuti merupakan salah satu generasi muda penghayat kepercayaan. Ia berharap pemimpin terpilih nantinya bisa memperlakukan semua golongan dengan adil, termasuk para penghayat kepercayaan.
Pengamat Sosial dari Yayasan Lembaga Kajian Islam (LKiS), Hairus Salim, mengatakan penghayat kepercayaan merupakan kelompok yang rentan baik secara ekonomi, sosial, juga kultural. Dan setiap ajang pemilu, mereka rentan menjadi korban stigma.
Karena kerentanan itu kata Hairus telah terjadi sejak 1965. Makanya tak heran jika para penghayat cenderung mendukung tokoh atau partai politik yang bisa menjamin keamanan mereka. Situasi ini lantas dimanfaatkan tokoh-tokoh politik lokal untuk mendekati mereka.
“Biasanya mereka cenderung lebih mudah dimobilisasi untuk mendukung partai atau caleg tertentu,” katanya.
Para penghayat, kata Hairus akan mendukung caleg dari partai-partai nasionalis, atau partai besar yang cenderung punya kedudukan kuat di pemerintahan. Dalam sejarahnya pula, jarang ada kelompok penghayat yang mendukung partai oposisi.
“Nggak mungkin mereka berperan sebagai oposisi. Apalagi mereka kelompok rentan yang bisa dicurigai macam-macam. Kalau sebagai oposisi, mereka bisa makin disudutkan,” kata Hairus Salim.
Kepada para caleg, biasanya para penghayat mengharapkan jaminan keamanan dalam menjalankan hal-hal terkait kepercayaan mereka. Atau paling tidak hak-hak mereka sebagai warga negara. Misalnya soal subsidi dari pemerintah.
Hairus pun tidak memungkiri di beberapa daerah, ada penghayat yang mencalonkan diri sebagai caleg.
Biasanya mereka mencalonkan diri lewat partai-partai besar berhaluan nasionalis seperti PDI-P, Golkar, atau Gerindra. Dan ketika maju sebagai caleg, mereka tidak akan terang-terangan mengakui bahwa dia adalah seorang penghayat.
“Penghayat itu jumlahnya tidak besar, kalau mau mendulang suara penghayat paling retorikanya adalah membela kaum minoritas. Jadi tidak pernah terang-terangan,” terangnya.
Ingat Ajaran Luhur Penghayat
Sejumlah warga penghayat tidak mempermasalahkan adanya warga penghayat kepercayaan yang terjun ke dunia politik. Justru ini sebagai sesuatu yang positif. Setidaknya ada yang mewakili kelompok mereka dalam dunia percaturan politik di Indonesia.
Noor Sudiyati mengaku tidak mempermasalahkan apabila ada penghayat yang ingin masuk partai politik. “Namun ya jangan sampai meninggalkan wewaler penghayat kepercayaan,” katanya.
Wewaler, lanjut Noor merupakan pantangan-pantangan dalam menjalani hidup. Dan bagi seorang penghayat yang terjun ke dunia politik, tentunya harus menghindari pantangan-pantangan itu.
“Secara umum wewaler adalah larangan pada kita untuk menyakiti sesama makhluk. Tidak hanya manusia. Setiap paguyuban punya wewalernya sendiri-sendiri. Semua berasal dari konsep yang sama, cinta kasih,” jelasnya.
Baginya, seorang penghayat yang sudah mantap secara batin dengan kepenghayatannya, tidak akan menganggap politik sebagai hal yang serius. Walau begitu, ia tetap berharap ada sosok pemimpin maupun caleg yang berasal dari kelompok penghayat.
Begitu halnya dengan Sri Sahyastuti (68), salah seorang penghayat kepercayaan Sapta Darma asal Kota Yogyakarta. Dia hanya mewanti-wanti untuk selalu mengingat ajaran wewarah tujuh.
Dalam ajaran itu, seorang penghayat harus percaya pada Tuhan dan juga harus jujur kepada sesama manusia. Jangan sampai, kata Sahyastuti, mencampur urusan politik dengan kerohanian.
“Sapta Darma itu tujuannya bukan berpolitik praktis, melainkan lebih ke Rohani. Kalau orang kerja itu apa-apa masih kurang. Tapi itu semua tergantung kita. Kita diberikan berapa pun akan merasa cukup kalau mensyukuri hidup,” kata Sri Sahyastuti.
Foto 8 Sri Sahyastuti, salah seorang penghayat Sapta Darma berharap para penghayat yang berkecimpung di partai politik tidak mencampur urusan politik dengan kerohanian.
Puryono (56), yang juga seorang penghayat PEBM, tak begitu mempersoalkan muasal caleg, apakah dari kelompok penghayat atau bukan. Baginya yang penting adalah visi misinya.
Persis seperti Sahyastuti, Puryono mewanti-wanti agar para caleg dari kelompok penghayat tidak meninggalkan ajaran kepercayaannya jika nanti menang atau pun kalah dalam pesta demokrasi.
“Asal jangan meninggalkan ajaran kepercayaan saat sudah terpilih,” harapnya.
Bekal Memahami Politik
Siang itu di Padepokan Wisnoe Wardhana, Suroso begitu menikmati isapan kreteknya. Setidaknya dua minggu sekali ia mengunjungi padepokan sekaligus kantor sekretariat pusat Paguyuban Palang Putih Nusantara.
Selain sebagai pusat kegiatan paguyuban, padepokan itu sering dipinjam untuk kegiatan warga setempat. Pada pesta pemilu 2024 ini, padepokan itu juga dipakai sebagai tempat pemungutan suara (TPS).
Selain mengurus administrasi paguyuban, Suroso memanfaatkan padepokan guna mendidik generasi penerus penghayat kepercayaan.
Dia termasuk salah satu orang yang ditunjuk Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), sebagai penyuluh pendidikan penghayat. Total siswa yang belajar bersamanya di padepokan ada 14 orang.
“Mereka datang dari berbagai daerah. Ada yang dari Blora, Sragen. Mulai tingkat SD hingga Mahasiswa, saya kumpulkan di sini,” kata Suroso.
Foto 9 Padepokan Wisnoe Wardhana merupakan sarana belajar bagi para siswa penghayat kepercayaan. Tak hanya soal materi kepenghayatan, di sana juga mereka belajar olah rasa melalui kesenian
Bagi Suroso, dibandingkan melalui politik praktis, ia lebih suka memperjuangkan hak-hak dan eksistensi kaum penghayat dengan berjejaring dan membekali generasi penerus penghayat dengan ragam pendidikan. Itu lebih efektif dari pada melalui wakil rakyat.
“Fokus regenerasi. Saat ini semakin sedikit keluarga penghayat yang meneruskan kepercayaan orang tuanya,” ujar Suroso, prihatin.
Berbekal pendidikan kepenghayatan, Suroso percaya, generasi penerus masyarkat penghayat nanti, sudah siap secara lahir batin, jika memang harus terjun ke dunia politik.
Pada 2029 nanti, Suroso memprediksi sudah ada puluhan anak-anak generasi penghayat yang bisa meneruskan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Dan ketika lulus, Suroso mempersilakan kepada mereka yang ingin berjuang lewat jalur politik.
“Terserah mau terjun ke politik atau tidak. Yang jelas dari sisi akademis mereka mampu. Tinggal kepribadiannya kuat atau tidak. Soalnya kalau sudah main ke politik itu sudah menang atau kalah soal idealisme yang diyakini,” terang Suroso.
Bekal pendidikan nilai-nilai kepenghayatan bagi generasi penghayat kepercayaan memang perlu. Jika tak dilakukan, generasi penghayat bisa tergerus zaman.
Endang Sulistyowati mengaku prihatin dengan realitas ini, dan mesti menjadi perhatian serius bagi paguyuban penghayat kepercayaan.
“Regenerasi susah. Apalagi bagi generasi muda yang sudah lulus, kemudian kuliah atau kerja di luar Jogja. Tekanan politik terhadap penghayat kan tinggi sekali kalau di luar Jogja,” ungkap Endang.
Sebagai minoritas, warga penghayat kepercayaan adalah kelompok rentan, yang menurut Endang acapkali mendapat tekanan dari lingkungannya. Hal inilah yang menurut Endang menjadi penyebab penghayat memilih meninggalkan kepercayaannya.
Agar generasi penghayat tetap memegang teguh ajarannya, Noor Sudiyati sebagai seorang penghayat kepercayaan yang juga menjadi pengajar di salah satu kampus swasta di Yogyakarta, selalu menanamkan rasa percaya diri pada semua generasi muda penghayat.
“PD dan teguh memegang prinsip ajaran kepercayaan di mana pun berada,” kata Sudiyati.
Menurutnya, ketika seorang penghayat konsisten menjalankan ajarannya, tak perlulah berkoar-koar atau mengaku sebagai seorang penghayat, karena masyarakat sudah pasti bisa melihat dan menilai dengan sendirinya.
“Perjuangan yang harus kita lakukan adalah berjuang dengan laku kita. Walaupun kita penghayat punya ajaran yang berbeda-beda, tapi kita punya benang merah yang sama. Kita saling menguatkan,” ujarnya.
Foto 10 Noor Sudiati, merupakan salah satu dosen Prodi Pendidikan Penghayat Kepercayaan di Untag Semarang. Kepada para mahasiswanya, Noor selalu menanamkan rasa percaya diri sebagai seorang penghayat
Persinggungan kelompok penghayat kepercayaan dalam politik adalah sebuah realitas. Dan perjuangan mereka tidaklah tunggal. Semua guna meraih satu tujuan, hidup sebagai warga negara yang diakui hak-haknya dan inklusif. Seperti harapan Riastuti yang mewakili suara generasi penerus penghayat kepercayaan. Janganlah ada yang dikucilkan, perlakukan semua dengan adil dan bijaksana. []