Beribu keruwetan untuk 8.000 Hektar lahan
Merdeka.com - Berbuat atau tidak berbuat
Berbuat berisiko
Tidak berbuat tidak beresiko
-
Kenapa batik tulis Kebon Indah makin berkembang? Sentra batik tulis Kebon Indah misalnya, yang mengalami peningkatan produksi terutama setelah dibantu oleh program permodala Kredit Usaha Rakyat atau KUR.
-
Dimana pabrik itu akan dibangun? Arkeolog di Jepang menemukan timbunan sekitar 100.000 koin di Kota Maebashi, sekitar 100 kilometer barat laut Tokyo.
-
Kenapa pupuk diolah di Dusun Kalisoro? Sigit Aris dan warga di Dusun Kalisoro memilih mengolah pupuk karena bahannya cukup melimpah dan murah. Selain itu mereka juga punya lahan kosong yang bisa digarap.
-
Apa komoditi perkebunan yang dibudidayakan? Masa kolonial Belanda di Indonesia banyak ditemui berbagai macam perkebunan milik swasta yang menjadi sumber penghasilan yang begitu besar saat itu. Sebut saja Tembakau dan Karet, dua komoditi ini harganya tinggi di pasaran.
-
Kenapa Pabrik Kesono memilih Desa Kesono? Keluarga Bin Martak sengaja memilih Desa Kesono sebagai lokasi pendirian pabrik tenun karena berdekatan dengan salah satu sumber air terbaik pada zaman Hindia Belanda.
-
Bagaimana Pabrik Kesono berkembang? Saat semakin berkembang, pabrik ini punya PLTA dari sungai yang tak jauh dari pabrik.
Berbuat?
Tidak perlu berbuat?
***
Berbuat atau tidak berbuat. Itulah yang harus diputuskan untuk mengurai kekusutan lahan perkebunan BUMN 8.000 hektar di Medan. Sudah bertahun-tahun lahan itu diduduki orang. Ribuan rumah permanen berdiri di atas lahan itu. Tiap hari jumlahnya bertambah. Tanpa bisa dicegah.
Dari 8.000 hektar itu yang jadi rumah sudah mencapai 4.000-an hektar. Tapi karena rumah-rumah tersebut bertebaran letaknya, tanah kosong yang kalau dijumlah masih 4.000 hektar tidak bisa dikuasai juga.
Secara hukum tanah itu milik PTPN II (Persero). Tapi kenyataannya penuh dengan masalah. Ribuan kasus hukum terjadi di situ. Inilah profil wilayah perkebunan yang terus terdesak oleh perkotaan. Inilah perkebunan yang sudah tidak ada kebunnya. Inilah perkebunan yang sudah lebih banyak rumah ilegalnya daripada pohon sawitnya.
Di zaman Belanda perkebunan ini memang berada di luar kota Medan. Jumlah penduduk Medan yang sedikit saat itu tidak menjadi ancaman sama sekali. Kian lama penduduk terus bertambah. Kemiskinan juga meluas. Maka pada zaman kegembiraan kemerdekaan sebagian wilayah kebun ini ikut "merdeka". Ribuan hektar berubah jadi pemukiman dadakan.
Sekian tahun kemudian jumlah penduduk terus meledak. Kemiskinan juga kian besar. Pada pergolakan tahun 1965, terjadi hal yang sama. Ribuan hektar lagi berubah wujud. Ledakan jumlah penduduk tidak pernah berhenti. Kota Medan terus diperluas.
Pada zaman riuhnya reformasi tahun 1998, sekian ribu hektar lagi berubah pula menjadi pemukiman tiba-tiba. Sampai hari ini, desakan penduduk ke wilayah perkebunan ini terus terjadi. Rumah baru terus bertambah. Pohon sawit yang masih hidup disiram minyak. Agar mati pelan-pelan. Agar ada alasan untuk ditebang. Lalu diduduki. Didirikan rumah. Gerakan seperti itu nyaris masif, sistematis, dan terstruktur.
Pelanggaran itu sebenarnya sering diadukan, tapi proses bertambahnya kasus lebih cepat dari penyelesaiannya. Misalkan dilakukan tindakan keras, yang melawan lebih besar dari jumlah petugas. Tidak lama lagi sisa tanah 4000 hektar itu pun akan terus menyusut. Sekarang pun soal ini sudah rumit, tapi kalau tidak diselesaikan akan lebih rumit lagi.
Berbuat atau tidak berbuat? Aset BUMN (PTPN II) itu perlu diselamatkan atau tidak? Haruskah pendudukan itu dibiarkan? Sudah berapa tahun "pembiaran" itu dilakukan? Rasanya memang lebih aman membiarkannya daripada mengurusnya. Tapi untuk apa ada pemerintah?
Maka saya minta direksi PTPN II untuk mencari jalan terbaik. Memang penuh risiko, tapi cobalah berbuat sesuatu. Agar bom ini akan meledak. Tinggal tunggu waktu. Saya menyadari tugas itu tidak mudah. Risikonya luar biasa: bisa masuk penjara, bahkan kehilangan nyawa.
Satu hal yang sudah pasti: kawasan yang sudah masuk kota Medan itu tidak mungkin lagi dikembalikan menjadi areal perkebunan. Pasti tidak akan pernah bisa panen. Bahkan sudah tidak rasional. Perkebunan kok di dalam kota. Mengusir ribuan rumah permanen itu juga hil yang mustahal. Bisa terjadi revolusi.
Mereka memang tidak akan pernah bisa mendapat sertifikat tanah. Tapi kenyataannya mereka sudah bisa mewariskannya dan memperjualbelikannya.Yang lebih pasti lagi: pemerintah sudah melarang kawasan itu untuk jadi perkebunan. Tata ruangnya sudah berubah.
Berbuat atau tidak berbuat? Saya putuskan untuk berbuat. Bisa saja kelak saya difitnah telah melepaskan tanah 8.000 hektar di tengah-tengah kota Medan yang mahal. Bisa saja kelak saya dianggap korupsi di situ. Bisa saja kelak saya dianggap salah dalam memutuskan soal ini dan harus masuk penjara.
Berbuat atau tidak berbuat? Saya putuskan untuk berbuat. Tapi saya minta prosesnya seterbuka mungkin. Sebersih mungkin. Sebaik mungkin. Hasilnya pun nanti harus untuk beli lahan perkebunan. Yang luasnya melebihi 8.000 hektar. Untuk menambah luasan kebun PTPN II yang kini masih tersisa 43.000 hektar.
Idenya pun ditemukan. Kawasan 8.000 hektar yang ruwet itu akan dijadikan kota baru Medan. Namanya terserah. Seperti BSD di Jakarta. Toh kota Medan perlu perluasan. Perencanaan kotanya harus bagus dan profesional. Jangan jadi pusat kekumuhan baru. PTPN II tidak mungkin mengerjakannya sendiri. Harus cari partner. PTPN II hanya ahli di perkebunan. Bukan ahli tata kota. PTPN II juga tidak punya kemampuan bagaimana mengurus ribuan rumah ilegal yang menguasai 4.000 hektar itu.
Partner itulah yang dicari selama setahun terakhir ini. Lewat tender terbuka. Bisa diikuti siapa saja. Dalam proses tender ini lembaga seperti BPKP dan Kejaksaan Agung kami minta fatwanya. Takut prosesnya salah. Atau kurang fair.
Di ujung proses tender ini, seperti dilaporkan Dirut PTPN II Bhatara Moeda Nasution, ada tiga perusahaan yang lolos: PT Danayasa Tbk dari grup Artha Graha, PT Pancing Medan, dan PT Ciputra Tbk dari grup Ciputra. Seluruh proses ini terjadi dan dilakukan di Medan. Menteri atau pejabat Kementerian BUMN tidak ikut campur sama sekali. Hasil akhirnya: Ciputra yang menang. Tugasnya berat. Termasuk mengurus yang ribuan rumah itu dengan cara yang baik.
Begitulah. Sebuah kota baru yang indah dan besar akan lahir di Medan. Ini kalau proses tersebut bisa diterima. Justru karena itulah proses ini saya ungkap saja secara terbuka sekarang. Mumpung masih bisa dibatalkan. Siapa tahu ada yang berpendapat lebih baik saya tidak usah berbuat apa-apa. (mdk/arr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Para Petani kecewakan terhadap Gubernur Jambi yang tidak ada dikantornya.
Baca SelengkapnyaPemerintah masih bersengketa dengan warga yang ingin menetap dan enggan meninggalkan wilayah IKN.
Baca SelengkapnyaWarga di berbagai daerah terpaksa mencari air di dalam hutan yang jaraknya mencapai satu kilometer dari desa mereka.
Baca SelengkapnyaPenembakan peluru karet itu telah sesuai prosedur setelah dilakukan imbauan dan tembakan gas air mata.
Baca SelengkapnyaRetakan tampak membentang sejauh sejauh 480 meter dengan kedalaman mencapai 12 meter.
Baca SelengkapnyaPetani di Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi terpaksa harus mengambil air dari kubangan sumur sedalam dua meter yang ia gali sendiri.
Baca SelengkapnyaPuluhan lahan pertanian transmigrasi di Kalimantan Utara terendam banjir akibat pasang air laut.
Baca SelengkapnyaPersawahan di Rorotan, Cilincing sepi aktivitas petani lantaran kering total.
Baca SelengkapnyaBanjir berasal dari luapan air Kali Pesanggarahan. Ini disebabkan tumpukan sampah di TPA Cipayung yang longsor ke kali.
Baca SelengkapnyaBantuan 40 ribu liter air bersih yang dibagikan kepada ratusan warga itu langsung habis dalam waktu satu jam.
Baca SelengkapnyaProses pemadaman hingga kini terus masih dilakukan
Baca SelengkapnyaHampir seluruh konflik tanah yang terjadi di Indonesia bermuara pada persoalan 6,4 juta hektare lahan itu.
Baca Selengkapnya