Penderitaan itu Pedih Jenderal
Merdeka.com - "Penderitaan itu pedih jenderal, pedih. Coba rasakan sayatan silet ini, juga pedih tapi tidak sepedih penderitaan rakyat," kata seorang perempuan. Dia pun mulai menyayatkan silet itu pada wajah Mayjen Soeprapto.
Kisah penyiksaan para jenderal ini menjadi warna dalam Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer. Film yang wajib ditonton setiap 30 September di era Orde Baru ini mengisahkan penyiksaan yang dilakukan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) kepada para jenderal.
Setelah PKI ditumpas oleh pasukan Soeharto, disebarluaskan propaganda jika Gerwani merupakan gerakan yang mewakili PKI. Semua pimpinan Gerwani yang berhubungan dengan PKI pun ditangkap, disiksa dan diperkosa.
-
Kapan G30S/PKI terjadi? 'Jumlah pasukan yang ikut gerakan ini sangat kecil. Kodam Jaya punya 60.000 prajurit, 20 kali lebih banyak dari pasukan yang ikut G30S.
-
Bagaimana pasukan G30S/PKI dikalahkan di Jawa Tengah? Gerakan Tank dan Panser TNI AD ini Meruntuhkan Moril Pasukan Yang Dipengaruhi Kolonel Sahirman Banyak pasukan yang awalnya mendukung Dewan Revolusi memilih meninggalkan pos mereka tanpa perlawanan. Begitu juga pasukan yang disiapkan untuk menjaga Makodam Diponegoro. Mereka mundur tanpa perlawanan sama sekali.
-
Siapa yang memimpin PKI saat peristiwa G30S PKI? Di mana peristiwa ini dilancarkan oleh PKI yang saat itu dipimpin Dipa Nusantara (DN) Aidit dan Pasukan Cakrabirawa di bawah kendali Letnan Kolonel Untung Syamsuri.
-
Kapan peristiwa G30S PKI terjadi? Sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 1975, G30S PKI adalah peristiwa pengkhianatan atau pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan atau pengikut-pengikutnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 30 September 1965, termasuk gerakan atau kegiatan persiapan serta gerakan kegiatan lanjutannya.
-
Kenapa para jenderal diculik? Para Jenderal Angkatan Darat dituding sebagai Dewan Jenderal, mereka tidak loyal dan berniat mengkudeta Presiden Sukarno.
-
Apa yang dilakukan CIA dalam peristiwa G30S/PKI? 'Kami Tidak Menciptakan Ombak-Ombak itu. Kami Hanya Menunggangi Ombak-Ombak itu ke Pantai Itu adalah kalimat yang diucapkan Duta Besar AS untuk Indonesia era 1965-1969, Marshal Green.Green menjawab pertanyaan itu di sebuah rapat rahasia Senat AS. Seorang senator bertanya apakah AS dan CIA terlibat dalam peristiwa kudeta yang terjadi di Indonesia tahun 1965?
Apakah para jenderal mengalami penyiksaan sebelum dibunuh? Salah seorang saksi hidup peristiwa itu, Rudianto Nurhadi sedikit membeberkan. Menurut anak ketiga Mayjen Mas Tirtodaro Haryono, sang ayah diberondong puluhan peluru dalam kamar pribadinya. Setelah Haryono dipastikan tewas, pasukan Cakrabirawa menyeret jenazah dan diangkut ke Lubang Buaya.
"Ayah saya melawan tapi tak pegang senjata karena ayah saya tak pernah pegang senjata doi rumah. Dia dalam posisi tak bersenjata, waktu melawan dihabisi di dalam rumah, dalam kamar pribadi," cerita Rudianto kepada merdeka.com awal pekan ini.
Diorama penyiksaan PKI di Monumen Lubang Buaya (c) 2013 Merdeka.com/imam buhori
Lalu bagaimana dengan jenderal lainnya, terutama adanya kabar para jendral ada yang disilet-silet dan dipotong alat kelaminnya. Pada 4 Oktober 1965, Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah kepada lima dokter untuk melakukan visum et repetum.
Mereka adalah dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK UI), dr. Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI), dan dr. Liem Joe Thay (atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI).
Ketika diperiksa, ketujuh mayat telah dalam keadaan membusuk dan diperkirakan tewas empat hari sebelumnya. Menurut mereka, ketujuh perwira tinggi dan pertama Angkatan Darat ini tewas mengenaskan dengan tubuh dihujani peluru dan tusukan. Sementara itu, sebagian besar hasil visum et repetum menyatakan adanya kekerasan berupa terkena benda tumpul di tengkorak dan bagian tubuh lainnya.
Sejarahwan LIPI, Asvi Warman Adam sedikit menyangsikan hasil visum ini. Menurut dia, para jenderal tidak mengalami penyiksaan sebagaimana dipropagandakan Orde Baru. Pendapat Asvi ini merujuk pada makalah pakar politik Indonesia dari Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson dalam jurnal Indonesia edisi 1987.
"Mereka ada yang tertembak di rumahnya, ada juga yang dibunuh di Lubang Buaya. Itu tidak terbantahkan lagi," kata Asvi ketika berbincang dengan merdeka.com di Jakarta, Kamis (29/9).
Monumen Lubang Buaya (c) Wikimedia Commons/Chris Woodrich
Menghindari istilah adanya penyiksaan, kata Asvi, luka karena benda tumpul yang terjadi di kepala dan bagian tubuh para jenderal kemungkinan besar disebabkan oleh tubuh mereka pasca dimasukan ke dalam lubang maut. "Bahwa ada yang kena benda tajam. Tapi apakah itu terantuk waktu di Lubang Buaya kan bisa saja," jelas dia.
Berbeda dengan Letjen Ahamad Yani dan Brigjen D.I Panjaitan yang dibunuh di rumahnya, Mayjen Soeprapto tewas setelah tiba di Lubang Buaya. Soeprapto sendiri kala itu disebut mengalami pinyiletan di alat kelamin dan wajahnya. Dalam visum versi Orde Baru, ditemukan luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka Soeprapto.
Ben Anderson tidak menemukan adanya sayatan pada alat kelamin dan wajah Soeprapto. Hal ini tentu berbeda dengan hasil visum yang sempat ditulis Orde Baru yang ditulis dalam Harian Berita Yudha 9 Oktober 1965.
Propaganda Gerwani
Surat kabar Berita Yudha 11 Oktober 1965 lah yang memberitakan pertama kali tentang keadaan mayat para jenderal ketika ditemukan di dalam sumur. Kabar ini justru berlainan dengan apa yang dinyatakan dalam otopsi. Surat kabar itu menulis bahwa mata para jenderal telah dicungkil dan alat kelamin beberapa jenderal telah dipotong.
Berita lain juga menulis tentang perempuan-perempuan (Gerwani) yang menari-nari dengan telanjang, dan beberapa gadis remaja melakukan permainan seksual dengan para jenderal. Propaganda pun terus menerus dilancarkan, termasuk slogan 'Gerwani Tjabo (pelacur), Gantung Gerwani, dan Ganyang Gerwani.
Surat kabar Berita Yudha merupakan media yang diterbitkan oleh militer kala itu. Diterbitkan 9 Februari 1965 dengan mengakuisi koran Berita Indonesia, dinyatakan oleh Men/Pangad Letjen TNI A. Yani untuk membendung dominasi propaganda komunis.
Poster film propaganda G30S PKI (c) merdeka.com
Koran tersebut diterbitkan sebagai rencana mereka mengucilkan pihak komunis dalam arena informasi. Sebab sebelumnya PKI selalu diuntungkan lewat kebijakan pers yang dikeluarkan Presiden Soekarno.
Menurut Asvi, kampanye itu adalah salah satu cara untuk menyudutkan kelompok kiri termasuk Gerwani. Tujuannya, kata dia agar menimbulkan kemarahan di masyarakat terhadap setiap pendukung ideologi komunisme.
"Buahnya (dari kampanye itu) ada pembantaian lanjut di masyarakat," kata Asvi.
Korban dari kampanye setelah peristiwa malam jahanam di kisaran 500 ribu hingga tiga juta orang di seluruh Indonesia. Nyaris seluruhnya tidak pernah terbukti bersalah melakukan makar. Dan mereka yang terbunuh menanggung dosa ganda, atas tudingan terlibat pembunuhan, bahkan penyiksaan, para jenderal di Lubang Buaya.
Baca laporan khusus lain merdeka.com atas peristiwa Gestok 1965:
Kisah cinta Letnan Pierre Tendean-Rukmini yang berakhir piluLonceng kematian untuk jenderal pendukung Gerakan 30 SeptemberKeluh kesah korban tragedi 65, dicueki pemerintah diintai intelKorban minta tragedi 65 ditindaklanjuti atau Indonesia dicap buruk'Kami korban tragedi 65 dianggap seperti teroris'Lagi, Jokowi diharap minta maaf terhadap korban tragedi '65Ini 10 kejahatan kemanusiaan pemerintah dalam tragedi 65 versi IPTIPT nyatakan Indonesia bersalah lakukan pembantaian massal 1965 (mdk/ard)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Agen Polisi Sukitman terkejut. Sumur sudah tak ada lagi, dan banyak gundukan tanah seperti kuburan di Lubang Buaya.
Baca Selengkapnya1 Oktober 1965, pukul 03.00 WIB, belasan truk dan bus meninggalkan Lubang Buaya. Mereka meluncur ke Pusat Kota Jakarta untuk menculik tujuh Jenderal TNI.
Baca SelengkapnyaBrigjen Soepardjo adalah tentara paling tinggi yang terlibat langsung penculikan para jenderal saat G30S/PKi.
Baca SelengkapnyaSimak foto langka suasana di Jakarta usai tragedi G30S. Banyak tank berkeliaran memburu anggota PKI.
Baca SelengkapnyaTangis kesedihan pecah saat pemakaman Kapten Pierre Tendean korban peristiwa G30S PKI.
Baca SelengkapnyaSebuah video memperlihatkan potret istri 6 jenderal dan kekasih 1 perwira yang gugur dalam peristiwa pemberontakan G30S.
Baca SelengkapnyaSoekarno yang mendengar isu Dewan Jenderal ini lantas berniat untuk menghadirkan para jenderal ke Istana.
Baca SelengkapnyaPeringatan 1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila dimaksudkan untuk mengenang kembali sejarah dalam mempertahankan ideologi bangsa.
Baca SelengkapnyaIndonesia tengah memperingati peristiwa kelam Gerakan 30 September oleh PKI.
Baca SelengkapnyaDoel Arif adalah komandan Pasopati dalam G30S/PKI. Perintah tangkap hidup atau mati datang darinya.
Baca SelengkapnyaBanyak faktor menjadi penyebab kegagalan pasukan G30S, siapa sangka salah satunya adalah soal logistik.
Baca Selengkapnya