Kejagung Jawab Anggapan Penetapan Tersangka Tom Lembong Politis: Jangan Tendensius
Penetapan tersangka ini dianggap janggal karena Tom Lembong terseret kasus korupsi impor gula periode 2015-2016.
Kejaksaan Agung (Kejagung) ramai dikritik karena penetapan tersangka mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong terkait kasus dugaan korupsi importasi gula kristal.
Penetapan tersangka ini dianggap janggal karena Tom Lembong terseret kasus korupsi impor gula periode 2015-2016. Padahal, Tom Lembong menjabat Menteri Perdagangan periode 2015–2016.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar menjawab kritikan tersebut. Dia menegaskan, penetapan tersangka dan penahanan Tom Lembong sesuai Surat Perintah penyidikan. Dia juga menyebut telah memeriksa total 90 orang saksi.
"Kita tidak mau berandai-andai, tidak mau berpolemik, kita fokus menyelesaikan perkara ini dan sekarang seperti yang sudah disampaikan setidaknya ada 90 orang saksi yang sudah diperiksa termasuk di dalamnya juga ada ahli," ujar Harli di Kejagung, Kamis (31/10).
Harli mengatakan, penetapan Tom Lembong sebagai tersangka rasuah mengacu pada Pasal 184 KUHAP. Di mana, penetapan tersangka berdasarkan alat bukti yang sah. Dalam kasus ini, Kejagung mengklaim sudah mengantongi bukti surat keterangan ahli, petunjuk ada keterangan tersangka, atau terdakwa.
"Biarkanlah penyidikan ini terus menyelesaikan tugasnya. Saya kira masyarakat juga jangan menjadi tendensius seolah-olah ada politisasi dan kita sudah sampaikan di mana politisasinya, tidak ada politisasi. Ini murni penegakan hukum," tegas Harli.
Terkait dengan proses penyelidikan kasus impor gula itu, Harli tidak menyebutkan secara jelas kapan dilakukan. Hanya saja tahap penyidikannya pada bulan Oktober 2023.
"Penyelidikan itu pro nonjusticia. Jadi itu belum menjadi hak publik dan itu bisa dilaporkan aparat penegak hukum manapun. Itu harus dipahami," pungkasnya
Dirdik Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar menjelaskan, pada 12 Mei 2015 rapat koordinasi antar kementerian memutuskan Indonesia surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula.
Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP. Gula kristal mentah tersebut kemudian diolah menjadi gula kristal putih atau GKP.
"TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," kata Qohar di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (29/10).
Qohar lalu mengungkit keputusan Mendag dan Menperin nomor 257 Tahun 2004. Dalam keputusan itu disebutkan yang diperbolehkan mengimpor gula kristal putih adalah BUMN, bukan Kemendag.
"Tetapi berdasarkan persetujuan impor yang telah dikeluarkan oleh tersangka TTL impor gula dilakukan oleh PT AP, dan impor gula kristal mentah tersebut tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian yang mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri," sambungnya.
Kemudian pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di bidang perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Menko Perekonomian, yang salah satu pembahasannya bahwa Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200 ribu ton.
"Dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, pada bulan November-Desember 2015 tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula," ungkapnya.
"Padahal dalam rangka pemenuhan stok dan stabilisasi harga, seharusnya diimpor gula kristal putih secara langsung dan yang dapat melakukan hanya BUMN," sambung Qohar.
Kedelapan perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih pun sebenarnya hanya memiliki izin sebagai produsen gula kristal, yang diperuntukkan untuk usaha makanan, minuman, dan farmasi.
Qohar melanjutkan, setelah delapan perusahaan tersebut mengimpor dan mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut.
"Padahal nyatanya gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta yaitu delapan perusahaan ke pasaran melalui distributor yang terafiliasi dengannya. Dengan harga Rp16 ribu per kilogram, harga lebih tinggi dari HET (Harga Eceran Terendah) Rp13 ribu dan tidak dilakukan operasi pasar," Qohar menandaskan.