Jeritan Hidup di 4 Desa Miskin Jambi: Maut Terasa Dekat
Desa miskin dengan potensi besar. Untuk menuju ke RS, butuh 4 jam perjalanan.
Akses Jalan yang rusak menambah sulit hidup masyarakat di empat Desa, Kabupaten Merangin, Jambi. Apalagi, Jika warga dalam kondisi yang sakit butuh penanganan yang cepat.
merdeka.com menelusuri di empat desa di Kabupaten Merangin yaitu Desa Tanjung Dalam, Desa Durian Rambun, Desa Lubuk Birah, dan Desa Lubuk Beringin.
Horornya jalan rusak menuntut warga desa harus ekstra waspada. Tidak boleh sakit, apalagi bagi ibu hamil. Betapa tidak, untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit, warga desa Lubuk Birah harus menempuh perjalanan 57 Km.
Durasinya paling cepat 4 jam perjalanan.Belum lagi, ditambah kondisi cuaca. Jika hujan, jalan jadi becek dan berlumpur. Perbukitan sulit dilalui.
Bustari (52), warga Desa Lubuk Birah menceritakan, kenangan yang tak pernah dilupakan. Ibunya meninggal dunia di atas mobil pikup saat menempuh perjalanan dari rumah sakit menuju ke rumahnya.
Pada tahun 2024 lalu, kenang Bustari, ibunya Siti Hapsa (65) mengalami sakit asam lambung dan dirawat di rumah sakit Bangko. Dirawat satu Minggu di rumah sakit kemudian tampak sudah sembuh sehingga diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit.
“Kami dengan keluarga ya pulang lah dari rumah sakit dengan menyewa mobil carry pikap,” katanya, saat diwawancarai pada (7/1).
Saat di jalan menuju desa kebetulan hujan, kata Bustari, mobil yang disewa mengalami slip, sehingga terpaksa didorong. “Itu saya mendorong dan masyarakat desa juga ikut bantu,” ujar Bustari, sambil menyerutup kopi di teras rumahnya.
Bustari menjelaskan, warga desa Lubuk Birah ini kompak jika ada warga yang sakit dan kebetulan hujan, warga kompak menunggu di jalan untuk siaga, jika ada mobil terpuruk.
Saat mobil terpuruk, kondisi ibunya semakin menurun. Ditambah, guncangan mobil yang cukup kencang. Ketika akan dibawa kembali ke rumah sakit, ibunya menolak. Karena jaraknya jauh, lebih dekat pulang ke rumah. “Itu bukit terakhir sebelum sampai ke desa. Tapi di sanalah perjalanan terakhir ibu saya,” kata Bustari.
“Kami hidup terhimpit tanpa pilihan di daerah terpencil ini, kadang maut terasa dekat. Banyak orang memilih perawatan mandiri di rumah, ketimbang harus ke rumah sakit,” tutup Bustari.
Jadi Desa Miskin, Padahal Potensi Besar
Kepala Desa Lubuk Birah, Ahyak Uddin mengatakan, selain masalah kesehatan, ekonomi di desanya sulit berkembang. Padahal potensi ekonomi besar seperti kopi, kayu manis, karet, dan wisata air terjun.
Jalan dari desa menuju pusat kecamatan hanya sekitar 17 kilometer. Semenjak 1996 silam jalan dibuka, tidak pernah diaspal. Hanya sekali pengerasan 2008 lalu.
Statusnya jalan kabupaten. Jalan rusak membuat gangguan transportasi, terutama ketika musim hujan. Harga komoditas pertanian menjadi murah. Untuk mengakses layanan kesehatan pun terhambat.
Desa dengan jumlah penduduk 567 jiwa, sekitar 15 persen di bawah garis kemiskinan, lalu 40 persen kategori miskin. Sisanya menengah. Warga yang memiliki mobil dapat dihitung jari.
“Mobil itu dipakai kerja. Kalau ada keperluan mendadak (sakit), itu sewanya mahal. Kondisi jalan rusak, orang jadi malas mau sewakan,” katanya, saat diwawancarai pada (7/1).
Menurut dia, apabila ingin berobat ke Bangko biayanya Rp1-1,5 juta per harinya. Jika harus dirujuk ke Kota Jambi atau Padang, harus membayar Rp4-5 juta. Itu Pun harus gotong royong, belasan orang mengawal naik motor agar mobil tak terpuruk.
“Kalau tidak mampu dirawat di rumah. Jika terpaksa harus ke rumah sakit, ya pakai motor,” katanya.
Nasib Ibu Hamil
Warga sini namanya Sariyanto, baru setahun berkebun kopi. Ketika istrinya hamil lebih delapan bulan. Bidan menyarankan segera dibawa ke rumah sakit, Bangko.
Keluarga ini tak memiliki uang untuk menyewa mobil. Cari utang pun tak dapat. Jual kebun tak laku. Berbekal BPJS Kesehatan yang dibayarkan pemerintah, ia berangkat dengan sepeda motor ke rumah sakit.
Kondisi jalan rusak dan jarak tempuh sekitar 3-4 jam menuju kota Bangko, maka anaknya meninggal dalam perut ibunya. Istri Sariyanto sudah dioperasi untuk menyelamatkan anaknya.
“Nyawa anaknya tidak tertolong. Sariyanto tidak mampu bayar ambulans, lalu bawa jenazah anaknya diam-diam pakai motor dari rumah sakit pulang ke desa,” kata Kades lagi.
Sudah 4-5 kasus mengantar orang sakit atau yang ingin melahirkan ke Bangko dengan motor. Kalau sakitnya itu parah, pihak keluarga terpaksa menjual kebun atau utang dengan tetangga.
“Awalnya utang duit, karena tidak bisa bayar terpaksa jual kebun. Atau gadai kebun, tapi akhirnya dijual juga dengan harga murah,” tutupnya.
Selain itu di Desa Lubuk Beringin juga serupa. Banyak kasus kematian karena jalan yang rusak dan terjal. Begitu juga Desa Durian Rambun, yang terpaksa melahirkan dengan bantuan dukun beranak, karena persoalan jalan.
“Waktu itu bidan desa lagi ke luar kota. Tidak ada yang bantu persalinan, maka saya bantu. Alhamdulillah keduanya selamat dan sehat,” kata Dewi Hartati (43).
Dukun beranak sekarang hanya sebagai asisten bidan. Kalau bidan sedang berhalangan, maka kami ikhlas menolong.
Kasus Kematian Bayi Tinggi
Tahun lalu, Ades warga Desa Pematang Pauh, Kecamatan Jangkat Timur, Kabupaten Merangin, Jambi terpaksa melahirkan dalam mobil, sebelum tiba di Puskesmas karena akses jalan rusak.
Video ibu Ades yang melahirkan di jalan dan dibantu bidan desa itu viral. Kondisi ibu dan bayi dilaporkan selamat, dari persalinan darurat.
Berbeda dengan kondisi Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Lembah Masurai. Sebelum ia bertugas, bidan Rozi Efrianti menuturkan, banyak kematian bayi dan ibu saat melahirkan.
“Ada yang melahirkan di jalan dan meninggal. Tapi saya belum jadi bidan desa. Masih tugas di Puskesmas,” kata bidan tenaga honorer daerah ini.
Kasus kematian bayi dan ibu saat melahirkan di desa ini memang tinggi, selalu ada kasus setiap tahun selama lima tahun terakhir. Tahun 2024 ini ada 2 kasus kematian bayi.
Tingginya angka kematian berujung malang pada sang bidan. Ia terus mendapatkan teguran keras dari atasan. Padahal masalahnya bukan bidan, melainkan jalan rusak.
Penyebabnya beragam, mulai dari asfiksia neonatorum hingga kematian bayi saat masih dalam kandungan. Sehingga harus segera dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit.
Sedangkan menurut hasil riset Permatasari dari Universitas Gadjah Mada yang terbit di jurnal Sistem Informasi Kesehatan Masyarakat, mengungkap 40 persen kasus kematian bayi di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan karena terhambat mengakses layanan kesehatan.
Hasil sensus Mortalitas di Indonesia 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kematian bayi di Jambi, 16,99 persen. Sedangkan angka kematian ibu, sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka ini masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 yakni mengurangi rasio angka kematian ibu hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup.
Dengan kondisi itu, angka kematian ibu di Indonesia menempati tiga tertinggi di Asia Tenggara. Penyebabnya akses kesehatan yang masih rendah.
Tak Punya Ambulans
Setelah dilakukan pemeriksaan, kandungannya normal dan sangat mungkin melahirkan di rumah. Namun ketika dalam perjalanan persalinan, sering ada masalah.
Ketika ingin dirujuk ke puskesmas masalah muncul. Untuk melalui jalan rusak membutuhkan bantuan orang banyak. Sangat sulit jika itu tengah malam.
“Mobil itu harus didorong. Ramai-ramai orang bantu. Kalau tidak begitu gak sampai puskesmas,” kata Efrianti.
Bidan mencontohkan kasus hambatan akses jalan. Biasanya dirujuk pukul 19.00 WIB. Kemudian keluarga berunding untuk memutuskan, karena harus mencari mobil, mengumpulkan biaya, memasang atap dan tempat tidur. Butuh waktu 2-3 jam.
Dalam perjalanan waktunya 1-2 jam, karena jalan kalau tidak diperbaiki swadaya oleh warga, sudah pasti terpuruk berkali-kali, terutama di jalan pendakian.
Setibanya di puskesmas kalau tidak bisa ditangani, maka akan kembali dirujuk ke rumah sakit, Bangko. Membutuhkan waktu 3-4 jam pula, untuk sampai ke sana.
“Enggak bisa itu, ada gangguan. Bawa orang melahirkan dan orang sakit harus pelan-pelan, kalau tidak pakai ambulans,” kata bidan.
Sementara desa Tanjung Dalam tidak memiliki fasilitas ambulans. Baru ada ambulans kalau di puskesmas. Beruntung kalau tidak sedang digunakan mengantar pasien lain.
Dengan kondisi jalan yang rusak begini, kata bidan, seharusnya ada fasilitas ambulans di setiap desa. Sehingga ketika ada yang butuh perawatan darurat, bisa dengan cepat mengakses pusat layanan kesehatan.
Ia mencontohkan banyak warga mengidap penyakit yang butuh pertolongan cepat terutama saat melahirkan, tuberkulosis, hipertensi dan asma.
Ada warga menderita sesak napas (asma) dan harus bolak-balik ke puskesmas, untuk mengambil obat. Terkadang kalau tidak ada tumpangan, dia harus jalan kaki sekitar 9-10 kilometer, di jalanan berbukit.
“Iya berbahaya, Pak Sakwan ini usianya sudah 60-an. Kalau harus jalan kaki di bukit-bukit, khawatir asmanya kambuh dan tidak ada yang bisa menolong,” kata bidan yang gajian tiga bulan sekali.
Desa Tertinggal, Potensi Besar
Tingginya kasus kematian bayi membuat status Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Jambi turun pada 2019-2020 menjadi desa tertinggal.
Sekdes Tanjung Dalam, Yoka Putra mengatakan, dengan tingginya kasus kematian bayi dan ibu saat melahirkan membuat desanya turun status dari berkembang menjadi tertinggal.
“Alhamdulillah, sekarang sudah kembali jadi desa berkembang. Kasus kematian masih ada tetapi tidak tinggi lagi,” kata Yoka.
Ia berharap ada bantuan ambulans di desanya. Sehingga warga yang ingin berobat, bisa cepat tiba di rumah sakit. Setidaknya dapat mengatasi persoalan jalan rusak.
Sebenarnya kata Yoka, pihak pemerintah desa sudah beberapa kali mengusulkan adanya perbaikan jalan sepanjang tujuh kilometer. Namun karena statusnya jalan provinsi, pemerintah kabupaten tak bisa berbuat banyak.
Warga di sini terakhir menikmati jalan aspal 2008 lalu. Ketika dibangun akses menjadi lancar dan mudah mengakses layanan kesehatan. Sekarang tidak hanya persoalan kesehatan, tetapi potensi ekonomi desa yakni nanas, kopi, sawit, karet dan kayu manis tidak maksimal.
Produksi nanas di desa ini terbesar di Merangin. Sekitar 4.000 biji dalam sehari. Itu harganya 2.500 per biji. Bisa tembus Rp300 juta dalam sebulan.Potensi lainnya yang hilang adalah wisata alam.
Air terjun tidak bisa diakses wisatawan, padahal sudah kami promosikan. Banyak tamu yang mau datang, tapi batal karena akses jalan. Persoalan jalan rusak yang menghambat pelayanan kesehatan membutuhkan solusi cepat. Sudah ada nyawa yang melayang. Meskipun satu nyawa, sungguh itu amat berharga.
Kata Pemerintah Daerah
Terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Merangin, Zulhifni mengatakan, jalan Muaro Siau ke Durian Rambun, Lubuk Birah, Lubuk Beringin tersebut.
“Itu susah saya mau jawab. Kami mau perbaiki tapi anggaran tidak cukup. Kita ini ada 24 kecamatan, dapat bantuan 500 juta satu kecamatan, kendalanya masih dana dari APBD,’’ katanya, saat dikonfirmasi melalui sambung telepon pada Selasa (7/1).
Menurut dia, kalau bisa ke depan ditambah Rp2,5 miliar untuk menanggulangi titik tertentu yang rusak jalan kabupaten.
“Idealnya untuk mengatasi anggaran itu Rp10-12 miliar. Seharusnya pemerintah Provinsi,” tutupnya.