Diperiksa Selama 10 Jam, Firli Bahuri Dicecar 22 Pertanyaan Terkait Aset LHKPN di Berbagai Daerah
pemeriksaan ini dilakukan terkait dengan seluruh harta benda tersangka, serta harta benda istri, anak, dan keluarga
Usai menjalani pemeriksaan Firli memilih bungkam
Diperiksa Selama 10 Jam, Firli Bahuri Dicecar 22 Pertanyaan Terkait Aset LHKPN di Berbagai Daerah
Penyidik gabungan Polda Metro dan Bareskrim Polri telah usai melakukan pemeriksaan terhadap Firli Bahuri. Ketua KPK nonaktif itu diperiksa sebagai tersangka atas kasus dugaan pemerasan dalam penanganan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) 2021, pada hari ini.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, Firli selama pemeriksaan itu dicecar sebanyak 22 pertanyaan oleh penyidik.
Diketahui, Firli diperiksa penyidik gabungan di lantai enam Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, mulai pukul 10.00-20.30 Wib.
"Dalam pemeriksaan atau permintaan keterangan tambahan terhadap tersangka pada hari ini, penyidik mengajukan sebanyak 22 (dua puluh dua) pertanyaan kepada tersangka FB," kata Trunoyudo dalam keterangannya, Rabu (27/12).
Ia menjelaskan, pemeriksaan ini dilakukan terkait dengan seluruh harta benda tersangka, serta harta benda istri, anak, dan keluarga, terkait adanya aset lain atau harta benda yang tidak dilaporkan dalam LHKPN.
"Di antaranya aset yang berlokasi di Yogyakarta (Bantul dan Sleman), Sukabumi, Bogor, Bekasi dan Jakarta," jelasnya.
"Selain itu, tujuan pemeriksaan atau permintaan keterangan tambahan terhadap Tersangka FB pada hari ini adalah adanya kepentingan tersangka FB untuk menambahkan Saksi yang meringankan (a de charge) yang baru, diluar yang telah diterangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan tersangka pada tanggal 1 Desember 2023," sambungnya.
Selain itu, Trunoyudo menyebut, berdasarkan BAP pada 1 Desember, ada 4 saksi a de charge yang telah diajukan Firli.
Dua di antaranya telah dimintai keterangan oleh penyidik pada 12 Desember. Sementara itu, satu lainnya menolak dan sisanya meminta penundaan pemeriksaan.
"Rencana tindak lanjut, melakukan koordinasi dengan JPU pada Kantor Kejati DKI Jakarta terkait tindak lanjut hasil penelitian berkas perkara oleh JPU," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri telah selesai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan pemerasan dalam penanganan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) 2021, pada hari ini. Ia diperiksa sebagai tersangka di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
"Sudah selesai barusan pemeriksaannya dan meninggalkan ruang periksa di lantai 6," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dir Reskrimsus) Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak saat dihubungi, Rabu (27/12).
Pantauan merdeka.com, Firli keluar meninggalkan gedung Bareskrim Polri, sekira pukul 20.30 Wib. Saat itu, Firli yang menggunakan kemeja warna cokelat ini nampak tidak berkata-kata saat ditanya sejumlah awak media yang sudah menunggunya.
Firli yang dikawal sejumlah petugas kepolisian itu langsung masuk ke sebuah mobil merek Toyota Fortuner, warna hitam dengan nomor polisi B 1890 TJV yang sudah menunggu di loby Bareskrim Polri.
Setelah masuk ke dalam, mobil pun langsung bergegas atau tancap gas langsung meninggalkan lokasi atau Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
"Dimulai pukul.10.00 Wib (pemeriksaan) selesai pukul 20.30 Wib (break salat zuhur dan makan siang serta break salat ashar dan maghrib)," pungkasnya.
Ketua KPK Firli Bahuri dipersangkakan melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 65 KUHP.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak kemudian membeberkan, sanksi pidana maupun denda sebagaimana yang diterangkan di dalam pasal tersebut.
Adapun, Pasal 12 huruf e tentang Undang Undang tentang pemberantasan tindak korupsi pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang dimaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kemudian, Pasal 12 huruf B ayat 1 berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dan kewajibannya ataupun tugasnya dan terkait dengan Pasal 12 huruf B ayat 1.
"Pada Pasal 12 huruf B ayat 2 disebutkan bahwa pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana yang dimaksud ayat 1, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp1 Miliar,"
kata Ade saat konferensi pers, Kamis (23/11) dini hari.