Strategi Harga Murah Mobil China di Indonesia: Gimmick Sesaat atau Keberhasilan Manufaktur?
Pasar otomotif Indonesia semakin disesaki merek otomotif asal China. Jadi pesaing baru bagi merek otomotif Jepang dan Korea, yang dominan.
Mobil China bukan murah, tapi kini berteknologi tinggi.
Menyoal Strategi Harga Jual Murah Mobil China: Gimmick Sesaat?
Pasar otomotif Indonesia semakin marak dengan kedatangan merek-merek asal China.
Setelah Neta resmi meluncurkan mobil listrik Neta V pada akhir Oktober lalu, maka tahun depan diyakini jadi hari resmi kehadiran mobil China lainnya: Great Wall Motor (GWM) yang mengelola tiga merek sekaligus di Indonesia: Ora, Haval, dan Tank. GWM menggandeng grup besar: Indomobil Group untuk menaklukkan pasar otomotif indonesia.
Menariknya, produk-produk otomotif China berani penetrasi ke pasar dengan harga lebih murah dari produk Jepang bahkan Korea.
Straregi harga lebih murah dari Jepang ini dimulai sejak Wuling masuk ke Indonesia pada 2017 silam. Wuling menggebrak harga mobil Low MPV, dengan memasarkan Confero S mulai Rp 128,9 juta. Padahal Low MPV Jepang yang paling murah saja Rp 150 jutaan.
Strategi harga murah berevolusi di pasar otomotif RI hingga hari ini.
Akhir Oktober lalu, Neta Indonesia meluncurkan crossover listrik Neta V Rp 379 juta. Didaulat menjadi crossover listrik termurah di Indonesia.
Gelar EV termurah juga diraih model Wuling Air ev dan Seres dari DFSK. Harga jualnya mulai Rp 188 jutaan (EV mini).
Chery Indonesia juga menggebrak pasar mobil AWD dengan memasarkan Omoda 5 GT AWD. Harganya juga bikin kaget: Rp 488 jutaan.
Lebih murah ratusan juta dari mobil AWD asal Jepang, Subaru Crossytrek, yang dijual Rp 549 juta. Edan!
Berbagai sumber, diolah
Input Produksi Lebih Murah
Fithra Faisal, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), berpendapat pabrikan otomotif China ekspansi pasar ke Indonesia karena melihat potensi pasar otomotif yang secara jangka panjang memang tinggi permintaannya.
"Apalagi sektor industri otomotif menjadi leading indicator pertumbuhan ekonomi nasional, sebab berdampak ganda," ujar Fithra pada Merdeka.com.
Merek otomotif China secara head to head bersaing dengan merek otomotif Jepang dan Korea. Namun, mereka mendapat input produksi lebih murah, ditopang subdisi pemerintahnya.
"Sejak era Wuling, merek China cukup baik menggoyahkan dominasi Jepang.
Dengan strategi harga lebih murah, tapi kualitas produknya jauh lebih baik dari sebelumnya, ditopang subsidi, mobil China kini lebih kompetitif, tapi kualitas tidak kalah."
Penjelasan ekonom FEB UI Fithra.
Yang menarik, lanjutnya, merek otomotif China tidak bertempur lagi di mobil konvensional, melainkan ke mobil listrik (EV).
Model EV asal China cukup agresif dibanding Korea dan Jepang.
Pabrikan China mengincar ceruk konsumen menengah ke atas. Yang membutuhkan EV sebagai mobil ke-2 dan ke-3.
"Merek otomotif China berhasil membaca peluang itu di Indonesia."
Rantai Pasok Efisien
Saat berkunjung ke pabrik Chery di Wuhu, China, Oktober lalu, Merdeka.com melihat langsung rantai pasok dan produksi yang efektif. Selain penggunaan teknologi tinggi nan modern, yang secara biaya makin efisien.
Memanfaatkan fasilitas riset dan pengembangan (R&D) di seluruh dunia (China, Brasil, Amerika Serikat, dan Jerman), Chery dapat lebih mudah dan cepat memproduksi mobil sejak konsep dan desain awal produk. Ditopang fasilitas manufakur raksasa berteknologi tinggi, maka makin efisienlah merek otomotif China.
Shawn Xu, Vice President Chery International, menjelaskan Chery Intelligent Connected Mega Factory di Wuhu adalah wujud kemajuan teknologi Chery menerapkan kinerja AI, sehingga memiliki kapasitas produksi besar: 300.000 unit per tahun. Setiap satu jam produksi 60 unit.
Mobil China yang murah bukan hanya jadi perhatian di Indonesia, tapi juga di Eropa, terutama untuk segmen mobil listrik (EV). Produsen EV asal Eropa khawatir mobilnya tidak laku dan kalah bersaing dengan EV asal China.
Komisi Uni Eropa (UE) pun memulai investigasi.
Dianggap Proteksionis
Arenaev.com menulis, tindakan Uni Eropa (EU) yang membuat penyelidikan anti-subsidi terhadap
mobil listrik asal China telah direspons pemerintah China. Keputusan UE ini menganggap penyelidikan ini sebagai tindakan proteksionis.
Komisi UE percaya produsen otomotif China mendapat berbagai bentuk subsidi, termasuk hibah, pinjaman
preferensial dari bank-bank milik negara, pemotongan pajak, dan diskon. Subsidi ini dinilai menjadi alasan EV China dapat diimpor murah ke Eropa.
Penyelidikan ini diperkirakan selama 13 bulan.
Asosiasi pabrikan mobil China (CAAM) menegaskan, mobil listrik China sangat kompetitif dan tidak dilindungi subsidi. Tindakan UE dapat mengganggu rantai pasokan
otomotif global dan memperlambat perkembangan industri EV di seluruh dunia.
Menurut CAAM, penyelidikan UE tidak sesuai aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan tanpa bukti kuat. Dinilai melanggar hak-hak China karena periode konsultas sangat singkat dan tidak mampu memberikan bahan konsultasi memadai.
"Semua perdebatan ini menjadi menarik karena komisi UE menyelidikinya tanpa ada
komplain dari industri dalam negeri mereka," tulis CAAM.
Menurut Komisi UE: penjualan EV
China di Eropa meningkat menjadi 8% dan mencapai 15% pada 2025.
Lembaga riset Canalys memprediksi, ekspor mobil dari China mencapai 5,4 juta unit pada tahun ini. Sekitar 40% atau 2,2 juta unit adalah mobil listrik
https://canalys.com/newsroom/china-auto-export-in-2023.
Pasar EV Eropa 1,5 Juta Unit
Analis Canalys Alvin Liu menjelaskan, beberapa negara Eropa menggunakan penilaian jejak karbon untuk menentukan apakah mobil listrik memenuhi syarat untuk disubsidi (China).
Hal ini dapat menyebabkan mobil listrik impor dari China tidak memenuhi kriteria kelayakan, sehingga kehilangan daya saing harga jualnya.
Pada semester I 2023, penjualan EV di Eropa tumbuh 38% menjadi 1,5 juta unit.