FOTO: Hari Disabilitas Internasional, Semangat Guru Difabel Mengajar di Tengah Keterbatasan
Pada 2022, BPS merilis angka penyandang disabilitas usia produktif di Indonesia sebesar 17 juta orang. Sementara, hanya 7,6 juta saja yang terserap dunia kerja.
Pagi menjelang siang, suasana senyap menyelimuti ruangan kelas komputer. Pak Agung (39 tahun) berjalan hilir mudik mengawasi murid-murid penyandang disabilitas yang sedang mengerjakan tugas desain visual dengan menggunakan aplikasi Canva. Berjalan dengan menggunakan tongkat besi, matanya terus menatap monitor-monitor komputer anak didik. Sesekali, ia menghampiri komputer anak didik yang nampak kesulitan mengolah foto. Dengan kesabaran, ia memberikan instruksi step by step kepada beberapa muridnya yang menggunakan kursi roda yang juga mengalami celebral palsy (penurunan fungsi otak).
Sudah 12 tahun, Pak Agung mengajar di Sekolah Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC) di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Ia satu-satunya pengajar yang menyandang disabilitas dari total 26 pengajar di YPAC.
“Kaki terpaksa diamputasi saat kecelakaan dengan truk melon di kawasan Ciputat saat masih kuliah tingkat akhir di Jurusan Keguruan SLB UNJ”, tuturnya.
Dari kecelakaan tersebut, ia menganggap takdir dari Tuhan menggariskan profesinya untuk mengajar anak-anak penyandang disabilitas. Ia selanjutnya bercerita awalnya gugup saat pertama kali mengajar anak-anak penyandang disabilitas, terlebih mereka juga mengalami celebral palsy dan paraplegia (kelumpuhan anggota gerak mulai dari bagian panggul ke bawah) sehingga menyulitkan proses belajar mengajar. Namun berkaca pada dirinya yang pernah mengalami kecelakaan fatal, secara perlahan ia bisa memberikan materi pengajaran kepada mereka.
Data Kemenko PMK tahun 2023, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari 22,97 jiwa tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 merilis angka penyandang disabilitas usia produktif di Indonesia sebesar 17 juta orang. Dari jumlah tersebut, hanya 7,6 juta saja yang terserap dunia kerja.
Realitas itu yang mendorong Pak Agung semangat mengajar memberikan bekal keterampilan teknologi informasi kepada murid-muridnya. Setiap harinya dengan menggunakan motor matik yang sudah dimodifikasi, ia berangkat dari rumahnya yang sederhana di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan. Kemacetan setiap pagi menuju sekolah YPAC sepanjang sekitar 15 km dibayar lunas saat di kelas menyaksikan murid-muridnya ceria menerima materi pembelajarannya.
“Mereka adalah bagian kehidupan saya, sudah seperti anak sendiri,” tutur Pak Agung yang kini di rumahnya ditemani istri dan si bungsu perempuan, setelah anak tertuanya melanjutkan pendidikan di pesantren.
Di tengah semangat keterbatasannya, Pak Agung masih menyisakan harapan. Harapan semoga kesejahteraan guru-guru di Indonesia meningkat. Dia sadar betul untuk mensiasatinya, ia masih nyambi berjualan laptop dan memberikan jasa perbaikan laptop di rumahnya.