Gempa Besar di 2 Megathrust Indonesia Tinggal Tunggu Waktu, BMKG Siapkan Sederet Mitigasi Ini
Daryono mengatakan, gempa besar pada dua megathrust di Indonesia tinggal menunggu waktu.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah menyiapkan mitigasi terhadap ancaman gempa besar pada dua megathrust di Indonesia. Dua megathrust itu adalah Selat Sunda (M8,7) dan Mentawai-Suberut (M8,9).
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan, mitigasi yang disiapkan ialah system monitoring, prosesing dan diseminasi informasi gempa bumi, dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat.
Selain itu, kata Daryono, BMKG selama ini memberikan edukasi berupa pelatihan mitigasi, drill, dan evakuasi berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai dan infrastruktur kritis (pelabuhan dan bandara pantai).
“(Edukasi itu) dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempa Bumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS) dan Pembentukan Masyarakat Siaga tsunami (Tsunami Ready Community),” kata Daryono, melalui keterangan tertulis, Selasa (13/8).
Dia berharap, upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan bisa menciptakan zero victim.
Sebelumnya, Daryono mengatakan, gempa besar pada dua megathrust di Indonesia tinggal menunggu waktu. Alasannya, kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar. Artinya, kedua segmen itu sudah menyimpan energi besar dalam waktu cukup lama.
Daryono berkaca pada gempa besar yang terjadi di megathrust Nankai Jepang Selatan M7,1 pada Jumat, 8 Agustus 2024 pukul 14.42 WIB. Dia menyebut, sumber gempa megathrust Nankai terletak di sebelah timur lepas pantai Pulau Kyushu, Shikoku dan Kinki di Jepang Selatan.
“Megathrust Nankai adalah salah satu zona ‘seismic gap’ (zona sumber gempa potensial tetapi belum terjadi gempa besar dalam masa puluhan hingga ratusan tahun terakhir) dan diduga saat ini sedang mengalami proses akumulasi medan tegangan/stress kerak bumi,” ucap Daryono.
Catatan sejarah gempa menunjukkan megathrust Nankai telah membangkitkan beberapa kali gempa dahsyat. Di antaranya, gempa Hakuho Nankai yang memicu tsunami pada tahun 684. Kemudian, gempa Hoei M8,7 dan memicu tsunami pada 28 October 1707. Gempa Ansei Nankai M8,4 memicu tsunami pada 24 Desember 1854. Terakhir, gempa Nankaido M8,4, memicu tsunami pada 21 Desember 1946.
“Gempa-gempa dahsyat di atas hampir semuanya memicu tsunami. Sistem megathrust Nankai memang sangat aktif. Berdasarkan data sejarah gempa tersebut di atas dapat dikatakan bahwa zona sumber gempa ini dapat memicu gempa dahsyat yang bermagnitudo M8,0 hingga lebih di setiap satu atau dua abad,” jelasnya.
Daryono mengatakan, Palung Nankai memiliki beberapa segmen megathrust. Namun jika seluruh tepian patahan tersebut tergelincir sekaligus, para ilmuwan Jepang yakin palung tersebut mampu menghasilkan gempa berkekuatan hingga M9,1.
Dia memastikan, gempa besar di megathrust Nankai tidak akan berdampak terhadap sistem lempeng tektonik di wilayah Indonesia karena jaraknya yang sangat jauh. Biasanya dinamika tektonik yang terjadi hanya berskala lokal hingga regional pada sistem Tunjaman Nankai.
Namun, berbeda dengan tsunami yang terjadi akibat gempa besar di megathrust Nankai. Menurut Daryono, tsunami besar di Jepang dapat menjalar hingga wilayah Indonesia.
“Namun demikian, kita tidak perlu khawatir karena apa yang terjadi di Jepang dapat kita pantau secara realtime dan kita analisis dengan cepat termasuk memodelkan tsunami yang bakal terjadi dan dampaknya menggunakan system InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), sehingga BMKG akan segera meyebarluaskan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami di seluruh wilayah Indonesia, kususnya wilayah Indonesia bagian utara,” kata Daryono.