Ahok bisa dikalahkan
Merdeka.com - Petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok) masih berpeluang besar kembali memimpin DKI Jakarta 2017-2019. Dari survei Poltracking, meski cenderung turun, elektabilitas Ahok masih di atas calon kandidat lainnya.
Kepuasan masyarakat atas kinerjanya cukup diperhitungkan. Menurut hasil survei Poltracking, kepuasan warga Jakarta terhadap pemerintahan Ahok sebesar 68,72 persen, sedangkan responden yang tidak puas sebesar 27,7 persen. Sisanya menjawab tidak tahu.
Namun demikian, para parpol dari Koalisi Kekeluargaan yakin bakal mengalahkan Ahok. Mereka optimis, salah satu cara mengalahkan Ahok adalah menghadirkan calon kuat. Sejumlah nama muncul mulai dari Sandiaga Uno, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, mantan Mendikbud Anis Baswedan, Yusril Ihza Mahendra, Sekda DKI Saefullah dan sebagainya. Meski kalah secara elektabilitas, duet para bakal calon ini diyakini bisa menjungkalkan mantan bupati Belitung Timur itu.
-
Siapa saja caleg petahana yang gagal di Pemilu? Sederet petahana calon legislatif (caleg) yang sempat menimbulkan kontroversi di DPR terancam tak lolos parlemen pada Pemilu 2024. Hal itu diprediksi dari rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pemilu 2024 tingkat nasional yang telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
-
Apa saja faktor yang mempengaruhi hasil pemilu? Hasil pemilu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks dan bervariasi tergantung pada konteks politik suatu negara. Beberapa faktor yang umumnya dapat memengaruhi hasil pemilu meliputi: 1. Kandidat dan Partai Politik, 2. Isu Pemilu, 3. Faktor Ekonomi, 4. Media Massa, 5. Partisipasi Pemilih, 6. Sistem Pemilu, 7. Peraturan Pemilu, 8. Sentimen Publik, 9. Dukungan Elektoral, 10. Perubahan Demografis.
-
Siapa yang dipilih di Pilkada? Pilkada adalah proses pemilihan demokratis untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.
-
Apa penyebab perselisihan hasil pemilu? Perselisihan hasil pemilu merujuk pada ketidaksepakatan atau konflik yang timbul terkait dengan proses pemilihan umum.
-
Apa yang membuat Prabowo unggul? Survei yang selesai mereka lakukan pada 6 Februari atau delapan hari jelang pemungutan suara itu menemukan bahwa elektabilitas Prabowo-Gibran sebesar 53,5 persen. Pasangan tersebut unggul telak dibanding dua kompetitornya, Anies-Muhaimin yang elektabilitasnya 21,7 persen dan Ganjar-Mahfud dengan tingkat keterpilihan 19,2 persen.
"Kita sedang menyiapkan poros baru. Yusril-Risma atau Yusril-Saefullah. Kami yakin Ahok bisa kalah," kata Wakil Ketua Dewan Pembina Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Aziz ketika berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, peneliti senior LIPI Siti Zhuro mengatakan, naik turunnya elektabilitas ataupun popularitas petahana adalah hal biasa. Sejauh bakal calon belum mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), tinggi rendahnya elektabilitas tidak akan berpengaruh secara signifikan atau menentukan sikap pemilih.
"Fluktuatif itu biasa bagi petahana. Kalau sudah kampanyenya naik turun di survei itu baru bisa dipercaya," kata Siti kepada merdeka.com.
Petahana bukan segalanya
Berkaca pada pemilu 2012 lalu, ada hal tertentu yang bisa menjadi biang kerok kekalahan petahana. Hal itu dialami pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli saat dikalahkan pasangan Jokowi-Ahok. Status petahana, elektabilitas dan popularitas yang tinggi bukan ukuran segalanya.
"Kalau program lebih baik ya pasti orang akan pilih itu. Kita kembalikan saja pada Pilkada 2014," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz.
Menurut dia ada tiga aspek yang dapat mengalahkan Ahok yakni head to head, pesaing yang programatik dan komunikasi yang tidak reaksional.
Pertama, jika head to head, prosesnya bisa terjadi dua arah. Misalkan ramai dulu baru berkumpul lawan Ahok. "Seperti sekarang ini kan. Ramai tapi nanti ada calon yang mengerucut," jelas dia.
Sementara untuk syarat kedua, kata Masykurudin, pesaing kuat harus datang dari mantan atau kepala daerah yang terbukti berhasil menyelesaikan persoaln daerah dan mengatur atau mereformasi birokrasi. Sedangkan syarat ketiga adalah calon yang tidak reaksional.
"Karena kita tahu, petahana itu bisa lawan dengan cara sepadan oleh orang yang punya perilaku baik dan program menata atau menyelesaikan masalah Jakarta," kata Masykurudin.
Tipikal pemilih Jakarta
Masykurudin dan Siti sama-sama yakin pemilihan di Jakarta tidak lagi dipengaruhi oleh SARA. Meskipun isu itu tetap ada, pemilih sudah bisa membedakan pilihannya berdasarkan program-program kandidat pada saat kampanye.
Siti membedakan tiga tipikal pemilih di Jakarta yakni, pemilih rasional, tradisional dan pemilih mengambang atau massa cair. Untuk pemilih rasional, jumlahnya diyakini lebih banyak karena faktor ibu kota dengan akses yang mudah seperti kampus dan media massa.
Sementara pemilih tradisional adalah pemilih yang berlatar kesukuan dan kepartaian. Kecenderungan mereka adalah latar belakang dan ikatan kepada partai. Dan jumlah pemilih ini diyakini Siti sebesar 6 persen di Jakarta.
"Pemilih tradisional itu masih banyak dimiliki parpol seperti PDIP, termasuk PKS. Itu jangan diabaikan lho, masih 6-7 persen," kata Siti.
Yang perlu diwaspadai menurut Siti adalah pemilih tipe mengambang. Pemilih ini rata-rata berasal dari kalangan menengah ke atas yang cenderung berhalangan atau secara sadar tidak menggunakan hak pilihannya (golput) pada saat pemilihan.
"Mereka ini bukan pemilih bodoh. Mereka itu edukatif, menengah ke atas dan ogah atau susah ke TPS," jelas dia.
Jumlah pemilih tipe massa cair atau mengambang diperkirakan 30 persen jika merujuk pada pemilihan 2014 lalu. Jika tidak diwaspadai oleh para calon ataupun parpol pengusung, kemungkinan besar suara pemilih akan berkurang.
"Kenapa jumlah masih besar ya karena tidak ada penalti seperti di Australia," kata Siti.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Gerindra merespons soal elektabilitas Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jakarta masih kalah dari Anies
Baca SelengkapnyaHasan Nasbi: Kalau Ada Hubungan Bansos Dengan Keterpilihan, Anies Tak Bisa Lawan Ahok
Baca SelengkapnyaAnalis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensat) juga menyoroti sejarah soal kuatnya basis akar rumput di Jakarta.
Baca SelengkapnyaAlasan Ahok mengundurkan diri dari jabatan Komisaris Utama PT Pertamina agar fokus kampanye mendukung Ganjar-Mahfud dalam Pilpres 2024.
Baca SelengkapnyaTKN Prabowo-Gibran membela Presiden Jokowi yang disebut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak bisa bekerja.
Baca SelengkapnyaHabiburokhman yakin rakyat lebih memihak Jokowi dibanding Ahok.
Baca SelengkapnyaYusril pun membandingkan pasangan calon lain yang juga didukung oleh tokoh-tokoh berpengaruh lain.
Baca SelengkapnyaKubu Prabowo Gibran saat ini tengah mempersiapkan diri untuk pencoblosan 14 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaRidwan Kamil-Suswono yang diusung koalisi gemuk, kemudian Pramono Anung dan Rano Karno calon dari PDIP.
Baca SelengkapnyaJakarta ke depannya akan berhubungan dengan rezim Prabowo Subianto.
Baca SelengkapnyaAhok mengatakan, Presiden Jokowi dan Cawapres Gibran Rakabuming Raka tidak bisa bekerja.
Baca SelengkapnyaAhok melihat keberadaan Kang Emil akan membuat kader Gerindra sulit untuk menangan di Tanah Pasundan
Baca Selengkapnya