Lembaga Survei Bongkar Anomali di Jatim, Warga Takut Disurvei Khawatir Bansos dan PKH Dicabut
Lembaga survei Indopol Survey and Consulting memutuskan tidak merilis hasil survei untuk periode Januari 2024.
Lembaga Survei Bongkar Anomali di Jatim, Warga Takut Disurvei Khawatir Bansos dan PKH Dicabut
Lembaga survei Indopol Survey and Consulting memutuskan tidak merilis hasil survei untuk periode Januari 2024.
Keputusan itu diambil karena adanya sejumlah temuan anomali masyarakat di sejumlah daerah, khususnya survei tingkat provinsi di wilayah Jawa Timur (Jatim).
"Saya memutuskan hasil survei Indopol yang Januari ini baik itu provinsi dan nasional di pertengahan Januari itu saya putusan tidak dirilis. Kenapa karena saya takut menyesatkan publik," kata Direktur Eksekutif Indopol Survey Ratno Sulistiyanto saat diskusi, Rabu (24/1).
Ratno menjabarkan, survei menggunakan metode sampling, multistage random sampling dengan responden 1.240 per provinsi selama waktu wawancara 8-15 Desember 2023.
"Khususnya Jawa Timur saya menemukan ada gap yang besar pemilih Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan di kantong-kantong Jawa Timur, terutama di beberapa kabupaten itu undecided voters tinggi," lanjut Ratno.
Semisal di Kabupaten Blitar angka undecided voters atau orang yang belum menentukan pilihan mencapai 85 persen. Sementara elektabilitas pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ada 10 persen; pasangan 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming 5 persen; dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di bawah 1 persen.
Berangkat dari data itu, tingginya angka undecided voters juga terjadi di beberapa wilayah seperti Kediri 40 persen; Madiun 43,3 persen; Bondowoso 70 persen; Mojokerto 55 persen; Jombang 67,5 persen dan Kota Probolinggo 43 persen.
"Saya telusuri lagi di beberapa kabupaten Kediri, Jombang kemudian Mojokerto kemudian Bondowoso. Setahu saya Bondowoso itu basisnya Anies Baswedan itu undecided voters di atas 40 persen dan pemilih Anies dan Ganjar sedikit sekali. Nah saya curiga sebagai peneliti, bahwa ini ada anomali," terangnya.
Dari hasil penelusuran, ungkap Ratno, rata-rata para surveyor ditolak oleh Kelurahan, RT RW sampai warga, karena mereka tidak ingin persoalan survei jadi persoalan politik, yang berimbas kepada bantuan dari pemerintah.
"Jawabanya adalah kami tidak ingin terlibat dalam politik, karena kami tidak ingin dicabutnya bansos (bantuan sosial) dan PKH (Program Keluarga Harapan), seperti desa tetangga. Yang pada saat Pilkada itu dicabut," ungkap dia.
"Nah berarti kan ada satu persepsi dari mereka (masyarakat) yang alami tekanan ya, ada intimidasi terkait bansos. Selain secara umum kenapa mereka menyatakan penolakan kepada surveyor itu ada indikasi dikondisikan. Bahwa kalau anda datang sebagai survei, udah kamu jangan ikut-ikut, kira-kira begitu," beber Ratno.
Selain alasan Bansos dan PKH, Ratno menjelaskan contoh penolakan yang kerap dilontarkan warga agar wilayah tersebut tidak terpetakan, dengan menolak survei sementara waktu, supaya tidak berimbas pada bantuan-bantuan dari pemerintah.
"Kalau teman-teman melihat dalam dua bulan ini kan mulai dari bansos turun, PKH turun, terakhir konon katanya pupuk meskipun subsidi separuh harga. Saya melihat pemicunya hal itu kenapa, karena sebagian besar responden itu ada di pedesaan, dan di kalangan pendidikan SMA yang kira-kira mereka sangat rentan dan peserta penerima bansos," jelasnya.
Sehingga, Ratno menyimpulkan dari temuan survei ini apabila dikaitkan dengan elektabilitas para capres dan cawapres, kemungkinan data survei yang telah dipaparkan lembaga survei lain bisa berubah, termasuk narasi satu putaran yang sulit terealisasi.
"Nah kalau ini dikaitkan dengan nilai elektabilitas tiga pasangan itu, saya menduga ada semacam kenaikan yang signifikan 02 misalkan ini tidak menggambarkan peta sesungguhnya. Jika ini diambil positifnya, ini menjadi masukan bagi 02 bahwa angka itu (hasil survei) masih bisa dipertanyakan," ujarnya.
Tidak Berada di Ruang Bebas
Pada kesempatan yang sama, Ketua Centra Initiative dan Peneliti Senior Imparsial, Al Araf menilai temuan dari Indopol telah memperlihatkan adanya indikasi masyarakat yang mengalami intimidasi dan tidak berada dalam ruang bebas.
"Realitas di lapangan itu data sampling yang sesungguhnya bukan berada di ruang bebas memilih. Tapi karena ada ruang-ruang intervensi kekuasaan intimidasi, jadi jawaban-jawaban hasil survei bisa absurd," kata Al Araf selaku penanggap.
Menurutnya, banyaknya undecided voters bisa jadi sebagai tanda kekhawatiran masyarakat ketika menunjukan pilihannya. Sehingga mereka enggan untuk menjawab pertanyaan survei yang diajukan para lembaga survei.
"Ruang itu terjadi karena realitas politik, khususnya rezim yang membangun suasana seperti itu. Satu tadi, seperti ancaman isu bansos. Jadi bansos jadi alat politik bukan hanya sebatas memenangkan rezim tapi juga menjadi instrumen mengontrol hasil survei," beber dia.
"Seharusnya masyarakat menyadari bansos itu pajak rakyat bukan duitnya Jokowi. Jadi masyarakat tidak perlu berterima kasih bila menerima bansos, karena itu duit pajak rakyat dari APBN. Dalam konteks itu saya berharap agar masyarakat jangan takut," tambahnya.