Mencari Kicauan Elang Bondol di Pusat Keramaian
Perdagangan satwa lindung masih sering ditemui di pasar burung.
Mencari Kicauan Elang Bondol di Pusat Keramaian
Di pasar burung yang ramai, cahaya mentari menyinari kehidupan yang tersembunyi di balik kios-kios kecil. Suara riuh seolah memperdengarkan seruan kicauan burung yang terkurung dalam batas sangkar. Berbagai warna dan suara burung, yang satu lebih merdu dari yang lain, menari di dalam sangkar seolah menciptakan simfoni tersendiri.
Namun, di antara riuh rendah pasar yang semarak, beberapa kehadiran satwa tersebut seharusnya tidak untuk diperjualbelikan.
Tatkala menyusuri dua bangunan terpisah di pasar tersebut, para pedagang menawarkan berbagai satwa yang dijualnya.
Kondisi pasar yang berhimpitan dan cukup kotor telah merampas semangat beberapa satwa, memaksa mereka tunduk bak meresapi kepenatan hidup di pasar yang menghilangkan keharmonisan alam.
Dalam lekuk-lekuk kandang-kandang kecil, suara dan kehadiran beberapa satwa seakan tertahan, tersapu oleh ketidakpedulian dan perdagangan yang meluap.
Langkah kaki terus menyusuri tiap-tiap jalan di dalamnya. Namun, tak ada satupun keberadaan burung Elang, terlebih Elang Bondol.
"Gak ada di sini burung Elang, apalagi jenisnya itu, enggak ada yang jual," ucap Edi saat ditemui, Kamis (7/12).
Berdasarkan penelusuran merdeka.com, nampaknya keberadaan burung Elang memang sudah tiada dari Pasar Burung Pramuka, Jakarta.
Kendati demikian, beberapa satwa liar dilindungi seperti Jalak Blambangan masih dijual dengan bebas. Adapun Alap-alap yang menyerupai Elang masih dijual di sana.
"Elang enggak ada di sini, adanya Alap-alap," tutur Samsu, pedagang lainnya.
"Kalau Elang di sini udah lama enggak ada, dulu kalau tahun 2012 masih lumayan banyak yang jual, sekarang mah udah enggak ada," sambungnya.
Berbagai jenis unggas lainnya berderai dalam keanekaragaman warna dan melodi. Jenis burung seperti kenari, hantu, merpati, pleci, murai batu, dan lainnya, menghidupi suasana pada pasar tersebut.
Tidak hanya unggas, hewan mamalia seperti Tupai juga turut dijual.
Satwa-satwa tersebut dibanderol dengan harga yang beragam, mulai dari belasan ribu hingga jutaan rupiah.
"Ini ada bajing atau tupai, jinak ini enggak gigit, bisa jadi peliharaan, yang kecil harganya Rp350.000," jelas Samsu.
Edi, kembali mengakui bahwa jual beli hewan telah menjadi mata pencahariannya untuk menafkahi keluarga. Terkadang, dia memiliki kesadaran bahwa beberapa hewan yang dijual seharusnya dilindungi. Namun, di antara tekanan keadaan, dia terpaksa harus tega, menimbang antara kehidupan dan moralitas.
"Saya kadang tahu itu burung atau hewan misal enggak boleh dijual, tapi ya gimana namanya kita juga butuh buat makan," ungkapnya.
Kini, burung-burung lain bersinar dalam sorot lampu, tapi matahari untuk Elang Bondol terus meredup, terusir oleh ketidakpedulian dan perdagangan gelap.
Pasar burung menjadi panggung tragedi, di mana panggilan Elang Bondol hanya sebatas kenangan. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga ekosistem, kini terpinggirkan oleh kepentingan yang lebih gelap.
Kehilangan Elang Bondol di Kepulauan Seribu atau DKI Jakarta, bukan sekadar hilangnya seekor burung, tetapi turut berpengaruh terhadap ekosistem. Sebagai penjaga ekosistem, Elang Bondol menjadi predasi utama yang menjaga keseimbangan ekosistem.
Reporter magang: Anisah Rahmawaty