Mengenal ‘Uang Perahu’, Mahar Politik Dibutuhkan untuk Jadi Calon Wakil Rakyat
Ikhsan pernah melakukan penelitian saat pemilihan Walikota Serang, Banten tahun 2013 dan mendapati salah satu calon membayar Rp5 miliar.
Setelah mendaftar dan diangkat menjadi kader, maka akan dilakukan uji kelayakan sebelum menjadi wakil rakyat. Apabila berhasil, maka partai politik dapat mengusung orang tersebut untuk menjadi wakil rakyat.
Mengenal ‘Uang Perahu’, Mahar Politik Dibutuhkan untuk Jadi Calon Wakil Rakyat
Mengenal ‘Uang Perahu’, Mahar Politik Dibutuhkan untuk Jadi Calon Wakil Rakyat
Mahar politik atau yang lebih dikenal dengan sebutan 'uang perahu' merupakan sejumlah uang yang diberikan kepada sebuah partai politik untuk mendapatkan stempel dan restu partai politik dalam proses pencalonan wakil rakyat.
Umumnya, sebelum diusung oleh sebuah partai politik menjadi wakil rakyat, seseorang harus mendaftar menjadi kader terlebih dahulu atau dapat juga diangkat menjadi kader oleh sebuah partai politik.
Setelah mendaftar dan diangkat menjadi kader, maka akan dilakukan uji kelayakan sebelum menjadi wakil rakyat. Apabila berhasil, maka partai politik dapat mengusung orang tersebut untuk menjadi wakil rakyat.
Namun uang perahu dapat 'memangkas' proses ini yakni setelah memberikan sejumlah uang, orang tersebut dapat bergabung ke sebuah partai politik bahkan langsung diusung untuk menjadi wakil rakyat.
Dilansir dari akun instagram Ngomongin Uang, uang perahu tidak mungkin berasal dari dana pribadi seseorang dan dapat dipastikan ada pihak atau pendana lain yang ikut terlibat.
Hal ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Direktur Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief bahwa uang perahu sangat mahal dan mampu mencapai nilai hingga miliaran rupiah.
merdeka.com
Mirisnya, fenomena ini bukanlah hal baru dan sudah jadi perkara umum di politik Indonesia. Seorang Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Ikhsan Achmad, mengatakan uang perahu adalah hal lazim terjadi dilakukan di 'bawah meja'.
Padahal, perilaku uang perahu ini dilarang oleh Undang-Undang menurut UU. No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena hal ini termasuk tindakan politik uang yang mampu merusak demokrasi dan menciptakan kondisi politik yang tidak sehat.
Dalam UU. No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 228 tertulis bahwa "Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden".Apabila terbukti melanggar, partai politik maupun gabungan partai politik busa terseret sanksi pidana. Bahkan, penerima mahar politik atau 'uang perahu' ini diancam pidana yang lebih berat. Berdasarkan Undang-Undang, ada dua implikasi yang diterima dari praktik 'uang perahu' yakni sanksi pidana dan sanksi administrasi. Sanksi pidana telah diatur dalam Pasal 187b dan 187c Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Ancaman pidananya terhitung berat, yakni pidana penjara 2 hingga 5 tahun bagi pemberi imbalan dan 3 hingga 6 tahun bagi penerima imbalan, serta denda Rp300 juta hingga Rp1 miliar.
Sementara untuk sanksi administratif dapat dijatuhkan berupa pembatalan sebagai calon gubernur, calon bupati, calon wali kota. Bahkan jika sudah ada penetapan terpilih juga dapat dibatalkan oleh negara.
Tidak hanya itu, jika kader tersebut sudah menjabat pun masih dan terbukti menerima imbalan, mereka dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Meskipun 'uang perahu' sudah jadi rahasia umum, pembuktiannya masih sulit dilakukan karena tindakan ini dilakukan secara terbatas dan rahasia.
Selain itu, untuk membuktikan tindak penyelewengan harus ada pengakuan dari pihak pemberi, yang notabenenya adalah orang yang akan maju menjadi wakil rakyat. Sementara, dengan adanya sanksi pidana bagi pemberi dan penerima mahar politik membuat pengakuan ini sulit terealisasi.