Panen rezeki dari parkir kuda besi
Merdeka.com - Ratusan motor berderet rapi di salah satu tempat penitipan di kawasan Stasiun KA Tebet, Jakarta Timur. Dua petugas, Ateng (43) dan Angga (40) terlihat sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk tiap menitnya. Setelah membayar sesuai tarif, pemilik motor meninggalkan parkiran tanpa takut kehilangan kendaraan mereka.
Lahan parkir yang dijaga Ateng dan Angga sekitar duapuluh meter jaraknya dari Stasiun KA Tebet. Padahal, di depannya sebuah parkiran tersedia di dalam areal Stasiun Tebet. Diakui keduanya, parkiran itu tak pernah sepi.
Bisnis lahan parkir menjadi potret umum yang sudah menjamur di wilayah Jakarta. Hampir di setiap sudut, pengguna kendaraan bermotor menemui tukang-tukang parkir yang berseliweran. Bisa dikatakan, wilayah ibu kota tak satu pun yang gratis. Tempat-tempat umum yang seharusnya bebas dari parkiran liar dialihfungsikan sebagai tempat meraup untung.
-
Siapa yang membentuk tukang parkir resmi di Jakarta? Pemerintahan DKI Jakarta mengambil kebijakan tegas dengan membentuk tukang parkir resmi yang ditugaskan untuk mengawasi dan mengatur kendaraan yang berhenti untuk parkir di kawasan pusat perkotaan maupun keramaian.
-
Mengapa tukang parkir resmi dibentuk di Jakarta? Semakin tingginya pertumbuhan kendaraan di era 1960-1970-an, membuat kebutuhan lahan untuk berhenti sementara kendaraan alias parkir semakin berkurang.
-
Bagaimana cara petugas menjaga ketertiban? Dengan tetap mematuhi aturan yang berlaku dan tidak membuat kerusuhan selama menyampaikan pendapatnya. 'Hindari keributan maupun benturan dengan pendemo lainnya. Mari kita jaga kedamaian dan ketertiban,' imbuhnya.
-
Bagaimana tukang parkir resmi dilatih di Jakarta? Calon pegawai parkir juga akan dibekali pelatihan teknis dan non teknis.
-
Kapan tukang parkir muncul di Jakarta? Sejumlah sumber menyebut jika kehadirannya berlangsung pada tahun 1950-an, ketika warga Jakarta mulai mampu membeli kendaraan.
-
Bagaimana polisi minta uang? Ia menawarkan Rp 200 ribu, kemudian Rp 500 ribu. Hanya, uang tersebut dianggap kurang. Permintaan Rp 1 juta tidak ia penuhi.
Salah satu lokasi yang kerap ditemui adalah lahan parkir di dekat stasiun-stasiun Kereta Api seperti yang dikelola Ateng dan Angga. Meski setiap stasiun disediakan lahan parkir, namun pengguna Commuter Line (CRL) dan Kereta Api masih mengandalkan lahan parkir berbayar.
Keberadaan lahan parkir ini diakui sangat membantu sekaligus sebagai solusi oleh kurangnya lahan parkir. Warga hanya cukup membayar sesuai tarif lalu kemudian menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada pengelola lahan parkir.
"Tarif parkir di dalam per jam. Kalau dihitung-hitung sangat mahal jika tiap hari, apalagi untuk ukuran mahasiswa seperti saya," ungkap Reno kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Reno merupakan salah satu pengguna jasa lahan parkir di sekitar Stasiun KA Tebet, Jakarta Timur. Tiap bulannya, Reno cukup membayar Rp 130 ribu kepada tukang parkir. Dibanding tarif per jam di dalam parkiran stasiun, Reno dan pengguna Commuter Line merasa sangar terbantu oleh adanya tempat penitipan motor. Harga sewa murah dan kendaraan mereka aman terjaga. "Di sini bayarannya murah dan sangat membantu," lanjut Reno.
Usaha lahan parkir Ateng dan Angga sudah berjalan dua tahun lebih. Lahan parkir dulunya merupakan bekas kantor sebuah organisasi. Karena sudah tidak digunakan lagi, Ateng pun berinisiatif menyewa lahan sebesar Rp 480 ribu tiap harinya. Untuk setiap motor dikenakan tarif Rp 5.000. Harga sewa itu mulai berlaku hingga pukul 24.00 WIB.
"Tarif itu juga tidak tentu meski kami pasang tarif Rp 5.000 hingga mereka pulang nantinya," kata Ateng.
Awetnya bisnis parkiran ini tak lepas adanya 'kerja sama' dengan petugas. Seperti diakui Ateng, tiap bulannya mereka menyetor kepada petugas, baik dari kepolisian maupun dari Dinas Perhubungan DKI. Setoran ini tentu menjadi pelicin meski tidak ada keharusan. "Kalau untuk polisi kami bayar Rp 150 tiap bulan, sedangkan untuk Dishub Rp 25 ribu setiap hari,".
"Awalnya tidak ada tapi setelah tempat ini ramai petugas masuk ke sini. Biasalah..." katanya.
Meski memberikan jatah kepada petugas, Ateng mengaku tidak merasa ada yang membekingi pekerjaannya. Dia tidak khawatir usahanya akan ditutup.
"Sejauh saya yakin tidak mengganggu lalu lintas saya akan tetap bekerja. Lagian di sini baik kok, tidak ada masalah," tuturnya.
Lahan yang dijaga Ateng dan Angga ini terdiri dari dua tempat. Satu di depan rumah berukuran 10x10 meter persegi dan satunya lagi di lantai atas dengan ukuran 5x5 meter persegi. Menurut Ateng, lahan itu bisa menampung hingga 200 motor tiap harinya. Diakui Ateng, lahan itu bisa meraup untung Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta tiap harinya.
"Kalau sepi ya bisa dapat segitu tapi kadang juga bisa dibawahnya," jelas pria yang pernah menjadi kuli bangunan ini.
Merdeka.com selanjutnya mendatangi kawasan Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat. Di stasiun ini terdapat beberapa lahan parkir yang dikelola warga setempat. Selain lahan milik warga, tukang parkir menggunakan areal bawah jembatan layang tempat rel kereta api melintas di kawasan Kebon Sirih ini.
Menurut Izul, Ketua RT 05 RW 07, Kelurahan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, lahan parkir itu rata-rata dikelola oleh warga yang notabene pengangguran. Mereka memanfaatkan areal di bawah jalan layang karena daya tampung parkiran di dalam kawasan Stasiun Gondangdia kerap tak cukup.
"Tidak dibolehkan sebenarnya karena itu merupakan jalan umum asal yang kelola adalah warga dari sini juga. Tidak ada setoran ke RT/RW. Hasilnya untuk mereka," kata Izul ketika berbincang dengan merdeka.com kali lalu.
Sama halnya dengan lahan parkir yang dikelola Ateng dan Angga di Stasiun Tebet, lahan di kawasan ini memasang tarif Rp 5.000 untuk tiap kendaraan roda dua. Harga itu berlaku untuk satu hari penuh selama pemiliknya menitipkan kendaraan kepada penjaga parkiran.
"Ada yang kasih lebih jika sudah jauh malam. Mereka biasanya mengerti dengan kita," terang Adi (50), salah seorang penjaga lahan parkiran.
Adi dulunya termasuk penjaga lahan di Stasiun Gondangdia. Namun setelah lahan yang dijaganya sudah menjadi RPTRA, Adi kemudian mengelola lahannya sendiri. Lahan itu merupakan bagian dari sebuah rumah yang luasnya tidak seberapa. Adapun kendaraan yang dititipkan kepada Adi adalah mereka yang sudah mengenalnya di lahan terdahulu.
"Kalau motor yang masuk ke sini umumnya karena sudah saling kenal. Mereka bisa menitip beberapa hari kepada saya," kata Adi.
(mdk/ary)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dalam mencari tempat parkir mobil tak boleh asal-asalan
Baca SelengkapnyaMasyarakat menilai layanan parkir harus tersedia gratis bagi konsumen.
Baca SelengkapnyaJika tidak diberi, para pelaku akan berbuat kasar, mulai marah hingga merusak truk. Hal ini membuat sopir ketakutan.
Baca SelengkapnyaSeorang sopir truk yang melintas di kawasan Jalan Raya Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat merekam banyaknya aktivitas pungli.
Baca SelengkapnyaGelar Penertiban, Dishub DKI Beberkan Cara Membedakan Juru Parkir Liar dan Resmi
Baca SelengkapnyaPemilik tanah biasanya akan merekrut seorang juru parkir untuk dipekerjakan dalam usahanya.
Baca SelengkapnyaAB memang sengaja mengincar para sopir truk yang berhenti di pinggiran jalan Daan Mogot.
Baca SelengkapnyaKapolda Jateng yang pasang badan terhadap tukang parkir yang teraniaya. Ia menegaskan polisi bertugas untuk mendidik tukang parkir.
Baca SelengkapnyaWajah si tukang parkir begitu bahagia ketika diberi izin untuk berfoto dengan motor besar yang terparkir.
Baca SelengkapnyaPatroli dilakukan ke sejumlah lokasi di wilayah Sukabumi dengan tujuan memberi rasa aman
Baca SelengkapnyaRAT mengakui jika salah seorang petugas Dishub Medan meminta martabak ke pedagang melalui dirinya.
Baca SelengkapnyaBukan untuk ditilang sopir ini mendapat peringatan. Di balik peristiwa itu, terdapat sebuah fakta yang berhasil diungkap dan menyentuh hati.
Baca Selengkapnya