Said Didu Tuding Ada Upaya Kriminalisasi untuk Muluskan Proses Pembangunan PSN PIK 2
Tim hukum Said Didu menilai tidak ada korelasi antara pernyataan Said Didu dengan pelapor Maskota.
Tim hukum Said Didu, Imanuel Gulo mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) dari pelaporan kasus dugaan tindak pidana Undang-undang ITE, penyebaran informasi hoaks dan pencemaran nama baik, yang dilayangkan Ketua Apdesi Kabupaten Tangerang, Maskota.
Sebab menurut Imanuel, berdasarkan informasi berita di media massa diketahui Maskota merupakan kepala Apdesi Kabupaten Tangerang yang juga kepala Desa Belimbing, Kecamatan Kosambi.
"Dari pemberitaan yang beredar, Said Didu dilaporkan ke Polresta Tangerang oleh seseorang bernama Maskota, yang merupakan Kepala Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (Apdesi) Kabupaten Tangerang sekaligus Kepala Desa Belimbing, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang," kata Imanuel, Selasa (19/11).
Mencermati hal itu, tim hukum Said Didu menilai tidak ada korelasi antara pernyataan Said Didu dengan pelapor Maskota.
"Jika dicermati, tidak ada relevansi antara pernyataan Said Didu dengan Maskota. Dalam berbagai pernyataannya mengenai PSN PIK-2 (proyek strategis nasional Pantai Indah Kapuk 2), Said Didu bahkan tak sekalipun pernah menyebut nama Maskota. Oleh karenanya, sudah barang tentu tidak ada pula kerugian materiil maupun immateriil yang dialami Maskota sebagai pelapor. Kami menduga kuat bahwa proses hukum terhadap Said Didu ini merupakan upaya kriminalisasi guna memuluskan proses pembangunan," ungkap Imanuel.
Berdasarkan data temuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mencatat kriminalisasi sebagai salah satu pola untuk menaklukan pihak yang kritis. Dalam temuan tersebut, YLBHI menemukan adanya 43 kasus kriminalisasi sejak kebijakan PSN diimplementasikan.
"Kemudian, Said Didu dilaporkan dengan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3) UU ITE, serta Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Jika dicermati, pasal-pasal tersebut sama sekali tidak relevan dengan apa yang dilakukan oleh Said Didu. Unsur-unsur dalam pasal-pasal tersebut tidak terpenuhi jika dikaitkan dengan apa yang menjadi kritik Said Didu," jelasnya.
Menurut Imanuel, sejak awal, Said Didu secara konsisten mengkritik pembangunan PSN PIK-2. Dalam berbagai kritiknya, yang menjadi titik fokus adalah mengenai implementasi PSN PIK-2 menimbulkan persoalan ketidakadilan.
"Tidak terdapat tendensi SARA maupun kebohongan, apalagi kerusuhan atau keonaran yang timbul dalam kehidupan sosial masyarakat sebagaimana yang dituduhkan. Oleh karenanya, penerapan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan SKB antara Menkominfo RI, Kapolri, dan Jaksa Agung mengenai Pedoman Implementasi UU ITE disebutkan mengenai pentingnya pembuktian motif dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang harus betul-betul membangkitkan permusuhan atas dasar SARA," tegasnya.
Begitu pula lanjut Imanuel, dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE dan kaidah hukum dalam Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang pada pokoknya menyatakan bahwa 'kerusuhan' atau 'keonaran' adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber.
"Hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir, yang seharusnya digunakan dalam hal upaya-upaya lain telah dicoba dan tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dalam kasus ini, sudah sepatutnya digunakan terlebih dahulu upaya-upaya lain di luar hukum pidana seperti klarifikasi atau mediasi maupun upaya-upaya pada bidang hukum lain," kata dia.
Penggunaan instrumen hukum pidana sebagai langkah awal dan utama, menurut Imanuel, justru menguatkan dugaan bahwa aparat penegak hukum tidak paham dan taat asas, serta dalam pelaksanaan kerja-kerjanya rentan diintervensi kepentingan korporasi tertentu.
"Berdasarkan pandangan-pandangan kami di atas, demi keutuhan demokrasi serta ikhtiar
penghormatan dan perlindungan HAM, kami mendesak Kapolri untuk memerintahkan jajaran di bawahnya, khususnya Kapolresta Tangerang agar segera menghentikan proses penyidikan dalam perkara ini," ujarnya.