Curhat Ibu di Makassar Dipalak Penyidik Uang Cukur & Pizza Saat Tanya Kasus Kekerasan Anaknya, Ini Kata Polisi
Kasus kekerasan sudah dilaporkan ibunda korban sejak April lalu tetapi hingga ini dia menilai berjalan lambat.
Kasus kekerasan sudah dilaporkan April 2023 lalu.
Curhat Ibu di Makassar Dipalak Penyidik Uang Cukur & Pizza Saat Tanya Kasus Kekerasan Anaknya, Ini Kata Polisi
Dugaan kekerasan dilakukan seorang terapis terhadap anak berkebutuhan khusus atau difabel inisial GF (4) di Makassar.
Kasus ini sudah dilaporkan orangtua korban sejak April 2023. Sayanya, selama lebih kurang delapan bulan berjalan kasus hanya jalan di tempat.
Sialnya lagi, FM (26) selaku orangtua korban malah dipalak seorang penyidik di Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Makassar. Permintaannya beragam, dimintai uang untuk mencukur rambut sampai membelikan pizza juga bensin.
"Kasus anak saya belum ada kejelasan, tapi justru itu penyidiknya minta dibayarkan cukurnya. Dia juga minta ketemu, karena dia mau membahas mengenai saksi yang mau dijadikan tersangka. Makanya dia minta ketemu berdua."
Kata FM, ibu korban kepada wartawan.
@merdeka.com
Kronologi
FM menceritakan kronologi saat oknum penyidik memintanya untuk membayarkan uang cukurnya. Saat itu, oknum penyidik meminta bertemu berdua di sekitar Jalan AP Pettarani untuk membahas soal pelaporan dugaan kasus penganiayaan.
"Kebetulan suamiku di daerah. Jadi kan kalau saya ke mana-mana pakai PH sama mantan terapisnya anakku. Terus dia bilang bisa tidak kalau berdua (ketemuan). Minta ketemu berdua, saya bilang tempatnya di mana, terus dia bilang di BW (tempat cukur di Jalan AP Pettarani) ternyata minta dibayarkan cukurnya," ungkapnya.
Sementara terkait dengan permintaan pizza terjadi saat FM meminta agar penyidik tersebut mau memperlihatkan hasil psikiater korban. Ia mengira awalnya oknum penyidik tersebut meminta satu pan pizza, ternyata minta paket pizza ukuran 1 meter.
"Pizza itu dia janjinya mau kasi lihat hasil psikiater. Awalnya saya minta disuruh belikan pizza, saya kira yang 1 pan ji. Dia bilang yang limo (Pizza ukuran 1 meter) bolehkah," kata FM.
Setelah menuruti permintaan oknum penyidik, nyatanya FM tak kunjung mendapatkan hasil psikiater anaknya. Setelah itu, oknum penyidik tersebut berdalih lagi dan mengajak bertemu di Polrestabes Makassar.
"Nyatanya oknum itu tidak pernah kasih lihat hasil psikiater anak saya," tuturnya.
Dikutip dari Antara, pengacara keluarga korban jua melaporkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan penyidik propam.
"Sudah kami laporkan ke propam dan wassidik. Terkait dengan tindakannya, dalam proses penyelidikan, kami melaporkan ke wasidik. Terkait dengan etika kelembagaan, kami laporkan ke propam," ujar penasehat hukum korban Mahar Tri Ramadani.
Polisi Bantah Minta Upeti
Terpisah Kepala Unit PPA Satreskrim Polrestabes Makassar, Inspektur Satu Syahuddin Rahman membantah terkait pengakuan orang tua korban tentang adanya permintan upeti oleh penyidik.
Kanit menegaskan Unit PPA Satreskrim Polrestabes Makassar dinilainya sudah profesional menangani seluruh perkara yang ditangani.
"Kalau terkait ada permintaan-permintaan (oknum penyidik) itu kami Kanit PPA tidak pernah seperti itu, tidak adalah seperti itu. Selama laporan ini kami terima, kami profesional, kami transparan, kami menyampaikan seluruh rangkaian penyelidikan atau SP2HP selalu kami sampaikan kepada pelapor."
Kata Kanit membantah
Syahuddin menjelaskan lamanya proses kasus dugaan penganiayaan terhadap anak difabel oleh seorang terapis. Ia menyebut lamanya proses dikarenakan banyaknya saksi yang harus dihadirkan untuk dimintai keterangan.
"Jadi dalam kasus ini terlapor adalah salah satu penanggung jawab terapis di Kota Makassar, laporannya (FM) kita terima sekitar bulan April. Penyidik (sudah) melakukan serangkaian proses penyelidikan, kita periksa pelapor, kemudian terlapor, kemudian korban, kemudian saksi-saksi yang mengetahui," tuturnya.
Syahuddin menjelaskan proses penyelidikan dilakukan mulai dari mengumpulkan barang bukti, pemeriksaan saksi-saksi, dan ditindaklanjuti dengan gelar perkara pertama. Syahuddin mengungkapkan saksi yang telah diperiksa itu mulai dari pelapor, terlapor beserta beberapa guru terapis korban, juga saksi ahli, salah satunya dari IEP (Individualized Educational Program).
"Kita gelar pertama kasus ini, rekomendasi gelar pertama kita membutuhkan saksi ahli. Kemudian saksi ahli telah kita periksa dari Ikatan Okupasi Terapis Indonesia (IOTI), kemudian dari dinas kesehatan (Dinkes), setelah itu, kami akan gelar khusus, menghadirkan pelapor dan terlapor, dan beberapa dari internal kami. Setelah gelar khusus maka banyak bukti-bukti yang kita dapatkan di sana," sebutnya.
Rencana gelar perkara khusus kasus ini bertujuan sebagai bentuk transparansi. Pada gelar perkara khusus itu akan dihadirkan pelapor, terlapor, pengawasan penyidikan (Wassidik), Paminal, Propam hingga Kabiro Hukum.
"Setelah kita lakukan itu semua pemeriksaan dan kita bisa memfaktakan. Jadi yang bisa kita fakta kan adalah yang sinkron dengan keterangan saksi-saksi dengan visum. Maka kasus ini kita bisa tingkat kan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan," sambungnya.
Adanya keterlambatan penyelidikan kasus ini juga disebut karena korbannya merupakan seorang yang berkebutuhan khusus atau ADHD (Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas). Syahuddin mengaku pihaknya kesulitan memperoleh keterangan secara langsung dari korban, dan harus meminta bantuan psikolog dari PPA.
"Pelapor menghadirkan (korban) baru di bulan Juni 2023, jadi laporan di April baru bisa kami dapat memeriksa keterangan korban itu di tanggal 21 Juni 2023. Itu yang saya bisa jelaskan di keterlambatannya penanganan kasus ini," bebernya.
"Kemudian yang bisa menjelaskan bahwa apakah kekerasan anak itu sudah sesuai dengan SOP yang mereka lakukan di sana (yayasan) atau bagaimana itu bukan ranahnya kami dipenyidik, tapi hanya ahli yang bisa menjelaskan. Inilah semua yang membuat kendala sehingga lambat."