Survei LSI: Tren Intoleransi Berpolitik Meningkat di 2019
Merdeka.com - Lembaga Survei Indonesia (LSI) menggelar survei terkait tingkat intoleransi Indonesia pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hasilnya, secara umum terjadi gejala meningkatnya intoleransi di masyarakat.
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyampaikan, dibandingkan tahun 2018, angka intoleransi di 2019 terbilang tidak ada perubahan alias stagnan.
"Jika dibandingkan 2017 dan 2016, tampak situasi sekarang lebih buruk, khususnya dalam kehidupan berpolitik," tutur Djayadi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (3/11).
-
Bagaimana Indikator Politik melakukan survei ini? Metode pengambilan data dilakukan melalui wawancara tatap muka kepada 1.200 sampel responden yang dipilih menggunakan multistage random sampling.
-
Apa yang diukur dalam survei indikator? Lembaga Survei Indikator Politik merilisi hasil survei elektabilitas pasangan calon (paslon) pada Pilpres 2024.
-
Bagaimana LSI melakukan survei? Adapun survei ini dilakukan pada awal Desember 2023, memakai metode random digit dialing (RDD) dengan teknik memilih sampel melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak.
-
Bagaimana metode survei Litbang Kompas? Survei dilakukan Litbang Kompas pada 29 November hingga 4 Desember 2023 terhadap 1.364 responden yang dipilih secara acak. Metode penelitian yaitu dengan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi di Indonesia. Sementara tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error penelitian +-2,65 persen.
-
Siapa yang unggul dalam survei Pilkada Jabar? 'Ini nama nama yang muncul di kalangan elite, Dedi Mulyadi muncul dari internal Gerindra, Ilham Akbar Habibie dari Nasdem, Ridwan Kamil dari Golkar,' kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi dalam paparan surveinya pada 4 Juli 2024 lalu.
-
Siapa yang mengkritik Jokowi? Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengkritik kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Djayadi menyebut, survei ini membagi intoleransi dari segi politik dan non politik. Untuk segi politik, mayoritas muslim di Indonesia menolak non muslim menjadi kepala pemerintahan.
"Pada September 2019, 59 persen orang muslim keberatan jika non muslim menjadi presiden. 31 Persen tidak keberatan," jelas dia.
Termasuk juga 56 persen mayoritas muslim keberatan non muslim menjadi wakil presiden, 52 persen keberatan non muslim menjadi gubernur, dan 51,6 persen keberatan non muslim menjadi wali kota/bupati.
"Untuk non muslim, mereka 71 persen tidak keberatan muslim menjadi presiden, 68 persen tidak keberatan menjadi wakil presiden, 64 persen tidak keberatan muslim menjadi gubernur, dan seterusnya," kata Djayadi.
Sementara dari segi non politik, mayoritas muslim sebanyak 53 persen keberatan dengan pembangunan rumah ibadah non muslim, dengan 36,8 persen tidak keberatan.
Namun, lanjut Djayadi, untuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan, mayoritas muslim sebanyak 54 persen menyatakan tidak keberatan, dengan sikap keberatan sebesar 36,4 persen.
"Mayoritas non muslim tidak keberatan dengan pembangunan rumah ibadah muslim dengan 60,7 persen dan tidak keberatan muslim mengadakan acara keagamaan 66,2 persen," bebernya.
Lebih jauh, tren intoleransi politik ini terus meningkat sejak 2016 dan tidak ada perubahan pada 2018-2019.
Adapun tren intoleransi religius kultural non politik cenderung menurun alias membaik sejak 2010. Hanya saja, penurunan berhenti di 2017 dan intoleransi kembali meningkat hingga September 2019 ini.
"Jadi secara umum belum ada perbaikan dalam indikator beragama dan berpolitik," Djayadi menandaskan.
LSI juga menemukan bahwa gejala mayoritarianisme masyarakat Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dilihat dari semakin tingginya keinginan warga agar pemerintah mengutamakan Islam dalam aspek bernegara.
"Mayoritarianisme adalah suatu pandangan, sikap, bahwa mayoritas lah yang harus diutamakan. Minoritas harus ikut terhadap mayoritas," tutur Djayadi.
Dalam survei, lanjut Djayadi, responden menerima pertanyaan apakah kelompok minoritas, dalam hal ini nonmuslim, harus mengikuti umat mayoritas. Hasilnya, 48,6 persen masyarakat Muslim tidak sepakat, 37,2 persen sepakat, dan 14,2 tidak menjawab.
"Masyarakat Muslim yang menyatakan orang minoritas seperti Kristen, Katolik, itu harus ikut terhadap kemauan umat mayoritas, itu memang banyak yang lebih banyak yang tak setuju dengan pandangan itu. Ada hampir 50 persen yang menyatakan tak setuju. Meski belum mayoritas, kan kalau mayoritas harus di atas 50 persen," jelas dia.
Sementara untuk persentase Muslim yang menolak, meski hanya 37,2 persen, angka tersebut menunjukan tren kenaikan sejak 2016. Pada 2016, responden yang sepakat minoritas harus mengikuti mayoritas sebanyak 30,3 persen. Masuk 2017 meningkat menjadi 34,4 persen, 2018 menjadi 34,3 persen, dan 2019 menjadi 37,2 persen.
"Sebaliknya, ini ditanyakan kepada minoritas. Apakah mau ikut mayoritas? Misal umat Islam di negara barat hidup sebagai minoritas. Di sini yang tidak setujunya meningkat, yang menyatakan setuju menurun. Itu artinya ada gejala mayoritarianisme di kalanganan Islam," kata Djayadi.
Kemudian pertanyaan berikutnya, apakah responden sepakat jika pemerintah mengutamakan agama Islam dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Hasilnya, responden yang setuju sebesar 60,1 persen, sangat setuju 7,3 persen, dan tidak setuju 23 persen.
Penelitian ini dilakukan pada 8 September sampai dengan 17 September 2019. LSI mengambil populasi seluruh warga Indonesia yang telah memiliki hak pilih atau usia 17 tahun lebih dengan metode multistage random sampling.
Sampel yang digunakan sebanyak 1.550 responden dengan pengambilan data lewat wawancara tatap muka. Adapun margin of error kurang lebih sebesar 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Sampel juga representatif dan dapat mewakili seluruh masyarakat Indonesia mulai dari segi gender, daerah desa kota, agama, hingga etnis.
Reporter: Nanda Perdana (Liputan6.com) (mdk/did)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ada sekitar 20,21 persen yang merasa kurang puas dan 4,23 persen tidak puas sama sekali.
Baca SelengkapnyaLoyalis Jokowi juga malah lebih banyak memilih untuk mendukung paslon nomor urut satu Anies-Muhaimin.
Baca SelengkapnyaPenilaian kinerja presiden berdasarkan sosio-demografi tingkat kepuasannya merata di berbagai kategori. Hasilnya, cenderung di atas 70 persen menyatakan puas.
Baca SelengkapnyaPopulasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau s
Baca SelengkapnyaBurhanuddin mengaku tidak bisa menyimpulkan apakah kenaikan tersebut pengaruh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto bergabung dengan pemerintahan.
Baca SelengkapnyaAdapun responden yang menjawab kurang dan tidak puas sebesar 17,9%. Sementara itu, 1% responden lainnya menjawab tidak tahu.
Baca SelengkapnyaElektabiltas terbaru versi LSI Denny JA, Prabowo-Gibran 46,6 persen, Ganjar-Mahfud 24,8 persen dan Anies-Cak Imin 22,8 persen.
Baca SelengkapnyaLSI memperlihatkan, tren elektabilitas Prabowo Subianto terus mengalami peningkatan sejak Januari hingga Juli 2023.
Baca SelengkapnyaPeneliti Utama Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, ada dua alasan utama mengapa dukungan publik untuk PDIP tinggi.
Baca SelengkapnyaKepuasan masyarakat itu turun apabila dibandingkan saat exit poll dilakukan LSI pada 14 Februari 2024 dengan 5 sampai 10 hari setelah Pemilu.
Baca SelengkapnyaSurvei ini dilakukan 28 Januari sampai 4 Februari 2024 dengan metode multistage random sampling
Baca SelengkapnyaJika dilihat dari kelompok umur, tingkat kepuasan anak muda usia 21 tahun lebih rendah dibandingkan kelompok usia lainnya.
Baca Selengkapnya