Di Depan Menag Nasaruddin, Kemenag Sulsel Curhat Kuota Haji Tak Bertambah dan Daftar Tunggu 48 Tahun
Ali berharap, kuota haji Provinsi Sulsel bertambah seperti tahun lalu. Apalagi, Menteri Agama Nasaruddin Umar akan bertemu dengan Menteri Haji Arab Saudi.
Kepala Kementerian Agama Sulawesi Selatan, Ali Yafid menyinggung kuota haji Sulsel tahun 2025 tidak bertambah dibandingkan tahun lalu, yakni hanya 7.272 orang. Tidak adanya tambahan kuota, membuat daftar tunggu haji untuk Provinsi Sulsel yakni 34 tahun.
Di depan Menteri Agama Prof Nasaruddin Umar, Ali Yafid menyampaikan waiting list jemaah haji Sulsel per 6 Januari 2025 yakni 248.940 Jemaah. Ali menjelaskan untuk masa tunggu keberangkatan haji rata-rata mencapai 34 tahun.
"Untuk masa tunggu terlama Kabupaten Bantaeng mencapai 48 tahun dan tersingkat Kabupaten Luwu yakni 23 tahun," ujarnya di Asrama Haji Sudiang Makassar, Sabtu (11/1).
Ali berharap, kuota haji Provinsi Sulsel bertambah seperti tahun lalu. Apalagi, Menteri Agama Nasaruddin Umar akan bertemu dengan Menteri Haji Arab Saudi untuk membahas penambahan kuota.
"Kita hanya menunggu, InsyaAllah Menteri Agama yang akan bertolak ke Arab Saudi untuk bertemu dengan Kementerian Haji Arab Saudi. Kita menunggu Apa hasil pertemuan mudah-mudahan ada tambahan kuota petugas dan jamaah haji reguler maupun khusus," harapnya.
Menag Ingatkan Jaga Independensi Agama
Sementara Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya menjaga independensi agama agar dapat menjalankan fungsi kritisnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut disampaikan dalam acara Temu Tokoh Agama dan Pembinaan ASN Kemenag Provinsi Sulawesi Selatan.
"Jika kita ingin melihat agama bekerja dalam masyarakat, maka kita harus bertanggung jawab menjadikan agama itu independen. Apa maksudnya agama independen? Agama yang mampu menjalankan fungsi kritisnya," ujarnya.
"Jangan takut, Bapak-Ibu, agama apa pun itu, berikanlah fungsi kritisnya terhadap negara. Negara pun harus mendengarkan kritik dan masukan dari tokoh agama. Kita bukan negara Hegel, di mana negara dianggap di atas segalanya," lanjutnya pada acara yang diselenggarakan di Asrama Haji Makassar.
Menag menekankan bahwa hubungan antara agama dan negara harus harmonis, tetapi tetap seimbang. Menurutnya, agama yang terlalu bergantung pada negara akan kehilangan kemampuan untuk memberikan kritik yang konstruktif.
"Ketika agama dan pemimpinnya terlalu bergantung pada pembiayaan negara, maka independensinya berkurang. Bagaimana agama bisa kritis jika ketergantungannya sepenuhnya kepada negara?” imbuhnya.
Pemimpin Agama Tak Boleh Jadi Subordinasi Negara
Menag juga mengingatkan bahwa pemimpin agama tidak boleh menjadi subordinasi negara.
"Pemimpin agama dan pemerintah harus saling menghormati. Ulama memberi fatwa, bukan pemerintah. Itu bukan domain pemerintah. Pemerintah hanya perlu memfasilitasi umat beragama, bukan mendominasi agama," tegasnya.
Menag juga mengingatkan bahaya jika agama dijadikan alat legitimasi politik. Dia menilai bahwa agama yang digunakan untuk mendukung kepentingan politik tertentu akan kehilangan wibawanya di mata masyarakat.
"Ketika agama tidak lagi mencerahkan masyarakat, terutama generasi muda, maka mereka akan mulai meninggalkan agama. Fenomena ini sudah terjadi di negara-negara Barat. Mereka percaya kepada Tuhan, tetapi tidak mau beragama. Ini disebabkan oleh agama yang terlalu sering menjadi alat legitimasi politik, sehingga kehilangan wibawa dan daya pencerahannya," jelasnya.
"Saya tidak takut untuk menyampaikan prinsip ini, karena sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Saya yakin apa yang saya sampaikan ini juga sejalan dengan harapan Presiden Prabowo, yang sangat menghargai ulama dan tokoh agama," ungkap Nasaruddin
Nasaruddin juga menyampaikan harapannya agar agama dan negara dapat berjalan paralel untuk membangun bangsa.
"Kita tidak ingin agama maupun negara menjadi lemah. Keduanya harus sama-sama kuat, itulah Indonesia," pungkasnya.